BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Hubungan antar umat beragama telah lama menjadi isu yang populer di
Indonesia. Popularitas isu ini sebagai konsekuensi dari masyarakat
Indonesia yang majemuk, khususnya dari segi agama dan etnis. Karena itu,
persoalan hubungan antar umat beragama ini menjadi perhatian dari
berbagai kalangan, tidak hanya pemerintah tetapi juga komponen lain dari
bangsa ini, sebut saja misalnya, LSM, lembaga keagamaan, baik Islam
maupun non Islam dan lain sebagainya.
Seringkali kita lihat di tengah masyarakat apalagi di kalangan orang
berkecukupan dan kalangan selebriti terjadi pernikahan beda agama, entah
si pria yang muslim menikah dengan wanita non muslim (nashrani, yahudi,
atau agama lainnya) atau barangkali si wanita yang muslim menikah
dengan pria non muslim. Namun kadang kita hanya mengikuti pemahaman
sebagian orang yang sangat mengagungkan perbedaan agama (pemahaman
liberal). Tak sedikit yang terpengaruh dengan pemahaman liberal semacam
itu, yang mengagungkan kebebasan, yang pemahamannya benar-benar jauh
dari Islam. Paham liberal menganut keyakinan perbedaan agama dalam
pernikahan tidaklah jadi masalah.
Namun bagaimana sebenarnya menurut pandangan Islam yang benar mengenai
status pernikahan beda agama? Berangkat dari permasalahan itu kami
mencoba untuk menjelas sekelumit tentang bagaimana hukumnya pernikahan
beda agama, baik itu menurut UUD 1945, Kompilasi Hukum Islam, dan juga
menurut agama Islam itu sendiri.
1.2.Perumusan Masalah
Supaya tidak terjadi kesimpang siuran dalam pembahasan karya tulis ini maka penulis membatasi masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana hukumnya pernikahan beda agama menurut hukum negara
2. Bagaimana pernikahan beda agama menurut hukum Islam
BAB IIPEMBAHASAN
2.1. Pernikahan Beda Agama Menurut Hukum Negara Indonesia
Dalam menghadapi masyarakat kompleks baik dalam segi budaya maupun
agama, maka penting bagi pemerintah mengatur atau memayungi suatu
kepentingan umum dengan hukum diantaranya masalah pernikahan. Untuk
menghindari konflik atau ketidak selarasan dimasyarakat, maka pemerintah
membuat perundang-undangan tentang pernikahan khususnya mengenai
perbedaan agama. Diantara peraturan-peraturan mengenai pernikahan beda
agama yang masih berlaku diantaranya:
1. Buku I Kitab Undang-undang Hukum Perdata
2. UU No. 1/1974 tentang Perkawinan
3. UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama
4. PP No. 9/1975 tentang Peraturan Pelaksana UU No. 1/1974
5. Intruksi Presiden No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Dalam Kompilasi Hukum Islam mengkategorikan perkawinan antar pemeluk
agama dalam bab larangan perkawinan. Pada pasal 40 point c dinyatakan
bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan
seorang wanita yang tidak beragama Islam. Kemudian dalam pasal 44
dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan
dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
KHI tersebut selaras dengan pendapat Prof. Dr. Hazairin S.H., yang
menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam
tidak ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar hukum agamanya.
Dalam KHI telah dinyatakan dengan jelas bahwa perkawinan beda agama
jelas tidak dapat dilaksanakan selain kedua calon suami isteri beragama
Islam. Sehingga tidak ada peluang bagi orang-orang yang memeluk agama
Islam untuk melaksanakan perkawinan antar agama.
Kenyataan yang terjadi dalam sistem hukum Indonesia, perkawinan antar
agama dapat terjadi. Hal ini disebabkan peraturan perundang-undangan
tentang perkawinan memberikan peluang tersebut terjadi, karena dalam
peraturan tersebut dapat memberikan beberapa penafsiran bila terjadi
perkawinan antar agama.
Berdasarkan UU No. 1/1974 pasal 66, maka semua peraturan yang mengatur
tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam UU No. 1/1974, dinyatakan
tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen
dan peraturan perkawinan campuran. Secara a contrario, dapat diartikan
bahwa beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur
dalam UU No. 1/1974.
Mengenai perkawinan beda agama yang dilakukan oleh pasangan calon suami
isteri dapat dilihat dalam UU No.1/1974 tentang perkawinan pada pasal 2
ayat 1, bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pada pasal 10 PP No.9/1975
dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai
pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan
dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya.
Dalam memahami perkawinan beda agama menurut undang-undang Perkawinan
ada tiga penafsiaran yang berbeda. Pertama, penafsiran yang berpendapat
bahwa perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1/1974
pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f. Pendapat kedua, bahwa perkawinan antar
agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam
perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan
campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk
pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan
antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang
yang berbeda agama. Pendapat ketiga bahwa perkawinan antar agama sama
sekali tidak diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan
pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan perkawinan beda agama dapat
merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam
undang-undang perkawinan.
2.2 Perkawinan berbeda Agama Menurut Islam
Menjaga kelestarian iman merupakan prinsip utama yang tidak boleh
diutak-atik. Semua perangkat syari'ah dikerahkan untuk menjaga
eksistensinya. Bahkan kalau perlu nyawa harus direlakan. Dalam ushul
fiqh dijelaskan, term ini disebut hifdz al-din, yang menempati rangking
satu dalam urutan hal-hal yang sangat dipelihara Islam.
Barangkali, persoalan nikah beda agama dapat dipahami dalam segmen ini.
Islam tidak mau menjerumuskan umatnya ke lembah neraka. Karena itu,
Islam sama sekali tidak mentolelir pernikahan dengan kaum atheis (orang
yang tidak bertuhan). Larangan ini sangat tegas dan jelas karena menikah
dengan orang musyrik atau musyrikah akan menuntun pada jalan neraka
sebagaimana firman Allah dalam surat Albaqarah ayat 221 :
Artinya : "Mereka (orang musyrik dan musyrikah) mengajak ke neraka,
sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran".1 (QS. Al-Baqarah : 221)
Mayoritas ulama yang memberikan qayyid (catatan) bahwa keharaman
pernikahan beda agama tidaklah mutlak akan tetapi tetap diperbolehkan
bagi pria muslim dengan wanita ahlu kitab. Dalam hal ini para ulama
melakukan kajian tafsir yang mendalam kaitannya dengan ayat tersebut.
Menurut para ahli tafsir, yang disebut dengan musyrik/musyrikah adalah
mereka yang mengingkari wujud Tuhan (atheis), tidak percaya pada nabi
dan hari kiamat. Lalu bagaimana dengan mereka yang bukan atheis?2 Untuk
mengklarifikasi masalah ini, maka dapat dilihat surat al-Bayyinah ayat 1
sebagai berikut:
Artinya : "Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik tidak akan meninggalkan sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata".
(QS. AL-Bayyinah : 1)
Ayat ini memberi informasi, bahwa orang kafir ada dua macam, yakni orang
musyrik dan ahlu kitab. Yang disebut ahlu kitab adalah mereka yang
berpedoman pada agama (kitab) samawi. Sedangkan yang disebut musyrik
adalah mereka yang tidak mengakui Tuhan, nabi, hari akhir, dan berbagai
doktrin agama samawi. Dengan kata lain, musyrik adalah mereka yang tidak
bertuhan. Atau, mereka masih mengakui Tuhan, akan tetapi tidak berdasar
pada agama samawi.
Dengan pemahaman ini, kita bisa memilih agama-agama yang ada di
belahan bumi. Sejarah mengatakan, yang termasuk agama samawi –tentunya
mempunyai kitab samawi - adalah Yahudi dan nasrani. Dengan demikian
hanya mereka yang berhak menyandang gelar ahlu kitab. Di luar itu,
termasuk musyrikin.
Menikah dengan wanita musyrik jelas tidak diperbolehkan, namun dengan
ahlu kitab ada dasar yang membolehkan yakni al-Qur'an surat al-Maidah
ayat 5:
Artinya : "Wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita
yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar
mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina
dan tidak menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah
beriman maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk
orang-orang merugi".5 (Q.S. Al-Maaidah : 5).
Menyikapi ayat ini para ulama berbeda pendapat, Ibnu Umar mengatakan
bahwa kebolehan menikahi ahlu kitab adalah rukhsah karena saat itu
jumlah wanita muslimah relatif sedikit. Ketika jumlah mereka sudah
imbang, bahkan jumlah kaum wanita lebih banyak, maka rukhsah itu tidak
berlaku lagi.
Alasan lain untuk melarang ahlu kitab adalah kata min qablikum (sebelum
kamu). Maksudnya sebelum turunnya al-Qur'an. Dengan qayyid (catatan)
ini, maka yang boleh dinikahi adalah wanita ahlu kitab yang memeluk
agama Yahudi atau Nasrani sebelum al-Qur'an diturunkan.
Sedangkan wanita-wanita itu sekarang ini tidak jelas tidak ada lagi.
Secara psikologis, pendapat Ibnu Umar bisa dipahami. Karena si anak
dalam bahaya. Lazimnya, anak lebih akrab dengan sang ibu. Ketika ibunya
Nasrani misalnya, peluang anak menjadi Nasrani lebih besar.
Sekalipun demikian, peluang untuk menikah dengan ahlu kitab tetap
terbuka. Sebab banyak para ulama yang berpegang teguh pada dzahir ayat
yang memperbolehkan nikah dengan ahlu kitab. Di kalangan sahabat sendiri
tercatat sederet nama yang menikah dengan ahlu kitab. Walaupun berakhir
dengan perceraian. Mereka yang pernah menikah dengan ahlu kitab antara
lain Usman bin Affan, Hudzaifah, Sa'ad bin Abi Waqqas, dan lain-lain.
Dalam kitab I'anatut Thalibin misalnya, Imam Abi Bakar menyatakan bahwa
menikahi wanita ahli kitab diperbolehkan. Dalam hal ini pernikahan
dengan ahlu kitab bisa ditolerir. Sebab dalam aspek teologis, konsep
ketuhanan, rasul, hari akhir, dan prinsip-prinsip agama banyak
persamaan. Dengan kesamaan ini, mahligai rumah tangga -yang merupakan
tujuan pernikahan- sangat mungkin terealisasi. Di samping itu, dengan
kesamaan itu pula, peluang untuk menarik istri ke Islam bukan sesuatu
yang mustahil.
Hanya saja perlu diingat bahwa kebolehan menikah dengan ahlu kitab hanya
berlaku bagi lelaki muslim dengan wanita ahlu kitab. Bukan sebaliknya.
Sekali lagi ini untuk menjaga iman. Sebab, lumrahnya, istri mudah
terpengaruh. Jika diperbolehkan, mereka dikhawatirkan akan terperdaya ke
agama lain.
Persoalan terakhir yang perlu klarifikasi adalah apakah agama yang ada
di Indonesia bisa masuk dalam ahlu kitab? Untuk agama Hindu, Buda dan
Konghuchu jelas tidak bisa, karena bukan agama samawi, yang tentunya
konsep ketuhanannya jauh berbeda.
Sedangkan untuk Kristen Protestan dan Katolik, ada kemungkinan. Kita
sebut ada kemungkinan, sebab ada yang mensyaratkan nenek moyang mereka
memeluk Kristen sebelum dinasakh. Persyaratan ini untuk konteks
Indonesia, sulit dilacak, kalau tidak dikatakan mustahil. Sebab agama
Kristen baru datang belakangan. Sebelum itu, warga Indonesia sudah
memeluk Hindu, Buda, dan Islam. Dengan kata lain, Kristen yang ada
sekarang adalah keturunan mereka yang 'murtad' dari Hindu, Buda, dan
Islam. Jika persyaratan ini bisa diterima, peluang untuk menikah dengan
orang Kristen dan Katolik tertutup rapat-rapat.
Jika mengikuti alur jumhur, peluang itu tetap ada, sebab persyaratan itu
tidak ditemukan dalam ayat. Ayat kelima surat Al-Maidah memperbolehkan
menikahi ahlu kitab dengan tanpa catatan. Bahkan Syekh Nawawi
menyatakan, boleh menikah dengan ahlu kitab, sekalipun nenek moyang
mereka masuk Kristen dan Katolik setelah agama itu dinasakh. Ada
sinyalemen kuat bahwa kitab orang Kristen dan Katolik telah berubah.
Apakah hal ini menghalangi kebolehan menikah dengan mereka? Yusuf
Qardlawi dengan tegas mengatakan tidak menghalangi. Dari deskripsi di
atas, maka jelaslah bahwa pernikahan beda agama diperbolehkan tetapi
hanya bagi laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab.
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa pernikahan beda agama
diatur dalam kompilasi hukum Islam dan tidak diatur dalam UUD di Negara
Indonesia sehingga dapat dipahami bahwa terdapat perbedaan antara KHI
dengan peraturan UUD Negara Indonesia, yang mana keduanya saling
bertentangan. Dalam Kompilasi Hukum Islam mengkategorikan perkawinan
antar pemeluk agama dalam bab larangan perkawinan. Pada pasal 40 point c
dinyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria
dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Sedangkan menurut hukum Islam Menikah dengan wanita musyrik jelas tidak
diperbolehkan, namun dengan ahlu kitab ada dasar yang membolehkan yakni
al-Qur'an surat al-Maidah ayat 5, Dalam hal ini pernikahan dengan ahlu
kitab bisa ditolerir. Sebab dalam aspek teologis, konsep ketuhanan,
rasul, hari akhir, dan prinsip-prinsip agama banyak persamaan. Hanya
saja perlu diingat bahwa kebolehan menikah dengan ahlu kitab hanya
berlaku bagi lelaki muslim dengan wanita ahlu kitab. Bukan sebaliknya.
Sekali lagi ini untuk menjaga iman. Sebab, lumrahnya, istri mudah
terpengaruh. Jika diperbolehkan, mereka dikhawatirkan akan terperdaya ke
agama lain.
Sumbangan Makalah Dari MASAIL
DAFTAR PUSTAKA
- Zuhdi, Masjfuk. Masail Fiqhiyah. PT TOKO GUNUNG AGUNG. Jakarta. 1977
- Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Sulaiman Mar’i, tt. hlm. 243
Tidak ada komentar:
Posting Komentar