Junia Fitri Mayang Sari. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Sabtu, 24 November 2012

Urgensi al-Qawā’id al-Fiqhiyyah

Tidak dapat dipungkiri bahwasanya al-qawā’id al-fiqhiyyah merupakan suatu disiplin ilmu yang memiliki kedudukan yang sangat penting dalam pengembangan wacana intelektual yang berkaitan dengan ilmu-ilmu keislaman, hal tersebut dapat dirasakan oleh orang-orang yang menggelutinya, di dalamnya terdapat sejumlah kaidah atau konsep, baik berupa konsep pokok atau asasi maupun konsep-konsep cabang yang merupakan hasil penjabaran dari konsep asasi tersebut, yang pada aplikasinya semua konsep itu dapat digunakan dalam memberikan interpretasi dalam berbagai wacana fiqh konservatif maupun kontemporer.

Al-qawā’id al-fiqhiyyah dikategorikan sebagai dalīl syar’ī yang memungkinkan adanya istinbāţ hukum-hukum darinya apabila bersumber dari al-Qur’ān dan Sunnah, sehingga ber-ḥujjah dengannya merupakan cerminan hujjah dari  sumber  pengambilannya  (al-Qur’ān dan Sunnah). Misalnya  kaidah  yang  berbunyi:  al-masyaqqatu tajlibu al-taisīra,  sumber kaidah ini adalah firman Allah SWT dalam QS. al-Ḥajj (22):78):       وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِيْ الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍ “Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”.[1]  Adapun kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh para fuqahā’ berdasarkan hasil istiqrā’ mereka terhadap berbagai permasalahan fiqh yang serupa, maka dalam hal ini, para ulamā’ berbeda pendapat mengenai ber-ḥujjah dengan kaidah-kaidah fiqh tersebut. Di antara mereka ada yang tidak menerima kaidah-kaidah tersebut sebagai dasar dalam istinbāţ hukum, namun dapat dijadikan sebagai penguat (syāhid) terhadap dalīl syar’ī, sebagaimana perdapat dari Ibnu Farḥūn. Namun sebagian ulamā yang lain berpendapat mengenai kebolehan  ber-hujjah dengan kaidah-kaidah fiqh tersebut, sebagaimana pendapat Imām al-Qarāfī.[2] 

Kamis, 22 November 2012

Model Penelitian Fiqh dan Perilaku Memola

A. Perilaku Memola
Apabila pada suatu pagi seorang perempuan muda berjilbab dan bercelana jins lewat di depan rumah, ia dapat mengundang beberapa pertanyaan. Pertama, siapa perempuan itu? Kedua, sejak kapan ia mengenakan jilbab dan celana jins? Ketiga, mengapa ia mengenakan jilbab dan celana jins? Keempat, apakah ia mengenakan jilbab dan celana jins secara terus menerus? Keempat pertanyaan itu dapat dilanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan berikutnya. Atau mungkin terjadi sebaliknya, tidak mengundang pertanyaan apa pun karena pengenaan jilbab dan celana jins telah menjadi pemandangan sehari-hari, terutama dalam lingkungan permukiman sekitar kampus perguruan tinggi.
Andaikan jawaban atas pertanyaan pertama itu adalah mahasiswi, maka jawaban atas pertanyaan kedua dapat diduga. Mungkin, ia mengenakan jilbab sejak menjadi siswi sekolah menengah pertama atau madrasah tsanawiyah. Tetapi belum tentu, ia mengenakan celana jins sejak menjadi siswi. Boleh jadi, ia mengenakan celana jins hanya di rumah atau di luar sekolah. Dalam lingkungan sekolah atau madrasah “haram” mengenakan celana jins, karena terikat oleh peraturan pakaian seragam. Namun boleh jadi, ia mengenakan celana jins ketika sedang mengikuti kegiatan perkuliahan di perguruan tinggi, karena masyarakat kampus tidak mengenal pakaian seragam dan amat permisif terhadap pengenaan celana jins, termasuk di kalangan mahasiswi.
Pengenaan jilbab di kalangan mahasiswi, perempuan pada umumnya, boleh dibilang relatif baru. Jilbab, sebagai salah satu kelengkapan busana Muslimah, baru dikenal di Indonesia pasca revolusi Iran pada tahun 1979. Sebelum masa itu amat sulit ditemukan mahasiswi yang mengenakan jilbab, termasuk dalam lingkungan perguruan tinggi agama Islam. Demikian pula pengenaan celana jins, pada masa itu, dapat dipandang sebagai perilaku yang aneh dan nyeleneh. Dewasa ini amat sulit menemukan mahasiswi perguruan tinggi agama Islam tanpa jilbab. Sementara itu, pengenaan celana jins di kalangan mahasiswi (masyarakat kampus pada umumnya) telah menjadi pemandangan sehari-hari. Jibab dan celana jins berasal dari dua lingkaran kebudayaan yang berbeda, dari Iran dan Amerika Serikat. Tetapi, kini telah melekat sebagai kelengkapan dalam suatu kesatuan perilaku. Bahkan telah menjadi kebiasaan di kalangan sebagian mahasiswi Muslimah Indonesia.
Jawaban atas pertanyaan ketiga juga mudah ditebak. Yang paling pokok adalah untuk menutup aurat. Sedangkan jawaban tambahannya ialah mengikuti mode berbusana di kalangan perempuan muda, yang merebak dalam berbagai lingkungan. Jawaban pokok atas pertanyaan itu, dapat dilanjutkan dengan pertanyaan: mengapa aurat perempuan mesti ditutup? Jawaban atas pertanyaan itu akan merujuk pada norma kehidupan yang dianut oleh mahasiswi tersebut, yakni menutup aurat merupakan suatu “kewajiban” agama. Boleh jadi jawaban tersebut merujuk kepada ayat Qur’an atau teks Hadis yang diketahuinya secara jelas. Atau mungkin, jawaban itu hanya merujuk kepada pandangan “umum” yang menyatakan bahwa menutup aurat adalah “wajib”. Apabila menutup aurat itu merupakan suatu “kewajiban”, atau perbuatan yang “wajib” dilakukan, maka jawaban tersebut telah masuk dalam ranah fiqh yang telah terinternalisasi dalam diri mahasiswi itu. Apabila jawaban atas pertanyaan keempat adalah ya, maka hal itu menunjukkan bahwa fiqh menjadi inti kebudayaan yang dianut oleh mahasiswi itu, khususnya ketika berpakaian sebagai penutup aurat.
Jawaban atas pertanyaan ketiga dan keempat, dapat dipahami dan dijelaskan dengan menggunakan pendekatan teologis, atau antropologis, atau sosiologis. Secara teologis, menutup aurat merupakan wujud kepatuhan dan penghambaan manusia kepada Yang Maha Pencipta dan Yang Maha Pengatur untuk memeroleh keridaan-Nya. Secara psikologis menutup aurat merupakan suatu respons dan penyesuaian diri terhadap keharusan dalam lingkungan sosialnya. Sedangkan secara antropologis menutup aurat merupakan wujud perbuatan yang memiliki makna bagi pelakunya yang dipandang sopan dan pantas menurut kaidah sosial yang dianut dalam komunitas yang bersangkutan. Sementara itu, secara sosiologis menutup aurat merupakan wujud identitas Muslimah yang memasuki usia remaja dan dewasa ketika melakukan interaksi, baik di dalam maupun di luar komunitasnya.
Apa yang digambarkan di atas merupakan contoh fiktif yang dapat diuji dalam entitas kehidupan Muslim, terutama di kalangan perempuan. Cara menutup aurat yang dilakukan oleh Muslimah secara individual kemudian diikuti oleh Muslimah lainnya melalui proses teladan dan peniruan. Ketika cara tersebut dilakukan secara terus menerus oleh para Muslimah dalam suatu komunitas, maka menutup aurat dengan mengenakan jilbab dan celana jins menjadi kebiasaan di kalangan mereka.[1] Kebiasaan itu memiliki daya ikat ketika dilakukan interaksi dalam lingkungan internal (sesama Muslimah) maupun eksternal (masyarakat pada umumnya). Ketika kebiasaan itu telah memiliki keajegan dan memola, maka ia menjadi tata kelakuan yang telah diterima sebagai norma pengatur. Selanjutnya, menutup aurat dengan mengenakan jilbab dan celana jins menjadi adat (custom) ketika terintegrasi dengan pola perilaku masyarakat secara keseluruhan. Berkenaan dengan hal itu, adat memiliki daya ikat dan daya atur yang cukup tinggi dalam kehidupan kolektif. Adalah suatu keniscayaan bahwa dalam wacana fiqh muncul kaidah fiqh yang bersifat aghlabiyah (mayoritas): “adat digunakan sebagai hukum” (al-‘ādah muhakkamah). Selanjutnya, di Indonesia, adat yang dipandang memiliki akibat hukum dalam suatu kesatuan komunitas, dikenal sebagai hukum adat atau customary law (Lihat: Hooker, 1980: 22).
Dari contoh fiktif di atas, dapat ditelusuri berbagai perilaku memola lainnya dalam komunitas Muslim, baik di kalangan perempuan maupun laki-laki; muda maupun tua; di kawasan perdesaan maupun di kawasan perkotaan. Atas perihal tersebut, tampak beberapa hal yang menggambarkan tentang hubungan antara fiqh dengan perilaku. Pertama, fiqh yang dipahami sebagai norma perilaku, diterima sebagai salah satu norma sosial yang memiliki daya ikat, kemudian dilaksanakan dalam konteks kehidupan bermasyarakat. Ia berawal dari perilaku individual yang bersifat konkret, teramati dan terukur. Kemudian berkembang menjadi perilaku memola yang dianut oleh komunitas, yang, pola itu, bersifat abstrak.

Selasa, 13 November 2012

Kamus Verbace (Ar-Eng, Eng-Ar)

Verbace adalah software kamus bahasa arab – bahasa inggris dan sebaliknya. Kamus ini tergolong sangat lengkap. Hampir semua kata yang ane cari, dapat ditemukan di kamus ini.. subhanallah… benar-benar dapat memudahkan kita dalam melakukan penerjemahan bahasa arab. Silahkan diunduh di sini:




Senin, 12 November 2012

Makalah Tata Cara Memandikan Jenazah

A. PENDAHULUAN
Seperti orang yang hidup, Jenazah pun harus dimandikan sebelum dishalatkan dan dikuburkan. Memandikan jenazah merupakan bahagian dari fardhu kifayah dalam mengurus jenazah. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa fardhu kifayah merupakan sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan, apabila tidak seorangpun yang melakukan hal tersebut maka seluruh bahagian kampung dan penduduk di sekitar kediaman jenazah tersebut akan berdosa, Oleh karena itu, memandikan jenazah merupakan keharusan yang mesti dikerjakan. Dan apabila hal tersebut telah dilaksanakan, maka putuslah kewajiban penduduk muslim setempat [1].
Dalil mengenai kewajiban seorang muslim untuk memandikan jenazah terdapat dalam hadis yang disabdakan Rasulullah Saw yaitu:
Dari Abu Hurairah r.a berkata, aku mendengar Rasulllulah saw bersabda, “hak seorang Muslim yang lain ada lima hal: menjawab salam, membesuk orang sakit, mengantar jenazah, mendatangi undangan, dan menjawab orang bersin.” (HR Bukhari)
Walaupun kata memandikan dalam hadis diatas tidak ada, namun sebagaimana yang diketahui bahwa memandikan jenazah merupakan bahagian fardhu kifayah dalam pengurusan jenazah. Itulah sebabnya memandikan jenazah merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan dengan segera.
Dalam Makalah ini saya Ibrahim Lubis[2] akan membahas mengenai makalah yang berjudul “Tata Cara Memandikan Jenazah”
B. PEMBAHASAN
Makalah Tata Cara Memandikan Jenazah
1. Mengurus Jenazah
Sebelum Jenazah dishalatkan, maka yang harus dilakukan adalah memandikannya. Memandikan jenazah dimaksudkan agar segala bentuk hadas dan najis yang ada pada jenazah tersebut hilang dan bersih, sehingga jenazah yang akan dikafani terus dishalatkan telah suci dari hadas dan najis. Pada dasarnya memandikan jenazah sama saja dengan mandinya orang yang hidup, namun perbedaannya adalah orang yang hidup mandi sendiri sedangkan jenazah harus dimandikan.
Walaupun demikian ada sedikit perbedaan dalam memandikan jenazah, tidak saja meratakan air keseluruh tubuh, namun dalam memandikannya juga harus dengan hati-hati dan lemah lembut.
Memandikan jenazah adalah hal yang harus dilakukan atas jenazah seorang muslim, sebelum ia dishalatkan. Mandi ini dilakukan dengan cara membersihkan segala najis yang ada di badannya dahulu, utamanya bagian kemaluan, kemudian meratakan air ke seleruh tubuhnya, ini harus di usahakan dengan hati-hati upaya mayat tersebut tidak membawa kotoran ke hadapan Allah[3].
Dalam memandikan mayat wajib adanya niat mendekatkan diri kepada Allah SWT, karena ia termasuk bagian dari ibadah. Demikian pula muthlak, suci dan halalnya air. Menghilangkan najis dari badan mayat terlebih dahulu, dan tidak adanya penghalang yang dapat mencegah sampainya air ke kulit mayat, semua itu harus dipenuhi dalam memandikan mayat[4].
2. Syarat Memandikan Jenazah
Adapun syarat wajib memandikan jenazah yaitu :
a. mayat itu islam
b. Lengkap tubuhnya atau ada bahagian tubuhnya walaupun sedikit
c. Jenazah tersebut bukan mati syahid (mati dalam peperangan membela agama Allah).
3. Hukum Memandikan Jenazah
Jumhur Ulama atau golongan terbesar dari ulama berpendapat bahwa memandikan mayat muslim, hukumnya adalah fardhu kifayah artinya bila telah dilakukan oleh sebagian orang maka gugurlah kewajiban seluruh mukallaf[5].
4. Klasifikasi dalam Memandikan Jenazah
Klasifikasi ini bertujuan untuk memberikan perbedaan dalam memandikan jenazah. Hal ini disebabkan bahwa tidak semua jenazah yang ada dapat atau harus dimandikan. Berikut 2 hal yang perlu untuk diperhatikan dalam memandikan jenazah.
a. Jenazah yang boleh dimandikan
Jenazah yang wajib dimandikan adalah orang Islam dan orang yang meninggal bukan karena mati syahid di Medan pertempuran[6]
b. Jenazah yang tidak perlu dimandikan
Jenazah yang tidak boleh dimandikan adalah jenazah yang mati syahid di medan pertempuran karena setiap luka atau setetes darah akan semerbak dengan bau wangi pada hari Kiamat[7].
Jenazah orang kafir tidak wajib dimandikan. Ini pernah dilakkan Nabi saw terhadap paman beliau yang kafir [10]. Juga berdasarkan firman Allah SWT: “Dan janganlah sekali-kali kamu menyalatkan jenazah salah seorang yang mati diantara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya[8].”
Janin yang dibawah usia empat bulan tidak perlu dimandikan, dikafani, dan dishalatkan. Cukup digali lubang dan dikebumikan.
c. Orang Yang Berhak Memandikan
Tidak semua orang berhak dalam memandikan jenazah, hal ini dimaksudkan untuk menjaga kerahasian aib atau cacat penyakit yang masih ada di dalam tubuh jenazah tersebut. Tujuan menjaga dan membatasi bagi orang yang ingin memandikan jenazah adalah agar tidak terjadi fitnah yang dapat memalukan keluarga jenazah tersebut. Adapun Orang yang berhak memandikan Jenazah Adalah:
  • Apabila mayat itu laki-laki, hendaklah memandikannya laki-laki pula, perempuan tidak boleh memandikan mayat laki-laki, kecuali istri dan muhrimnya. Jika mayat perempuan, hendaklah dimandikan permpuan pula, laki-laki tidak boleh memandikan mayat perempuan kecuali suami atau muhrimnya[9].
  • Orang Yang berhak memandikan Jenazah adalah orang yang telah ditunjuk oleh si mayit sendiri sebelum wafatnya (berdasarkan wasiatnya)[10]
  • Kemudian bapaknya, sebab ia tentu lebih tahu mengenali si mayit daripada anak si mayit tersebut. Kemudian keluarga terdekat si mayit.
  • Jenazah wanita dimandikan oleh pemegang wasiatnya[11] . Kemudian ibunya lalu anak perempuannya setelah itu keluarga terdekat.
  • Seorang suami boleh memandikan jenazah istrinya berdasarkan sabda Nabi saw kepada’Aisyah Radhiallahu ‘Anha: “Tentu tidak ada yang membuatmu gundah, sebab jika kamu wafat sebelumku, akulah yang memandikan jenazahmu” [12]
5. Tata cara Dalam memandikan jenazah
a. Persiapan Sebelum Memandikan Jenazah
Sebelum Memandikan jenazah, Maka harus dilakukan beberapa Persiapan, adapun Hal-hal yang perlu dipersiapkan sebelum proses pemandian adalah:
  • Masker dan kaos tangan untuk memandikan jenazah agar terhindar dari kuman jika si jenazah memiliki penyakit.
  • Sabun atau bahan lainnya untuk membersihkan tubuh si jenazah
  • Sampo untuk mengeramasi rambut si jenazah agar bersih dari kuman dan kotoran
  • Air secukupnya untuk proses memandikan. Boleh memakai air yang dialiri oleh selang, boleh juga menyiapkan air sebanyak tiga ember besar.
  • Meja besar atau dipan yang cukup dan kuat serta tahan air untuk tempat meletakkan jenazah ketika dimandikan
  • Handuk untuk mengeringkan tubuh dan rambut si jenazah.
  • Kapas, kapur barus, daun bidara, atau wewangian yang lain serta bedak.
  • Dipersiapkan kain kafan tergantung jenis kelamin.
b. Proses dan Tata Cara Memandikan Jenazah
  • Meletakkan jenazah diatas dipan atau meja, usahakan kepala lebih tinggi dari kaki
  • Tempat jenazah harus tertutup, baik dinding maupun atapnya agar aurat dan cela jenazah tidak terlihat.
  • Menutup aurat jenazah dengan handuk besar dan kain. Untuk jenazah putra dari pusar sampai lutut, sedangkan untuk jenazah perempuan dari dada sampai mata kaki.
  • Bersihkan kotoran dengan cara mengangkat pundak dan kepala sambil menekan perut dan dada
  • Memiringkan ke kanan dan ke kiri sambil ditekan dengan mempergunakan sarung tangan atau kain perca dan disiram berkali-kali agar kotoran hilang.
  • Basuhlah jenazah sebagaimana cara berwudhu.[15]
  • Siram dari mulai yang kanan anggota wudhu dengan bilangan gasal menggunakan air dan daun bidara, kemudian seluruh tubuh jenazah diberi sabun termasuk pada lipatan-lipatan yang ada.
  • Bersihkan tubuhnya dengan air dan miringkan ke kanan serta ke kiri.
  • Selama memandikan, aurat jenzah harus senantiasa agar tidak terlihat
  • Kemudian, rambut jenazah dikeramas dan disiram agar bersih. Dan jika jenazahnya wanita, setelah rambutnya dikeringkan kemudian dipintal menjadi tiga.[16]
  • Siramkan pada siraman yang terakhir dengan kapur barus dan miringkan ke kanan dan ke kiri agar air keluar dari mulutnya dan dari lubang yang lain.
  • Setelah selesai, badannya dikeringkan dengan handuk, kewmudian ditutup dengan kain yang kering agar auratnya tetap tertutup.
  • Bersihkan segala najis yang ada di badannya, utamanya bagian kemaluan, kemudian meratakan air ke seluruh tubuh atau sebaiknya tiga kali yaitu dengan air yang bersih, air sabun dan air yang bercampur dengan kapur barus. Apabila sudah selesai kesemuanya yang terakhir adalah di wudhukan.
  • Setiap mayat muslim itu wajib di mandiakn dengan tiga kali ; pertama dengan air yang dicampur sedikit kapur dan bidara ; kedua dengan air yang dicapur sedikit kapur kecuali yang mati dalam keadaan ihram, maka tidak boleh dicampur dengan kapur ; ketiga dengan aiir murnbi tanpa dicampur apapun. Daun bidara dan kapur yang dicampur dengan air itu jangan terlalu banyak, karena dikhawatirkan air tersebut menjadi air mudhaf, sehingga tidak dapat menyucikan.[3] Antara tiga kali mandi tersebut, diwajibkan pula tertib antara anggota tubuh yang tiga, yakni dimulai dengan kepala berikut leher, lalu anggota tubuh yang kanan, dan ketiga anggota tubuh yang kiri.
Pekerjaan yang pertama-tama dilakukan dalam menyelenggarakan urusan mayit adalah memandikannya, yang mempunyai dua macam cara.[4]
1. yaitu cara, asal memenuhi arti mandi yang dengan demikian maka terlepaslah kita dari dosa, inilah asal najis yang barangkali ada pada tubuh si mayat hilang, kemudian siramlah seluruh tubuhnya dengan air secara merata.
2. yaitu cara yang sempurna sehingga memenuhi as-sunnah yakni agar orang memandikan mayit melakukan hal-hal berikut :
a. letakkanlah mayit di tempat kosong, diatas tempat yang tinggi, papan umpamanya, dan tutuplah auratnya dengan kain atau semisalnya.
b. Mayat didudukkan di temapt mandi, condong ke belakang, sedang kepalanya di sandarkan pada tangan kirinya, menekan keras-keras perut si mayat, supaya isinya yang mungkin masih tersisa keluar. Sesudah itu balutlah tangan kiri itu dengan kain atau sarung tangan dan dibasuh kemaluannya dan dubur si mayat, kemudian dibersihkan pula mulut dan lubang hidungnya lantas diwudhukan seperti wudhu orang yang hidup.
c. Kepala dan wajah si mayat di basuh dengan sabun atau bisa juga digunakan dengan pembersih lainnya. Dilepas rambutnya kalau dia mempunyai rambut yang panjang, dan kalau ada yang tercabut, maka rambut itu harus dikembalikan dan ditanam bersamanya.
d. Sisi kanan mayat sebelah depan terlebih dahului, barulah kemudian sisi depan sebelah kiri, sesudah itu basuh pula sisi kanannya sebelah kiri, sesudah itu basuh pula sisi kanannya sebelah belakang, kemudian sisi belakang sebelah kiri, dengan demikian seluruh tubuhnya bisa di ratai air.
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Di dalam memandikan mayat harus teliti supaya mayat itu tidak membawa kotoran ke hadapan Allah. Perut si mayat harus di tekan, karena di dalam perutnya itu mungkin masih ada kotoran.
Di dalam memandikan mayat terlebih dahulu adalah niat, karena niat adalah bahagian dari ibadah. Kemudian siramlah tubuhnya sebelah kanan baru sebelah kiri sampai air itu merata dalam tubuhnya, setelah semuanya siap, lalu mayat tersebut diwudhukan.
Demikianlah isi makalah saya ini dan sebelumnya penulis terlebih dahulu mohon maaf kepada bapak atas kekurangan yang terdapat di dalam makalah saya ini. Dan saya berterima kasih atas bapak yang sudi memberikan judul ini terhadap saya, karena saya sudah mengetahui lebih jelas lagi tentang cara-cara memandikan mayat.
DAFTAR PUSTAKA
  • Al-Atsari, Abu Hasan Al-Maidani. Shalat Jenazah, Solo: At-Tibyan, 2001.
  • Sumaji, Muhammad Anis dan Salmah, Af Idah, Panduan Praktis Pengurusan Jenazah, Solo: Tinta Medina, 2011
  • Tohaputra, Ahmad.. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Semarang: CV Asy Syifa’, 1998
  • Munir, A dan Sudarsono. Dasar-Dasar Agama Islam, Jakarta : Rineka cipta, 1992.
  • Sitanggal, Umar Anshary. Fiqih Syafi`I Sistematis, Semarang : CV Asy Syifa`, 1992.
  • Muqhniyah, Jawab, Muhammad. Fiqih Imam Ja`far Shadiq, Jakarta : lentera, 1995.
  • Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah, Bandung : PT Al-ma`arif, 1994.
________________
[1] Abu Ihsan Al-Maidani Al-Atsari, Shalat Jenazah (TP, TT, 2001), h 10
[2] Ibrahim Lubis adalah Mahasiswa Pascasarjana IAIN-SU Medan yang saat ini sedang meyelesaikan tugas akhir yaitu Membuat tesis
[3] A. Munir dan Sudarsono. Dasar-Dasar Agama Islam, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992), hlm. 134
[4] Muhammad Jawab Mughniyah. Fiqih Iman Ja`far Shadiq, (Jakarta : Lentera, 1995), hlm. 90
[5] Sayyid Sabiq. Fiqih Sunnah, (Bandung : PT Al-ma`arif, 1994), hlm. 78
[6] Muhammad Anis Sumaji, Panduan Pengurusan Shalat Jenazah, 2011, hlm. 13-18
[7] Muhammad Anis Sumaji, Panduan Pengurusan Shalat Jenazah, 2011, hlm. 22-23
[8] QS At-Taubah-84
[9] A. Munir dan Sudarsono. Op. cit, hlm. 135
[10] Abu Ihsan Al-Maidani Al-Atsari, Shalat Jenazah, 2001, hlm 10-13
[11] Abu Ihsan Al-Maidani Al-Atsari, Shalat Jenazah, 2001, hlm 10-13
[12] Ibid

Minggu, 11 November 2012

Puasa Dalam Fiqh kajian Segi Normatif

Makalah Puasa Dalam Fiqh kajian Segi Normatif
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Puasa adalah rukun yang ketiga dalam rukun islam, yang diwajibkan bagi umat muslim untuk melakukannya pada bulan Ramadlan. Bagi umat muslim yang taat setidaknya ia telah mengetahui bahwa puasa termasuk dalam pembahasan Ilmu Fiqh. Mengenai rukun puasa sampai pada hal-hal yang dapat membatalkan puasa, semuanya telah terangkum dalam fiqh secara normatif. Namun, fiqh bukan hanya bersifat normatif saja, ada juga fiqh yang bersifat filosofis. Yang dinamakan fiqh secara filosofis ialah segi aspek fiqh yang terkandung serta tersirat akan makna dan hikmah terhadap suatu amal ibadah.
Fiqh secara normatif mungkin diantara kita sudah ada yang mengerti, dengan bukti kita yang sudah mengalami aqil baligh telah melakukan ibadah puasa di bulan Ramadlan. Artinya kita telah mengetahui rukun puasa sampai adab berpuasa, dan itu hanyalah fiqh yang bersifat normatif saja. Tetapi fiqh secara filosofis dapat menerangkan serta mengungkapkan apa dan bagaimana puasa itu berpengaruh pada nilai kesehatan fisik dan psikis (jiwa) serta nilai sosial bagi orang-orang yang menjalankannya.
Oleh sebab itu, yang akan dibahas pada makalah ini ialah mengenai Ibadah Puasa dalam fiqh secara normatif dan filosofis. Dan kami selaku penyusun kiranya dapat menarik beberapa rumusan masalah yang tertulis pada subbab selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Puasa Menurut Fiqh Dalam Segi Normatif
1. Pengertian Puasa
Puasa dalam bahasa Arab disebut “ash-shiyam”, yang artinya menurut bahasa “menahan diri dari suatu perbuatan”. Adapun puasa menurut istilah Syari’iyah ialah: “menahan diri dari makan, minum dan bersetubuh dengan wanita (istri) semenjak terbit fajar sampai terbenam matahari, karena mengharapkan (ridlo) Allah dan menyiapkan diri untuk bertaqwa kepada-Nya dengan jalan takut kepada-Nya dan melatih kehendak dari perdayaan nafsu.”
2. Rukun Puasa
Sedangkan rukun puasa ada dua yang masing-masingnya merupakan unsur terpenting dari hakikatnya yaitu:
a.) Menahan diri dari segala yang membatalkan puasa, semenjak terbit fajar hingga terbenamnya matahari.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala yang artinya “Maka sekarang, bolehlah kamu mencampuri mereka, dan hendaklah kamu mengusahakan apa yang diwajibkan Allah atasmu, dan makan-minumlah hingga nyata garis putih dari garis hitam berupa fajar, kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam!”
Adapun hal-hal yang membatalkan puasa adalah sebagai berikut:
1) Makan 5.) Haid
2) Minum 6.) Mengeluarkan sperma
3) Melakukan hubungan suami-istri 7.) Nifas
4) Muntah dengan sengaja 8.) Meniatkan berbuka
b.) Berniat.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala: “WA MAA UMIRUU ILLAA LIYA’BUDUULLAHA MUKHLISHIINA LAHUDDIIN.” Artinya: “Dan tiadalah mereka dititah kecuali untuk mengabdikan diri kepada Allah, dengan mengikhlaskan agama kepada-Nya semata.” Dan juga sabda Nabi saw. yang artinya: “Setiap perbuatan itu hanyalah dengan niat, dan setiap manusia akan memperoleh apa yang diniatkannya.”
3. Adab Berpuasa
Sewaktu berpuasa disunatkan bagi orang yang berpuasa menjaga adab dan tata tertib berikut:
a.) Makan sahur
b.) Ta’jil, Menyegarakan berbuka
c.) Berdoa ketika berbuka
d.) Menjauhi hal-hal yang bertentangan dengan puasa
e.) Menggosok gigi
f.) Murah hati dan mempelajari al-qur’an
g.) Giat beribadat pada sepuluh hari terakhir dari ramadlan
B. Puasa Menurut Fiqh Dalam Segi Filosofis
Ketika puasa dilihat dari fiqh dalam segi filosofis, maka puasa memiliki pengaruh pada kesehatan orang yang melaksanakannya baik kesehatan fisik maupun psikisnya. Selain itu, puasa juga berpengaruh pada aspek sosial serta mengandung unsur pendidikan di dalamnya. Berikut penguraian dari masing-masing bidang, antara lain:
1. Puasa untuk kesehatan
Nabi Muhammad saw bersabda, “Berpuasalah kamu, niscaya kamu akan sehat.”
Manfaat puasa, setelah diteliti melalui berbagai penelitian ilmiah dan terperinci terhadap organ tubuh manusia serta aktivitas fisiologisnya, peneliti menemukan bahwa puasa, secara jelas adalah sesuatu yang sebaiknya dilakukan oleh tubuh manusia sehingga ia bisa terus melakukan aktivitasnya dengan baik. Dan puasa benar-benar sangat penting dan dibutuhkan bagi kesehatan manusia sebagaimana manusia membutuhkan makan, bernafas, bergerak, dan tidur. Oleh karena itu puasa adalah hal yang sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia agar tetap sehat. Jika manusia tidak bisa tidur, tidak makan selama rentang waktu yang lama maka ia akan sakit. Demikian pula tubuh manusia pun akan mengalami hal yang jelek jika ia tidak berpuasa.
Pentingnya puasa bagi tubuh karena puasa bisa membantu badan dalam membuang sel-sel yang sudah rusak, sekaligus membuang sel-sel atau hormon atau pun zat-zat yang melebihi jumlah yang dibutuhkan tubuh. Dan puasa, sebagaimana dituntunkan oleh agama Islam, lamanya adalah rata-rata 14 jam, kemudian baru makan untuk durasi waktu beberapa jam.
Ini adalah metode yang bagus untuk sistem pembuangan sel-sel atau hormon yang rusak dan membangun kembali badan dengan sel-sel baru. Dan ini sangat berbeda dengan dengan apa yang difahami kebanyakan orang : “bahwa puasa menyebabkan orang menjadi lemah dan lesu”. Puasa yang baik bagi tubuh manusia itu syaratnya adalah dengan melakukannya selama satu bulan berturut-turut dalam setahun, dan bisa ditambahkan 3 hari setiap bulan.
Tom Branch dari Columbia Press mengatakan :
“Puasa Adalah Dokter Yang Paling Murah, karena Sesungguhnya puasa, tanpa berlebih-lebihan makan waktu berbuka puasa, adalah “dokter” yang paling murah. Sebab puasa bisa menurunkan berat badan secara signifikan, dengan catatan ketika berbuka puasa memakan makanan dengan menu seimbang dan tidak mengkonsumsi makanan dan minuman langsung ketika berbuka. “
a. Puasa Untuk Mengobati Macam-Macam Penyakit
1) Mencegah Tumor
Puasa juga berfungsi sebagai “dokter bedah” yang menghilangkan sel-sel yang rusak dan lemah di dalam tubuh. Maka, rasa lapar yang dirasakan orang yang sedang berpuasa akan bisa menggerakkan organ-organ internal di dalam tubuh untuk menghancurkan atau memakan sel-sel yang rusak atau lemah tadi untuk menutupi rasa laparnya. Maka hal itu merupakan saat yang bagus bagi badan untuk mengganti sel-selnya dengan sel-sel baru sehingga bisa kembali berfungsi dan beraktivitas. Dengan hal itu juga bisa menghilangkan atau memakan organ-organ yang sakit dan memperbaharuinya. Puasa juga berfungsi menjaga badan dari berbagai penumpukan zat-zat berbahaya, seperti kelebihan kalsium, kelebihan daging, dan lemak. Juga bisa mencegah terjadinya tumor ketika awal-awal pembentukannya.
2) Menjaga Kadar Gula Dalam Darah
Puasa sangat bagus dalam menurunkan kadar gula dalam darah hingga mencapai kadar seimbang. Berdasarkan hal ini, maka sesungguhnya puasa memberikan kepada kelenjar pankreas kesempatan yang baik untuk istirahat. Maka, pankreas pun mengeluarkan insulin yang menetralkan gula menjadi zat tepung dan lemak dikumpulkan di dalam pankreas. Apabila makanan kelebihan kandungan insulin, maka pankreas akan mengalami tekanan dan melemah. Hal ini akhirnya pankreas tidak bisa menjalankan fungsinya. Maka, kadar gula darah pun akan merambat naik dan terus meningkat hingga akhirnya muncul penyakit diabetis.
Sudah banyak dilakukan usaha pengobatan terhadap penyakit diabetis ini di seluruh dunia dengan mengikuti “sistem puasa” selama lebih dari 10 jam dan kurang dari 20 jam. Setiap kelompok mendapatkan pengaruh sesuai dengan keadaannya. Kemudian, para penderita tersebut mengkonsumsi makanan ringan selama berurutan yang kurang dari 3 minggu. Dan metode semacam ini telah mencapai hasil yang menakjubkan dalam pengobatan diabetis tanpa menggunakan sedikitpun obat-obatan kimiawi.
3) Mengobati Penyakit-Penyakit Kulit
Sesungguh puasa memberikan manfaat untuk mengobati berbagai penyakit kulit. Hal ini disebabkan karena dengan berpuasa maka kandungan air dalam darah berkurang, maka berkurang pula kandungan air pada kulit. Hal ini pada gilirannya akan berpengaruh pada:
1. Menambah kekuatan kulit dalam melawan mikroba dan penyakit penyakit mikroba dalam perut.
2. Meminimalisir kemungkinan penyakit-penyakit kulit yang menyebar di sekujur badan seperti sakit psoriasis —(sakit kulit kronis).
3. Meminimalisir alergi kulit dan membatasi masalah kulit —-berlemak.
4) Mencegah Penyakit Asam Urat
Penyakit asam urat (gout) yang sering dijuluki “penyakit orang kaya”, disebabkan karena kelebihan makanan yang banyak mengandung asam urat (hati, otak, jeroan, sarden, remis, angsa, alkohol, makanan yang diawetkan dalam kaleng, kacang-kacangan, emping, kembang kol, bayam, asparagus). Terlalu banyak makan makanan yang banyak mengandung asam urat tersebut akan menyebabkan kelebihan asam urat (uric acid) dan menumpuk di persendian, khususnya pada persendian jari-jari besar di kaki. Juga jika kelebihan makan daging yang mengandung asam urat, tubuh tidak bisa mengurai berbagai protein yang ada dalam daging, akibatnya asam urat akan menumpuk di persendian. Dan ketika persendian terkena penyakit “asam urat” (gout), maka ia akan membengkak dan memerah dan disertai nyeri yang luar biasa.
Terkadang kadar asam urat berlebih dalam darah, kemudian ia mengendap di ginjal dan akhirnya mengkristal di dalam ginjal dan akan menjadi batu ginjal. Dengan mengurangi porsi makan dapat menyembuhkan penyakit ini.
5) Mengurangi Tertimbunnya Kolesterol
Para profesor yang melakukan penelitian medikal ilmiah ini (mayoritasnya adalah non-muslim) menegaskan akan manfaatnya puasa, karena puasa bisa mengurangi lemak dalam tubuh dan pada gilirannya akan menyebabkan berkurangnya kolesterol. Kelebihan kolesterol dalam tubuh, bisa menyebabkan penyakit jantung.
6) Menghilangkan Sakit Persendian Tulang
Sakit persendian biasanya akan timbul setelah berlalunya waktu yang panjang. Dengan bertambahnya usia maka organ-organ tubuh mulai terasa nyeri dan sakit-sakitan pun akan menyertainya, dan kedua tangan dan kaki akan mengalami nyeri yang banyak. Penyakit ini terkadang menimpa manusia pada fase-fase akhir usianya, akan tetapi lebih khusus lagi pada usia antara 30 s/d 50 tahun. Dan masalah yang sesungguhnya, kedokteran modern belum mampu menemukan obat atas penyakit ini sampai sekarang.
Akan tetapi percobaan ilmiah yang dilakukan di Rusia menegaskan bahwasanya puasa bisa menyembuhkan penyakit ini. Dan puasa bisa mengembalikan atau membersihkan tubuh dari hal-hal yang membahayakan. Puasa ini dilakukan selama tiga minggu berturut-turut. Pada kondisi puasa ini, badan manusia akan dibersihkan dari mikroba maupun bakteri penyebab penyakit. Percobaan ini dilakukan terhadap sejumlah penderita penyakit tersebut dan ternyata memperoleh hasil yang menakjubkan.
2. Puasa dilihat dari aspek sosial
Puasa selain sebuah ibadah yang ada pada umat islam kepada Allah atau yang sering kita ketahui yaitu hubungan secara ubudiah, terdapat juga hubungan muamalah atau hubungan terhadap sesame manusia. Secara muamalah jika kita melakukan puasa baik sunnah ataupun puasa bulan ramadhan dapat mengingatkan dan merasakan apa yang dirasakan oleh saudara kita yang kurang mampu. Didikan belas kasihan terhapa fakir miskin karena seseorang yang telah merasa sakit dan pedihnya perut kroncongan. Hal itu akan dapat mengukur kesedihan dan kesusahn orang yang sepanjang masa merasakan ngilunya perut yang kelaparan karena ketiadaan. Dengan demikian akan timbul perasaan belaskasihan dan suka menolong fakir miskin atau sesame
3. Puasa dilihat dari aspek pendidikan
Kita telah mengetahui beberapa aspek yang berkaitan dengan masalah puasa, baik dari segi kesehatan, maupun social, disamping itu solat secara filosofis mempunyai aspek pendidikan yang terdapat didalamnya. Didikan kepercayaan sebagaimana yang sangat menonjol dalam ibadah ini. Seseorang yang telah sanggup menahan makan dan minum dari harta yang halal kepunyaannya sendiri, karena ingat perintah Allah, sudah tentu ia tidak akan meninggalkan segala perintah Allah dan tidak akan berani melanggar segala laranganNya
DAFTAR PUSTAKA
  • Suyitno Harun.Dasar hukum islam. Sinar Pustaka : Yogjakarta.
  • http://makalahkomplit.blogspot.com/2012/11/pengertian-asabah.html
  • Rasjid, Sulaiman. 2009. Fiqih Islam. Sinar Baru: Bandung.
  • Sayyid Sabiq,1978, Fiqih Sunnah, Bandung, al-Ma’arif,

Sabtu, 10 November 2012

Sejarah Pemikiran dan Perkembangan Fiqih | Ushul Fikih | Islam

Dalam Sejarah dan Perkembangan Fikih, Fiqih lahir bersamaan dengan lahirnya agama Islam, sebab agama Islam itu sendiri, adalah kumpulan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia sesamanya. Karena luasnya aspek yang diatur oleh Islam, para ahli membagi ajaran Islam ke dalam beberapa bidang seperti bidang aqidah, ibadah dan muamalah. Kesemua ini pada masa Rasulullah di terangkan di dalam Al-qur’an sendiri yang kemudian diperjelas lagi oleh Rasulullah dalam sunahnya. Hokum yang ditetapkan dalam Al-qur’an atau sunah 

Dimasa sahabat banyak terjadi pelbagi peristiwa yang dahulunya belum pernah terjadi. Maka untuk menetapkan hukum terhadap peristiwa yang baru itu para sahabat terpaksa berijtihad,dalam ijtihad ini kadang –kadang terdapat kesepakatan pendapat seperti ini dinamakan ‘’ijmak ‘’ dan kadang-kadang terjadi perbedaan pendapat yang dinamakan ‘’atsar’’.Para sahabat tidak akan menetapkan hukum sesuatu perbuatan terkecuali memang sudah terjadi,dan hasil ijtihad para sahabat tidak dibukukan karena itu hasil ijtihad mereka belum lagi dianggap sebagai ilmu tetapi hanya merupakan pemecahan terhadap kasus yang mereka hadapi. Karena itu hasil ijtihad para sahabat belum dinamakan fiqih dan para sahabat yan mengeluarkan ijthad belum dapat dinamakan fuqaha.

Pada abad ke dua dan ketiga hijriah, yang dikenal dengan masa tabi’in, tabi’it tabi’in dan imam-imam mazhab, daerah yang dikuasai umat islam makin meluas, banyak bangsa-bangsa yang bukan Arab memeluk Islam. Karena itu banyak timbul berbagai kasus baru yang belum pernah terjadi di masa sebelumnya.

Karena kasus baru inilah yang memaksa para fuqaha berijtihad mencari hukum kasus itu, dalam berijtihad mereka tidak hanya berbicara yang makin terjadi pada masa mendatang. Jadi sumber fiqih pada masa itu di samping Al-qur’an dan sunah di tambah lagi dengan sumber lain seperti ijmak, qiyas, istihsaan, istishab, maslahatul mursalah, mazhab sahabat dan syariat sebelum Islam. Dimasa ini dimulai gerakan pembukuan Sunnah, fiqih dan pelbagai cabang ilmu pengetahuan lainnya. Dalam mencatat fiqih di samping mencatat pendapat juga di tambah dengan dalil pendapat baik Al-qur’an maupun sunnah atau dari sumber lainnya. Pada masa ini orang yang berkesimpulan jalan ilmu fiqih dinamakan “fuqaha” dan ilmu pengetahuan mereka dinamakan “fiqih”.

Orang yang pertama mengambil inisiatif dalam bidang ini adalah Malik bin Anas yang mengumpulkan sunnah, pendapat para sahabat dan tabi’in, yang dikumpulkan di dalam sebuah kitab yang dinamakan “muwatha”, yang menjadi pegangan orang Hijaz. Imam Abu Yusuf menulis beberapa buah kitab tentang fiqih yang menjadi pegangan orang Irak, imam Muhammad bin Hasan salah seorang murid imam abu Hanipah telah mengumpulkan pendapat-pendapat imam Abu Hanifah dalam sebuah kitab “Zhirur riwayah” yang menjadi dasar mazhab Hanafi, dan di Mesir Imam Syafi’i menyusn kitab “Al Um”, yang menjadi dasar mazhab Syafi’.

Jumat, 09 November 2012

Makalah Fiqih Mawaris

Makalah Fiqih Mawaris

A. Pengertian Fiqh Mawaris
Istilah Fiqh Mawaris (فقه المواريث) sama pengertiannya dengan Hukum Kewarisan dalam bahasa Indonesia, yaitu hukum yang mengatur tata cara pembagian harta peninggalan orang yang meninggal dunia. Ada dua nama ilmu yang membahas pembagian harta warisan, yaitu ilmu mawaris (علم المواريث) dan ilmu fara'id (علم الفرائض). Kedua nama ini (mawaris dan fara'id) disebut dalam al-Qur'an maupun al-hadis. Sekalipun obyek pembahasan kedua ilmu ini sama, tetapi istilahnya jelas berbeda. Kataمواريث adalah jama' dari ميراث dan miras itu sendiri sebagai masdar dari ورث - يرث- ارثا - وميراثا .
Secara etimologi kata miras mempunyai beberapa arti, di antaranya: al-baqa' (البقاء) , yang kekal; al-intiqal(الانتقال) "yang berpindah", dan al-maurus (الموروث) yang maknanya at-tirkah (التركة) "harta peninggalan orang yang meninggal dunia". Ketiga kata ini (al-baqa', al-intiqal, dan at- tirkah) lebih menekankan kepada obyek dari pewarisan, yaitu harta peninggalan pewaris.
Adapun kata fara'id (الفرائض) dalam kontek kewarisan adalah bagian para ahli waris. Dengan demikian secara bahasa, apabila ilmu yang membahas kewarisan disebut ilmu fara'id karena yang dibahas adalah bagian para ahli waris, khususnya ahli waris yang bagiannya sudah ditentukan. Apabila dibandingkan kedua istilah di atas dalam pengertian bahasa, kata mawaris mempunyai pengertian yang lebih luas dan lebih menampung untuk menyebut ilmu yang membahas tata cara pembagian harta peninggalan orang yang meninggal dunia dibandingkan istilah fara'id.
Apabila ditelusuri pemakaian kedua istilah di atas di kalangan para ulama, tampaknya pada awalnya lebih banyak digunakan kata fara'id daripada kata mawaris. Hal ini dapat dilihat dari fiqh-fiqh klasik yang dalam salah satu babnya memakai judul bab al-faraid atau kitab al-fara'id, sebagai judul pembahasan kewarisan. Adapun pada masa belakangan menunjukkan kebalikannya, yaitu lebih banyak digunakan kata mawaris, seperti Wahbah az-Zuhaili dalam karyanya "al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu", jilid VIII dalam bab ke-6 memberi judul babnya الميراث.
Lafad al-faraid, sebagai jamak dari kafazd faridhah, oleh para ulam faradhiyun diartikan semakna dengan lafazd mafrudhah, yakni bagian yang telah dipastikan kadarnya. Faraid dalam istilah mawaris dikhususkan untuk suatu bagian ahli waris yang telah ditentukan besar kecilnya oleh syara. Sedang ilmu faraidh oleh sebagian ulama faradhiyun di ta’rifkan “ ilmu fiqhi yang berpautan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta pusaka dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peningalan untuk setiap pemilik harta pusaka”.
Menurut fiqih adalah apa yang ditinggalkan oleh orang mati berupa harta atau hak-hak yang karena kematianya itu menjadi hak ahli warisnya secara syar’i.
Ilmu faraid adalah ilmu yang mempelajari pembagian warisan dan cara penghitunganya dilihat darai kaca mata fiqih.
Istilah Fara’id adalah bahasa yang menunjukkan bentuk plural atau jamak. Adapun bentuk mufradnya adalah “Faridah” yang berarti: suatu ketentuan atau dapat pula diartikan bagian-bagian yang tertentu. Di dalam hukum waris islam dikenal dengan istilah “Ilmul Fara’id” atau disebut dengan ilmul mirats, yakni ilmu yang membahas tentang pembagian warisan dari seseorang yang meninggal dunia.
Al-Syarbiny dalam sebuah kitabnya Mughni al-Muhtaj juz 3 mengatakan bahwa: “Fiqih Mawaris adalah fiqih yang berkaitan dengan pembagian harta warisan, mengetahui perhitungan agar sampai kepada mengetahui bagian harta warisan dan bagian bagian yang wajib diterima dari harta peninggalan untuk setiap yang berhak menerimanya.” Dalam konteks yang lebih umum, warisan dapat diartikan sebagai perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup. Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Hukum Warisan di Indonesia misalnya mendefinisikan “Warisan adalah soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup”.
Dengan demikian, ilmu faraidh mencakup tiga unsur penting didalamnya:
1. Pengatahuan tentang kerabat-kerabat yang menjadi ahli waris;
2. Pengetahuan tentang bagian setiap ahli waris; dan
3. Pengetahuan tentang cara menghitung yang dapat berhubungan dengan pembagian harta waris.
Dari pengertian mawaris secara bahasa di atas dapat dipahami bahwa ilmu yang membahas kewarisan disebut ilmu mawaris antara lain karena yang dibahasnya adalah mengenai tata cara pemindahan harta peninggalan orang yang meninggal dunia (dari kata miras yang berarti al-intiqal), atau karena yang dibahas oleh ilmu ini ialah harta peninggalan orang yang meninggal dunia (dari kata miras yang berarti tirkah).
B. Kedudukan dan Urgensinya
Ilmu fara’idh atau fiqih mawaris merupakan ilmu yang sangat penting. Oleh karena itu, Allah sendiri dan secara langsung mengatur bagian-bagian fara’idh ini. Dia tidak menyerahkan hal tersebut kepada malaikat atau rasul yang paling dekat sekalipun. Allah telah menjelaskan masing-masing bagian ahli waris yang seperdua, seperempat, seperdelapan, dua pertiga, sepertiga dan seperenam. Ini berbeda dengan hukum-hukum lainnya, seperti shalat, zakat, puasa, haji dan lain-lain yang nash-nashnya bersifat global. Allah SWT menjamin surga bagi kaum muslimin yang melaksanakan hukum waris Islam ini.
Allah SWT berfirman. “(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan RasulNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar” [An-Nisa: 13]. Allah SWT, mengancam dengan neraka dan adzab yang pedih bagi orang-orang yang menyelisihi batasan-batasan fara’idh Islam tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman. “Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya dan melanggar ketentuan-ketentuanNya, niscaya Allah memasukkannya kedalam api neraka, sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan” [An-Nisa : 14], Rasulullah SAW memerintahkan agar umat Islam mempelajarai ilmu fara’idh dan mengajarkannya.
Amirul Mukminin Umar Ibnul Khaththab Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Pelajarilah fara’idh, sebab ia adalah bagian dari agamamu”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berkata: “Pelajarilah fara’idh, nahwu dan Sunnah sebagaimana kamu mempelajari Al-Qur’an” Ibnu Abbas Ra, ketika menafsirkan ayat 73 surat Al-Anfal, dia menyatakan: “Jika kamu tidak mengambil ilmu waris yang diperintahkan oleh Allah, maka pasti akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar”.
Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Perumpamaan orang yang membaca Al-Qur’an tetapi tidak pandai fara’idh, adalah seperti baju burnus yang tidak memiliki kepala”. Para ulama Islam sangat peduli dan memberi perhatian yang besar terhadap ilmu ini, dengan berdiskusi, mengajarkan, merumuskan kaidah-kaidahnya, dan menuliskannya dalam literarur (kitab) fiqih. Ini semua karena, fara’idh merupakan bagian dari agama Islam, diwahyukan langsung oleh Allah, dan dijelaskan serta dipraketkkan oleh Rasulullah SAW. (Lihat Syaikh Shalih Fauzan dalam At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hlm. 13-16)
C. Dasar-Dasar Pewarisan Masa Jahiliyah
Orang-orang Arab jahiliyah adalah tergolong salah satu bangsa yang gemar mengembara dan berperang. Kehidupan mereka tergantung dari hasil jarahan dan rampasan perang dari bangsa-bangsa yang telah mereka taklukkan, dan juga ada yang tergantung dari hasil memperniagakan rempah-rempah. Dalam tradisi pembagian harta pusaka yang telah diwarisi dari leluhur mereka terdapat suatu ketentuan utama bahwa anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan dilarang mempusakai harta peninggalan ahli warisnya yang telah meninggal dunia.Tradisi tersebut menganggap bahwa anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan adalah sebagai keluarga yang belum atau tidak pantas menjadi ahli waris. Sebagian dari mereka beranggapan bahwa janda perempuan dari orang yang telah meninggal merupakan wujud harta peninggalan yang dapat dipusakakan dan dipusakai kepada dan oleh ahli waris si mati .
Banyak sekali riwayat-riwayat dari para sahabat yang menceritakan hal tersebut. Ibn Abi Thalhah, misalnya mengutib suatu riwayat Ibn Abbas r.a yang menjelaskan: “Konon bila terjadi seorang laki-laki meninggal dunia dengan meninggalkan seorang perempuan (janda), kerabatnya melemparkan pakaiannya dimuka perempuan tersebut. (Atas tindakan ini) maka yang melarangnya untuk dikawini oleh orang lain. Jika perempuan tersebut cantik teru s dikawininya dan juga jelek ditahannya sampai meninggal dunia untuk kemudian dipusakai harta peninggalannya.” )
Bukti bahwa tradisi mewarisi janda simati itu betul-betul terjadi pada zaman jahiliyah ialah tindakan seorang yang bernama Mihshan bin Abu Qais al-Aslat, sesaat ayahnya meninggal dunia, ia berhasrat mengawini janda ayahnya yang tidak diurus belanjanya dan tidak diberi pusaka sedikitpun dari harta peninggalan ayahnya. Atas desakan dari calon suaminya yang baru janda tersebut meminta ijin kepada Rasulullah agar diperkenankan berkawin dengan Mihsham. Disaat itu Rasulullah belum dapat memberikan jawaban secara spontan. Baru beberapa saat kemudian, setelah Allah menurunkan ayat dari surat An-Nisa’: 19
“ Hai orang- orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita- wanita( janda- janda si mati) dengan cara paksaan.”
Tata aturan pembagian harta pusaka di dalam masyarakat jahiliyyah, sebelum Islam datang, didasarkan atas nasab dan kekerabatan, dan itu hanya diberikan kepada keluarga yang laki-laki saja, yaitu mereka yang lelaki yang sudah dapat memenggul senjata untuk mempertahankan kehormatan keluarga, dan melakukan peperangan serta merampas harta peperangan. Orang-orang perempuan dan anak-anak tidak mendapatkan pusaka. Bahkan orang-orang perempuan, yaitu istri ayah atau istri saudara di jadikan harta pusaka.
Kemudian, pengangkatan anak, berlaku dikalangan jahiliyah dan apabila sudah dewasa si anak angkat mempunyai hak yang sepenuh-penuhnya sebagaimana disyaratkan oleh bapak yang mengangkatnya. Dan karena itu, apabila bapak angkat ini meninggal, anak angkat mempunyai hak mewaris sepenuh-penuhnya atas harta benda bapak angkatnya.
D. Penentuan Ahli Waris
Dalam penentuan ahli waris ada sebab- sebab mempusakai yaitu ada 3 macam:
1. Adanya pertalian kerabat( qarabah)
2. Adanya janji prasetia( muhalafah)
3. Adanya pengangkatan anak( tabanny atau adopsi)
Hak pusaka belum dapat digunakan sebagaimana mestinya, selama ia tidak memiliki dua buah syarat berikut:
1. Sudah dewasa
2. Orang laki- laki
Pertalian-kerabat saja belum cukup kiranya dijadikan alasan untuk menuntut hak pusaka, selagi tidak di lengkapi dengan adanya kekuatan jasmani yang sanggup untuk membela, melindungi dan memelihara qabilah atau sekurang- kurangnya keluarga mereka.
Dengan demikian para ahli waris jahiliyah dari golongan kerabat semuanya terdiri dari golongan laki- laki. Mereka itu ialah :
1. Anak laki-laki
2. Saudara laki-laki
3. Paman
4. Anak paman, Yang kesemuanya harus sudah dewasa.
Janji-prasetia itu baru terjadi dan mempunyai kekuatan hukum, bila salah seorang pihak telah mengikrarkan janji prasetianya kepada pihak lain, dengan ucapan (sumpah).
Pengangkatan Anak
Seorang yang telah mengambil anak laki- laki orang lain untuk di pelihara dan dimasukkan didalam keluarga yang menjadi tanggungannya menjadi bapak angkat terhadap anak yang telah diadopsi dengan berstatus anak nasab. Anak angkat tersebut bila sudah dewasa dan bapak angkatnya meninggal dunia, dapat mempusakai harta peninggalan bapak angkatnya seperti anak keturunannya sendiri .
E. Hukum Waris Masa Awal Islam
Pada masa awal-awal Islam, hukum kewarisan belum mengalami perubahan yang berarti. Di dalamnya masih terdapat penambahan-penambahan yang lebih bekonotasi strategis untuk kepentingan dakwah, atau bahkan “politis”. Tujuannya adalah, untuk merangsang persaudaraan demi perjuangan dan keberhasilan misi Islam. Pertimbangannya, kekuatan Islam pada masa itu, dirasakan masih sangat lemah baik sebagai komunitas bangsa maupun dalam pemantapan-pemantapan ajarannya, yang masih dalam dinamika perubahan.
F. Dasar-Dasar Penentuan Ahli Waris
Dasar penentuan ahli waris pada zaman awal-awal islam masih mengunakan adat yang berlaku diantaranya:
1. Pertalian kerabat (Al-Qarabah);
2. Janji prasetia (Al-bilf wa al mu`aqadah);
3. Pengangkatan anak (Al-tabanni) atau adopsi;
4. Hijrah dari Mekah ke Madinah;
5. Ikatan persaudaraan (Al-muakhah) antara orang-orang Muhajirin (pendatang) dan orang-orang Anshor, yaitu orang-orang Madinah yang memberikan pertolongan kepada kaum muhajirin dari Mekah di Madinah.
DAFTAR PUSRAKA
  • Rahman Fatchur, Ilmu Waris, Bandung; PT. Alma’arif, 1971.
  • Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, Jakarta; PT. Rineka Cipta.
  • Ali as-Sabuny, Muhammad, al-Mawaris fi asy-Syari'ah al-Islamiyyah fi Dau al-Kitab a as-Sunnah, 1989.Az-zuhaili,
  • Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jakarta; Darul Fikir, 2011.Al-Fauzan,
  • Saleh, fiqih Sehari-Hari, Jakarta; Gema Insani Press, 2005.

Kamis, 08 November 2012

Makalah Waris Pada Masa Awal Islam

Makalah Waris Pada Masa Awal Islam
1. Langkah-langkah politik dan pengaruhnya dalam hukum islam
Formalisasi hukum waris di Indonesia, dilatar belakangi oleh tiga sistem hukum yaitu Hukum Islam, Hukum Perdata Barat dan Hukum Adat. Dengan adanya ketiga sistem hukum tersebut, kemudian munculah hukum waris Islam yang ada di Indonesia dengan wajah barunya yang terdapat pada Kompilasi Hukum Islam buku ke II. Di samping itu beberapa perkembangan telah menunjukkan adanya perubahan ataupun kemajuan dari hukum waris yang telah ada melalui beberapa yurisprudensi.
Persoalan Hukum Waris menyangkut tiga unsur, yaitu: adanya harta peninggalan atau harta kekayaan pewaris yang disebut warisan Secara umum Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah membawa perubahan yang sangat mendasar terhadap eksistensi Pengadilan Agama. Saat itu masih dikenal istilah “choice of law” atau pilihan hukum. Pilihan hukum disini dimaksudkan bahwa para pihak diperkenankan memilih dasar hukum yang akan dipakai dalam penyelesaian pembagian harta warisan, yang nantinya memberikan konsekuensi terhadap pengadilan mana yang berwenang untuk mengadili sengketa tersebut. Pilihan hukum disini maksudnya sengketa tersebut dapat diajukan ke Pengadilan Negeri bila penyelesaiannya tunduk pada hukum Adat atau hukum Eropa (Civil Law) atau dapat diajukan ke Pengadilan Agama bila penyelesaiannya tunduk pada hukum Islam.
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama diharapkan untuk memangkas “choice of law” dalam Hukum Kewarisan. Dalam Penjelasan Umum telah dinyatakan “Bahwa Para Pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan, dinyatakan dihapus”.Dengan dihapusnya pilihan hukum dalam waris, maka selama ahli waris beragama Islam, maka kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara warisnya adalah pengadilan agama, dan bukan lagi menjadi kewenangan pengadilan negeri. Praktik di dalam masyarakat, ternyata masih banyak masyarakat yang lebih mendasarkan kepada hukum waris adat, dibandingkan dengan hukum waris Islam.
2. Hijrah dan makkah sebagai dasar pewarisan
Kekuatan kaum muslimin pada saat itu masih sangat lemah, lantaran jumlah mereka masih sedikit sekali. Untuk menghadapi kaum musyrikin quarisy yang sangat kuat dan banyak pengikutnya, tidak ada jalan lain yang ditempuh oleh Rasulullah s.a.w. beserta pengikut-pengikutnya selain meminta bantuan kepada penduduk diluar kota yang sepaham dan simpatik terhadap perjuangan beliau beserta kaum muslimin dan memberantas kemusrikan.
Setelah menerima perintah dari allah subahanahu wata ala agar meninggalkan kota makkah, Rasulullah s.a.w bersama-sama dengan sejumlah sahabat besar meninggalkan kota makkah menuju medinah. Dikota yang baru ini Rasulullah s.a.w. beserta rombongannya disambut dengan gembira oleh orang-orang medinah dengan ditempatkan dirumah-rumah mereka, dicukupi segala perluan hariannya, dilindungi jiwanya dari pengejaran kaum musyrikin quraisy dan dibantunya dalam menghadapi musuh-musuh yang menyerang.
Untuk memperteguh dan mengabdikan persaudaraan antar kaum muhajirin dan kaum anshar, rasulullah s.a.w. menjadikan ikatan persaudaraan tersebut sebagai salah satu sebab untuk saling dapat pusaka mempusakai satu sama lain. Misalnya apabila seorang muhajirin meninggal dunia dimedina dan ia mempunyai wali(ahli waris) yang ikut hijrah, maka harta peninggalannya dipusakai oleh walinya yang ikut hijrah, maka harta peninggalannya dipusakai oleh walinya yang enggan hijrah kemadinah tidak berhak mempusakai harta peninggalannya sedikitpun. Akan tetapi bila muhajir tersebut tidak mempunyai wali yang ikut hijrah, harta peninggalannya dapat dipusakai oleh saudaranya dari orang anshar yang menjadi wali karena ikaan persaudaraan.
Hijrah dan muakhah sebagai sebab untuk mempusakai itu dibenarkan oleh tuhan dalam firman-Nya pada surat al-anfal: 72“sesungguhnya orang-orang yang beriman, berhijrah, dan berijtihad pada jalan allah dengan harta dan jiwanya dan orang-orang yang melindungi serta menolong, mereka itu sebgaiannya melindungi wali bagi yang lain, sedan orang-orang yang beriman tetapi enggan berhijrah, tak ada kewajban sedikitpun bagimu mewakilkan mereka, sebelum mereka berhijrah”. (al-anfal: 72)
Sebagian mufassirin, semisal ibnu ‘abbas r.a. al-hasan, mujahid dari qatadah menafsirkan perwalian dalam ayat tersebut ialah ak mempusakai yang ditimbulkan oleh kekerabatan yang terjalin oleh adanya ikatan persaudaraan antara orang-orang muhajirin dengan orang-orang anshar.
3. Pengangkatan anak (tabbani atau adopsi) dan penentuan ahli waris
Adopsi adalah pengangkatan anak oleh seorang dengan maksud untuk menganggapnya anak itu sebagai anaknya sendiri.
Konon nabi Muhammad s.a.w. sebelum diangkat menjadi Rasul, pernah mengambil anak angkat zaid bin haritsah, setelah ia dibebaskan dari status perbudakannya. Karena setatus anak angkat pada saat itu identik dengan anak keturunannya sendiri, para sahabat memanggilnya bukan zaid bin haritsah, tetapi Zaid bin Muhammad. Salaim bin ‘tabah setelah diambil anak angkat oleh sahabat abu hudzaifah r.a. panggilannyapun berubah menjadi Salim bin Abi Hudzaifah
Lembaga adopsi beserta akibat hukumnya tidak bertahan lama pada zaman awal-awal islam. Lembaga ini berakhir setelah di turunkan surat al-ahzab: 4,5 dan al-ahzab 40.
وَمَاجَعَل اَدعِيَآءَكُمْؕؕذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِاَفْوَاھِكُمْؕؕوَاللّه يَقُوْلُ اْلحَقَّ وَهُوَيَہْدِي السَّبِيْلَ. اُدْعُوْهْمْ لِاَبَٓاءِهِم هُوَاَقْسَطُ عِنْدَاللَّهِٝفَاِخْوَانَكُمْ فِى الدِّيْنِ وَمَوَالِيكْمٗ
“...... Dan tuhan tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu sendiri. Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. Sedang allah atu mengatakan yang sebenarnya dan menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka dengan memakai nama ayah-ayahnya (yang sebenarnya). Sebab yang demikian itu lebih adil disisi allah, jika kamu tidak mengetahui ayahnya, maka (panggillah mereka sebagai memanggil) saudara-saudaramu seagama dan maula-maula (orang-orang yang dibawah pemeliharaanmu).... dst.al ahzab 4.
Hal-hal yang penting untuk diperhatikan:
a. Adopsi boleh dilakukan oleh suami isteri bersama-sama(pasal 5 ayat 2)
b. Adopsi dilakukan oleh seorang duda, maka ia harus tidak mempunyai keturunan di dalam garis laki-laki(pasal 5 ayat 1)
c. Seorang janda yang tidak kawin lagi dapat mengadopsi, jika dari suaminya yang telah meninggal dunia itu tidak mempunyai keturunan lelaki(pasal 5 ayat 3)
d. Yang dapat diadopsi adalah seorang anak lelaki yang belum kawin dan belum mempunyai anak, dan yang belum diadopsi orang lain.(pasal 6)
e. Orang yang di adopsi harus berumur paling sedikit 18 tahun lebih muda dari lelaki dan 15 tahun lebih muda dari permpuan bersuami atau janda yang melakukan adopsi(pasal 7 ayat 1)
f. Jika yang diadopsi itu seorang keluarga sedarah maka dengan diadopsinya itu, anak itu harus menduduki derajat keturunan yang sama terhadap leluhurnya yang sama (pasla 7 ayat 2) sebelum diadopsiI.
D. Fath makkah dan pengaruhnya dalam formulasi hukum islam
Setelah aqidah mereka bertambah kuat dan satu sama lain telah terpupuk rasa saling cinta mencintai, apalagi kecintaan mereka kepada Rasulullah sendiri sudah sangat mesra, perkembangan agama islam makin maju, pengikut pengikut agama islam bertambah banyak, pemerintahan islam sudah stabil dan lebih dari itu penaklukan kota mekkah telah berhasil dengan sukses, maka kewajiban hijrah yang semula sebagai media untuk menyusun kekuatan antara orang muslimin dari Mekkah dengan orang Muslimin dari Madinah dicabut dengan sabda beliau yang artinya “Tidak ada kewajiban berhijrah lagi setelah penaklukan kota Mekah” (al-Bukhari)
Demikian juga sebab sebab mempusakai yang berdasarkan ikatan persaudaraan (muakhah) dinasakh oleh firman Allah dalam surah Al Ahzab:6 Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri. dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam kitab Allah daripada orang-orang mukmim dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada saudara saudaramu (seagama). adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab (Allah).
Sebab sebab mempusakai yang hanya berdasarkan kelaki lakian yang dewasa lagi kuat berjuang, dengan mengenyampingkan anak anak yang belum dewasa dan kaum perempuan, sebagaimana yang dilakukan oleh orang orang jahiliyah juga telah dibatalkan. Pembatalan tersebut tercantum dalam surah An Nisa’ 7: yang artinya“bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. Adapun tentang ketiadaan wanita dan anak anak yang belum dewasa untuk mendapatkan harta warisan dibatalkan oleh Allah dalam surat an-Nisa’ : 11 yang artinya “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak anakmu. Yaitu : bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja,
Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. Kemudian mempusakai yang berdasarkan janji prasetia, sebagai yang tercantum dalam surah an Nisa’ ayat 33, dinasakhkan oleh firman Allah dalam surah al Anfal ayat 75: yang artinya “dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu Maka orang-orang itu Termasuk golonganmu (juga). orang-orang yang mempunyai hubungan Kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Mempusakai yang berdasarkan adopsi dibatalkan oleh firman Allah dalam surah al Ahzab ayat 4 dan 5: yang artinya Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar)Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maulamaulamu dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dengan demikian pada masa islam jaya (setelah fath} makkah) sebab-sebab mendapatkan harta warisan sudah mengalami pembaharuan. Sebab Hijrah dan muakhkhah, janji setia, adopsi sudah di batalkan oleh islam. Setelah jaya sebab-sebab mendapat harta warisan ada tiga yaitu :
a.nasab (keturunan)
b.perkawinan
c.wala (memerdekakan budak)
Dalam persoalan nasab paradigma sudah berkembang. Kalau pada zaman jahiliyyah yang berhak mendapatkan warisan hanya laki-laki yang sudah dewasa, pada masa islam jaya, tidak hanya laki-laki yang berhak mendapatkannya, tetapi perempuan pun berhak mendapatkannya tetapi dengan porsi 2:1, laki-laki 2 perempuan 1. Ini menunjukkan perkembangan dan pembaharuan hukum islam,. Karena pada awalnya perempuan tidak hanya tidak mendapatkan harta warisan tetapi dia menjadi harta warisan.
Sedangkan wala’ (memerdekakan budak) menjadi sarana untuk mendapatkan harta warisan karena pada masa jahiliyyah dan awal islam perbudakan masih marak dilakukan. Salah satu misi islam yang dibawa rasulullah adalah untuk memerdekakan manusia, salah satu metode yang dipakai rasulullah agar tuan itu mau memerdekakan budaknya adalah dengan cara, orang yang mau memerdekakan budak ketika budak itu mati maka sayyid (tuan) yang memerdekakan tadi berhak mendapatkan warisan dari harta budak tadi. Hal ini ditegaskan nabi dalam haditsnya yaitu : “Wala’ itu mempunyai bagian sebagaimana bagian kerabat”.(HR. Ibn hibban dan Hakim)
Sedangkan tentang saling waris mewarisi disebabkan hubungan zaujiyyah (perkawinan) di jelaskan oleh Allah dalam surat an-nisa’ ayat 12 : yang artinya dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai tanak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu
DAFTAR PUSTAKA
  • Ali, Afandi.2004.hukum waris hukum keluarga hukum pembuktian.Jakarta: CV Rineka Cipta
  • Rohman,Fathchur.1975.ilmu waris.Bandung:PT Alma’arif
  • http://makalahkomplit.blogspot.com/2012/10/dasar-pewarisan-pada-masa-awal-islam.html

Rabu, 07 November 2012

Makalah Pernikahan Berbeda Agama

BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Hubungan antar umat beragama telah lama menjadi isu yang populer di Indonesia. Popularitas isu ini sebagai konsekuensi dari masyarakat Indonesia yang majemuk, khususnya dari segi agama dan etnis. Karena itu, persoalan hubungan antar umat beragama ini menjadi perhatian dari berbagai kalangan, tidak hanya pemerintah tetapi juga komponen lain dari bangsa ini, sebut saja misalnya, LSM, lembaga keagamaan, baik Islam maupun non Islam dan lain sebagainya.
Seringkali kita lihat di tengah masyarakat apalagi di kalangan orang berkecukupan dan kalangan selebriti terjadi pernikahan beda agama, entah si pria yang muslim menikah dengan wanita non muslim (nashrani, yahudi, atau agama lainnya) atau barangkali si wanita yang muslim menikah dengan pria non muslim. Namun kadang kita hanya mengikuti pemahaman sebagian orang yang sangat mengagungkan perbedaan agama (pemahaman liberal). Tak sedikit yang terpengaruh dengan pemahaman liberal semacam itu, yang mengagungkan kebebasan, yang pemahamannya benar-benar jauh dari Islam. Paham liberal menganut keyakinan perbedaan agama dalam pernikahan tidaklah jadi masalah.
Namun bagaimana sebenarnya menurut pandangan Islam yang benar mengenai status pernikahan beda agama? Berangkat dari permasalahan itu kami mencoba untuk menjelas sekelumit tentang bagaimana hukumnya pernikahan beda agama, baik itu menurut UUD 1945, Kompilasi Hukum Islam, dan juga menurut agama Islam itu sendiri.
1.2.Perumusan Masalah
Supaya tidak terjadi kesimpang siuran dalam pembahasan karya tulis ini maka penulis membatasi masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana hukumnya pernikahan beda agama menurut hukum negara
2. Bagaimana pernikahan beda agama menurut hukum Islam
BAB IIPEMBAHASAN
2.1. Pernikahan Beda Agama Menurut Hukum Negara Indonesia
Dalam menghadapi masyarakat kompleks baik dalam segi budaya maupun agama, maka penting bagi pemerintah mengatur atau memayungi suatu kepentingan umum dengan hukum diantaranya masalah pernikahan. Untuk menghindari konflik atau ketidak selarasan dimasyarakat, maka pemerintah membuat perundang-undangan tentang pernikahan khususnya mengenai perbedaan agama. Diantara peraturan-peraturan mengenai pernikahan beda agama yang masih berlaku diantaranya:
1. Buku I Kitab Undang-undang Hukum Perdata
2. UU No. 1/1974 tentang Perkawinan
3. UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama
4. PP No. 9/1975 tentang Peraturan Pelaksana UU No. 1/1974
5. Intruksi Presiden No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Dalam Kompilasi Hukum Islam mengkategorikan perkawinan antar pemeluk agama dalam bab larangan perkawinan. Pada pasal 40 point c dinyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam. Kemudian dalam pasal 44 dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
KHI tersebut selaras dengan pendapat Prof. Dr. Hazairin S.H., yang menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar hukum agamanya.
Dalam KHI telah dinyatakan dengan jelas bahwa perkawinan beda agama jelas tidak dapat dilaksanakan selain kedua calon suami isteri beragama Islam. Sehingga tidak ada peluang bagi orang-orang yang memeluk agama Islam untuk melaksanakan perkawinan antar agama.
Kenyataan yang terjadi dalam sistem hukum Indonesia, perkawinan antar agama dapat terjadi. Hal ini disebabkan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan memberikan peluang tersebut terjadi, karena dalam peraturan tersebut dapat memberikan beberapa penafsiran bila terjadi perkawinan antar agama.
Berdasarkan UU No. 1/1974 pasal 66, maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam UU No. 1/1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Secara a contrario, dapat diartikan bahwa beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No. 1/1974.
Mengenai perkawinan beda agama yang dilakukan oleh pasangan calon suami isteri dapat dilihat dalam UU No.1/1974 tentang perkawinan pada pasal 2 ayat 1, bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pada pasal 10 PP No.9/1975 dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya.
Dalam memahami perkawinan beda agama menurut undang-undang Perkawinan ada tiga penafsiaran yang berbeda. Pertama, penafsiran yang berpendapat bahwa perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f. Pendapat kedua, bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama. Pendapat ketiga bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam undang-undang perkawinan.
2.2 Perkawinan berbeda Agama Menurut Islam
Menjaga kelestarian iman merupakan prinsip utama yang tidak boleh diutak-atik. Semua perangkat syari'ah dikerahkan untuk menjaga eksistensinya. Bahkan kalau perlu nyawa harus direlakan. Dalam ushul fiqh dijelaskan, term ini disebut hifdz al-din, yang menempati rangking satu dalam urutan hal-hal yang sangat dipelihara Islam.
Barangkali, persoalan nikah beda agama dapat dipahami dalam segmen ini. Islam tidak mau menjerumuskan umatnya ke lembah neraka. Karena itu, Islam sama sekali tidak mentolelir pernikahan dengan kaum atheis (orang yang tidak bertuhan). Larangan ini sangat tegas dan jelas karena menikah dengan orang musyrik atau musyrikah akan menuntun pada jalan neraka sebagaimana firman Allah dalam surat Albaqarah ayat 221 :   
Artinya : "Mereka (orang musyrik dan musyrikah) mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran".1 (QS. Al-Baqarah : 221)
Mayoritas ulama yang memberikan qayyid (catatan) bahwa keharaman pernikahan beda agama tidaklah mutlak akan tetapi tetap diperbolehkan bagi pria muslim dengan wanita ahlu kitab. Dalam hal ini para ulama melakukan kajian tafsir yang mendalam kaitannya dengan ayat tersebut. Menurut para ahli tafsir, yang disebut dengan musyrik/musyrikah adalah mereka yang mengingkari wujud Tuhan (atheis), tidak percaya pada nabi dan hari kiamat. Lalu bagaimana dengan mereka yang bukan atheis?2 Untuk mengklarifikasi masalah ini, maka dapat dilihat surat al-Bayyinah ayat 1 sebagai berikut:
Artinya : "Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik tidak akan meninggalkan sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata".
(QS. AL-Bayyinah : 1)
Ayat ini memberi informasi, bahwa orang kafir ada dua macam, yakni orang musyrik dan ahlu kitab. Yang disebut ahlu kitab adalah mereka yang berpedoman pada agama (kitab) samawi. Sedangkan yang disebut musyrik adalah mereka yang tidak mengakui Tuhan, nabi, hari akhir, dan berbagai doktrin agama samawi. Dengan kata lain, musyrik adalah mereka yang tidak bertuhan. Atau, mereka masih mengakui Tuhan, akan tetapi tidak berdasar pada agama samawi.
Dengan pemahaman ini, kita bisa memilih agama-agama yang ada di
belahan bumi. Sejarah mengatakan, yang termasuk agama samawi –tentunya mempunyai kitab samawi - adalah Yahudi dan nasrani. Dengan demikian hanya mereka yang berhak menyandang gelar ahlu kitab. Di luar itu, termasuk musyrikin.
Menikah dengan wanita musyrik jelas tidak diperbolehkan, namun dengan ahlu kitab ada dasar yang membolehkan yakni al-Qur'an surat al-Maidah ayat 5:
Artinya : "Wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi".5 (Q.S. Al-Maaidah : 5).
Menyikapi ayat ini para ulama berbeda pendapat, Ibnu Umar mengatakan bahwa kebolehan menikahi ahlu kitab adalah rukhsah karena saat itu jumlah wanita muslimah relatif sedikit. Ketika jumlah mereka sudah imbang, bahkan jumlah kaum wanita lebih banyak, maka rukhsah itu tidak berlaku lagi.
Alasan lain untuk melarang ahlu kitab adalah kata min qablikum (sebelum kamu). Maksudnya sebelum turunnya al-Qur'an. Dengan qayyid (catatan) ini, maka yang boleh dinikahi adalah wanita ahlu kitab yang memeluk agama Yahudi atau Nasrani sebelum al-Qur'an diturunkan.
Sedangkan wanita-wanita itu sekarang ini tidak jelas tidak ada lagi. Secara psikologis, pendapat Ibnu Umar bisa dipahami. Karena si anak dalam bahaya. Lazimnya, anak lebih akrab dengan sang ibu. Ketika ibunya Nasrani misalnya, peluang anak menjadi Nasrani lebih besar.
Sekalipun demikian, peluang untuk menikah dengan ahlu kitab tetap terbuka. Sebab banyak para ulama yang berpegang teguh pada dzahir ayat yang memperbolehkan nikah dengan ahlu kitab. Di kalangan sahabat sendiri tercatat sederet nama yang menikah dengan ahlu kitab. Walaupun berakhir dengan perceraian. Mereka yang pernah menikah dengan ahlu kitab antara lain Usman bin Affan, Hudzaifah, Sa'ad bin Abi Waqqas, dan lain-lain. Dalam kitab I'anatut Thalibin misalnya, Imam Abi Bakar menyatakan bahwa menikahi wanita ahli kitab diperbolehkan. Dalam hal ini pernikahan dengan ahlu kitab bisa ditolerir. Sebab dalam aspek teologis, konsep ketuhanan, rasul, hari akhir, dan prinsip-prinsip agama banyak persamaan. Dengan kesamaan ini, mahligai rumah tangga -yang merupakan tujuan pernikahan- sangat mungkin terealisasi. Di samping itu, dengan kesamaan itu pula, peluang untuk menarik istri ke Islam bukan sesuatu yang mustahil.
Hanya saja perlu diingat bahwa kebolehan menikah dengan ahlu kitab hanya berlaku bagi lelaki muslim dengan wanita ahlu kitab. Bukan sebaliknya. Sekali lagi ini untuk menjaga iman. Sebab, lumrahnya, istri mudah terpengaruh. Jika diperbolehkan, mereka dikhawatirkan akan terperdaya ke agama lain.
Persoalan terakhir yang perlu klarifikasi adalah apakah agama yang ada di Indonesia bisa masuk dalam ahlu kitab? Untuk agama Hindu, Buda dan Konghuchu jelas tidak bisa, karena bukan agama samawi, yang tentunya konsep ketuhanannya jauh berbeda.
Sedangkan untuk Kristen Protestan dan Katolik, ada kemungkinan. Kita sebut ada kemungkinan, sebab ada yang mensyaratkan nenek moyang mereka memeluk Kristen sebelum dinasakh. Persyaratan ini untuk konteks Indonesia, sulit dilacak, kalau tidak dikatakan mustahil. Sebab agama Kristen baru datang belakangan. Sebelum itu, warga Indonesia sudah memeluk Hindu, Buda, dan Islam. Dengan kata lain, Kristen yang ada sekarang adalah keturunan mereka yang 'murtad' dari Hindu, Buda, dan Islam. Jika persyaratan ini bisa diterima, peluang untuk menikah dengan orang Kristen dan Katolik tertutup rapat-rapat.
Jika mengikuti alur jumhur, peluang itu tetap ada, sebab persyaratan itu tidak ditemukan dalam ayat. Ayat kelima surat Al-Maidah memperbolehkan menikahi ahlu kitab dengan tanpa catatan. Bahkan Syekh Nawawi menyatakan, boleh menikah dengan ahlu kitab, sekalipun nenek moyang mereka masuk Kristen dan Katolik setelah agama itu dinasakh. Ada sinyalemen kuat bahwa kitab orang Kristen dan Katolik telah berubah. Apakah hal ini menghalangi kebolehan menikah dengan mereka? Yusuf Qardlawi dengan tegas mengatakan tidak menghalangi. Dari deskripsi di atas, maka jelaslah bahwa pernikahan beda agama diperbolehkan tetapi hanya bagi laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab.
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa pernikahan beda agama diatur dalam kompilasi hukum Islam dan tidak diatur dalam UUD di Negara Indonesia sehingga dapat dipahami bahwa terdapat perbedaan antara KHI dengan peraturan UUD Negara Indonesia, yang mana keduanya saling bertentangan. Dalam Kompilasi Hukum Islam mengkategorikan perkawinan antar pemeluk agama dalam bab larangan perkawinan. Pada pasal 40 point c dinyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Sedangkan menurut hukum Islam Menikah dengan wanita musyrik jelas tidak diperbolehkan, namun dengan ahlu kitab ada dasar yang membolehkan yakni al-Qur'an surat al-Maidah ayat 5, Dalam hal ini pernikahan dengan ahlu kitab bisa ditolerir. Sebab dalam aspek teologis, konsep ketuhanan, rasul, hari akhir, dan prinsip-prinsip agama banyak persamaan. Hanya saja perlu diingat bahwa kebolehan menikah dengan ahlu kitab hanya berlaku bagi lelaki muslim dengan wanita ahlu kitab. Bukan sebaliknya. Sekali lagi ini untuk menjaga iman. Sebab, lumrahnya, istri mudah terpengaruh. Jika diperbolehkan, mereka dikhawatirkan akan terperdaya ke agama lain.
Sumbangan Makalah Dari MASAIL
DAFTAR PUSTAKA
  • Zuhdi, Masjfuk. Masail Fiqhiyah. PT TOKO GUNUNG AGUNG. Jakarta. 1977
  • Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Sulaiman Mar’i, tt. hlm. 243
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

pentingnya membaca
pentingnya membaca
pentingnya membaca
pentingnya membaca
pentingnya membaca
pentingnya membaca