BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai manusia yang dibekali akal fikiran, daya pikir yang dimiliki adalah sumber awal kreasi dan temuan baru serta__yang terpenting__ujung tombak kemajuan suatu umat. Dalam pandangan Baghdadi (1994), memang pemikiranlah yang secara sunnatullah mampu membangkitkan suatu umat sebab potensi bangkit dimiliki manusia manapun secara universal.
Disini Allah berfirman dalam Surat ar-Ra’d:11,
“…Sesungguhnya
Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah
keadaan yang ada pada diri mereka sendiri...”
Menurut Al-Baghdadi, ayat ini bersifat umum (‘aam), yakni siapa saja dapat mencapai kemajuan dan kejayaan bila mereka telah mengubah sebab-sebab kemundurannya. Mengubah keadaan agar bangkit biasanya diawali dengan merumuskan konsepsi kebangkitan. [1]
Kita sebaiknya berfikir tentang keadaan negara kita saat ini, pengangguran telah oversupply,
ada yang mengatakan pemerintah tidak menyediakan lapangan pekerjaan
yang cukup, apakah sumber daya alam yang luas tidak cukup sebagai
lapangan pekerjaan? disisi lain mengatakan
kesejahteraan tidak merata, apakah kesejahteraan itu diberikan,
dibagi-bagikan begitu saja?. Tentu kita juga akan bertanya siapakah yang
bertanggung jawab atas semua ini? pemerintahkah, atau kitakah?
Sebenarnya banyak perumpamaan yang Allah berikan sebagai i’tibar, penuntun
langkah hidup kita. Akan tetapi seringkali kita kurang memperhatikan
ciptaan-ciptaan-Nya. Padahal pada ciptaan Allah itu terdapat suatu
pelajaran yang sangat berharga bagi hidup kita. Mungkin Ilmu pengetahuan
kita seringkali tidak sampai di dalam memahami tanda-tanda kekuasaan
Allah.
Seekor
ayam yang berkokok di pagi hari, kemudian keluar dan mengepak-ngepakan
sayapnya, sang jantan berkokok keras, menyambut sang surya yang
tersenyum di ufuk timur. Mereka pergi pagi dan pulang menjelang malam dengan gelembung
tembolok dileher yang sudah penuh dengan makanan. kemudian beristirahat
sampai menjelang pagi dan kembali berkokok, mengepakan sayap,
menyiapkan cakar-cakar untuk mengorek makanan di tanah dan rerumputan.
Itulah seekor ayam, tanpa beban ia bekerja mencari makan.[2]
Manusia
dengan bekal akal fikirannya mestinya mampu menemukan bagaimana ia
harus memenuhi kebutuhan hidupnya yang terus berkembang, tindakan dan
proses apa yang harus dilakukan untuk semua itu. Sedangkan berusaha bagi
mereka merupakan sebuah keharusan.
Sabda Nabi SAW :
“ Sesungguhnya Allah mewajibkan atas kamu berusaha, maka berusahalah…” (HR. at-Thabrani)
Untuk
itu manusia perlu bekerja keras, membangun jaringan kerja, membentuk
tim, dan berbagi di dalam pekerjaan dan hasil-hasilnya. Semua ini
dilakukan dalam rangka memenuhi sunnatullah. Manusia akan rugi
dunia-akhirat manakala tidak memanfaatkan kehidupan di dunia ini dengan
sebaik-baiknya.
Manusia
juga harus mampu hidup dalam keteraturan, kepedulian, kedisiplinan dan
saling memperkuat. Dan sudah sewajarnya manusia yang beriman dan berakal
dapat hidup lebih baik daripada makhluk Allah lainnya. Kita pun
seharusnya mampu menunjukkan kerja keras, disiplin, saling berbagi, dan
saling memperkuat dalam rangka mencari ridha Allah.[3]
Berlatarbelakang
dari bagaimana tanggung jawab manusia sebagai khalifah dalam menjaga
dan melestarikan bumi dimana ia berada saat ini, maka penulisan makalah
ini kami beri judul “Anjuran Berwirausaha Dalam Islam”.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan mengantarkan kita pada pembahasan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Apakah kewajiban manusia sebagai khalifah di muka bumi ini ?
2. Adakah kewajiban tersebut berhubungan dengan anjuran berwirausaha bagi seorang muslim ?
3. Dalam hal apa sajakah Islam menganjurkan umatnya untuk berwirausaha ?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dalam makalah ini adalah agar kita dapat mengetahui :
1. Kewajiban manusia sebagai khalifah di muka bumi ini
2. Kewajiban yang berhubungan dengan anjuran berwirausaha bagi seorang muslim
3. Hal-hal di dalam Islam yang menganjurkan umatnya untuk berwirausaha
BAB II
PEMBAHASAN
1. Kewajiban dan tanggung jawab manusia sebagai khalifah di muka bumi.
Allah memilih manusia sebagai wakil Allah di muka bumi atau khalifatullah fil ardhi. Dalam kedudukan inilah manusia bertanggungjawab atas seluruh alam semesta.
"Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi’. Mereka berkata: ‘Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan berfirman:
‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.
(Q.S. Al-Baqoroh (2) : 30).
Betulkah
manusia lebih penting daripada dunianya ? Apakah matahari,
tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan tak ada gunanya kalau tidak ada manusia ?
Manusia
memang lebih unggul dibanding makhluk lainnya. Namun, tanpa makhluk
lainnya, kehidupan manusia pun tidak akan ada artinya. Kenyataannya,
zaman ilmu pengetahuan dan teknologi tidak sepenuhnya menjamin
keselamatan dan kesejahteraan manusia. Sebaliknya, manusia terancam
hidupnya oleh kepandaiannya. Dengan kerakusan dan kesombongannya,
kehidupan manusia makin cepat dalam kebinasaan. Semua ini dikarenakan
manusia hanya menggunakan akal dan hawa nafsunya, dan tidak mengambil
pelajaran dari firman-firman Allah.
Manusia memiliki keunggulan akal, hati dan nafsu dibanding makhluk lain, namun tanpa bimbingan Allah dan rasul-Nya, manusia bisa lebih sesat daripada binatang, sebagaimana dinyatakan Allah,
Manusia memiliki keunggulan akal, hati dan nafsu dibanding makhluk lain, namun tanpa bimbingan Allah dan rasul-Nya, manusia bisa lebih sesat daripada binatang, sebagaimana dinyatakan Allah,
"
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari
jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya
untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi)
tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan
mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar
(ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka
lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai."
(Q.S.Al-A’raf (7) : 179).
Karena
itu, marilah kita mengubah cara berpikir kita. Yakni, merubah cara
pandang yang mentahtakan manusia di atas alam. Sebab meskipun manusia
sebagai khalifatullah, namun manusia hanyalah sebagai pemegang amanat
Allah.
Kita perlu merubah perilaku dan mengedepankan akhlak lingkungan. Yakni janganlah mementingkan diri sendiri, tetapi taatlah kepada hukum alam dan mengutamakan kemaslahatan umum.
Kalau
mau menguasai alam, kita pun harus tunduk kepadanya. Kita harus
berkawan dengan lingkungan dan menghargai semua jasa-jasa alam kepada
kita. Dengan demikian, kita wajib menempatkan diri sebagai bagian dari
lingkungan. Bukan sebagai penguasa mutlak, sebab yang berkuasa mutlak
adalah Allah, sehingga kita pun harus tunduk pada kehendak Allah. Kita
bukanlah raja bagi alam semesta. Ketahuilah raja sesungguhnya adalah
Allah SWT.
Ingatlah,
Allah menciptakan alam semesta ini dengan seimbang. Namun oleh sebab
manusia berbuat sewenang-wenang, tidak taat hukum, dan mementingkan diri
sendiri, alam menumpahkan amarah dengan berbagai bencana.
"Yang
telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak
melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak
seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang
tidak seimbang?" (Q.S. Al Mulk(67):3)
Allah menyatakan keadaan orang-orang kafir dan taqwa dalam surat Al Mulk, ayat 4-11 yang artinya :
“Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam Keadaan payah.”
“
Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan
bintang-bintang, dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar
syaitan, dan Kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang
menyala-nyala.”
“ Dan orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, memperoleh azab Jahannam. dan Itulah seburuk-buruk tempat kembali.”
“Apabila mereka dilemparkan ke dalamnya mereka mendengar suara neraka yang mengerikan, sedang neraka itu menggelegak”
“
Hampir-hampir (neraka) itu terpecah-pecah lantaran marah. Setiap kali
dilemparkan ke dalamnya sekumpulan (orang-orang kafir), penjaga-penjaga
(neraka itu) bertanya kepada mereka: "Apakah belum pernah datang kepada
kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan?"
“
Mereka menjawab: "Benar ada", Sesungguhnya telah datang kepada Kami
seorang pemberi peringatan, Maka Kami mendustakan(nya) dan Kami katakan:
"Allah tidak menurunkan sesuatupun; kamu tidak lain hanyalah di dalam
kesesatan yang besar".
“
Dan mereka berkata: "Sekiranya Kami mendengarkan atau memikirkan
(peringatan itu) niscaya tidaklah Kami Termasuk penghuni-penghuni neraka
yang menyala-nyala".
“ Mereka mengakui dosa mereka. Maka kebinasaanlah bagi penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.”
Marilah
kita melaksanakan kewajiban sebagai "wakil Tuhan" di muka bumi dengan
mengolah dan memanfaatkan bumi dengan sebaik-baiknya, agar bumi yang
kita tempati ini memberikan kemakmuran, kesejahteraan dan kenyamanan
dalam hidup kita semua.[4]
2. Antara kewajiban manusia sebagai khalifah dengan anjuran berwirausaha.
Dikatakan
bahwa setiap orang wajib mencari rezeki yang telah disebarkan Tuhan.
Tidak akan sempurna ibadah seseorang manakala tidak bekerja di dalam
dunia. Dengan kewajiban ini, Allah menunjukkan bahwa jika manusia tidak
mencari rezeki, maka ia tidak akan menemukannya. Jika tidak menanam,
maka kita tidak akan memanen. Dan janganlah merasa bahwa apa yang
diperoleh di dunia ini semata-mata karena usaha kita, sebab sesungguhnya
Allah Maha Menghendaki dan Berkuasa atas makhlukNya.[5]
Para
Nabi adalah orang paling tunduk dan patuh dengan ketentuan Allah SWT.
Sebagai contoh, Nabi 'Isa bekerja sebagai tukang kayu dan para
sahabatnya ada yang bekerja sebagai tukang membuat tenda. Mereka bekerja
dengan semangat yang tinggi, sebab di kalangan Bani Israil diajarkan
bahwa "menganggur adalah sebuah kejahatan," sehingga pekerjaan remeh
apapun tetap dikerjakan sepanjang tidak melanggar syari'at Allah.
Setiap
manusia, sekalipun seorang Nabi tidak mengharapkan rezeki turun begitu
saja dari langit. Dengan tindakan ini, para Rasul menyadarkan manusia
bahwa barangsiapa yang tidak bekerja jangan berharap apapun dan jangan
menuntut upah.[6]
Bahkan
telah banyak disebutkan tentang keteladanan Rasul SAW dalam bekerja,
sejak kecil beliau telah terlatih sebagai seorang yang mandiri, dan tidak dapat disanggah lagi bahwa beliau merupakan pekerja yang tekun dan jujur.
Rasulullah SAW bersabda :
"Mencari rezeki yang halal, wajib bagi setiap orang Islam."
“Sesungguhnya
makanan yang paling baik bagimu adalah yang diperoleh dari hasil
usahamu, dan sesungguhnya makan yang terbaik bagi anak-anakmu adalah
dari hasil usahamu (HR. Ibnu Majah)."
Lukman al Hakim telah menasehati anaknya : "Wahai anakku, cukuplah dirimu dari fakir dengan usaha yang halal. Sesungguhnya orang yang fakir akan ditimpa tiga hal : perbudakan dalam agamanya, kelemahan dalam akalnya dan kehilangan harga dirinya."
Umar
ra berkata :"Janganlah salah seorang diantaramu menganggur seraya
berkata Wahai Allah berilah kami rezeki. Padahal kamu sekalian
mengetahui bahwa langit tidak menurunkan hujan emas dan perak."
Ibnu Mas'ud juga berkata :"Sesungguhnya saya benci melihat seorang laki-laki menganggur, tidak pada urusan dunianya dan tidak pada urusan akhiratnya."
Ucapan
orang-orang salih ini menunjukkan bahwa agama memerintahkan agar orang
bekerja keras guna menjaga agama dan harga dirinya. Para salafussalih
menganggapnya sebagai bencana dan kebodohan manakala kaum muslimin
malas, tidak mau berusaha dan bekerja mendapatkan rezeki yang halal.
Kesempurnaan
ibadah dicapai manakala kerja sebagai ibadah menjadi landasan kita
semua. Jika kaum muslimin tidak memperhatikan masalah-masalah seperti
pertanian, peternakan, perdagangan, kesehatan, industri dan sarana
parasarana dunia lainnya, maka kaum muslim akan berada dalam kelemahan
baik keluarga, masyarakat, agama maupun bangsa dan Negara. Karena akidah
kaum muslimin lemah, akan tergelincir ke dalam kemaksiatan dan kekufuruan.
Oleh
karena itu, kaum muslimin harus memperkuat agama dan iman serta
meningkatkan harkat dan martabat hidup keluarga, masyarakat bangsa dan
negara. Allah berfirman :
"Dan
tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang
memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan
tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh
Mahfuzh)." (Q.S. Hud:6).[7]
Dalam pembahasan sebelumnya telah dipaparkan, dimana manusia diciptakan di bumi sebagai wakil Tuhan
untuk merawat dan memakmurkannya, sebenarnya hal demikian demi
keberlangsungan hidup mereka sendiri yaitu upaya memperoleh
kesejahtaraan dan mempertahankannya.
Untuk sebuah kesejahteraan, di dalamnya
sangat diperhitungkan tentang seberapa usaha manusia untuk mencapainya,
tentunya didukung oleh usaha yang terus menerus serta tekun dan fikiran
yang positif dan optimis serta do’a.
Dalam Al-Qur’an ditegaskan bahwa seseorang hanya akan memperoleh hasil prestasi sesuai usaha yang dilakukan.
Dan
bahwasanya tidaklah seorang akan memperoleh melainkan dari apa yang
telah diusahakan. Dan ia nanti akan melihat hasil dari apa yang
diusahakan . (QS.An-Najm 39-40)
Juga dalam al-Quran Surat Al-Isra` dinyatakan :
Katakanlah
: "Tiap-tiap orang hendaknya berbuat menurut keadaannya masing-masing".
Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalanNya.
(Termasuk dalam pengertian Keadaan disini ialah tabiat dan pengaruh alam sekitarnya.)
Dalam
ayat Al-Quran telah dinyatakan secara tegas agar umat manusia bekerja
dengan sepenuh kemampuan, serta agar bekerja sesuai pokok profesi
masing-masing, yang pada akhirnya akan menjadi manusia yang berbeda
dengan manusia yang tidak bekerja.
Pada
hadits lain dijelaskan, bahwa pekerjaan paling baik bukan terletak pada
nama dan jenis pekerjaannya, bukan pula pada jumlah gaji atau
penghasilannya, tetapi asalkan itu pekerjaan oleh tangan atau usaha
sendiri. Dan dengan cara itu ia menghidupi dirinya sendiri. Jadi, yang
dimaksud dengan pekerjaan yang paling baik disini mengarah kepada
keutamaan (fadliah) dari usaha atas dasar kekuatan dari tangan sendiri. [8]
Di sinilah mungkin dapat difahami, bahwa manusia sebagai khalifah yang
dipercaya oleh tuhan untuk merawat bumi ini dengan mengolah dan
memakmurkannya mempunyai kewajiban untuk mengusahakan bagaimana
kemakmuran dapat dicapai, di antara usaha yang diharapkan adalah dengan bekerja dan sebaik-baik pekerjaan adalah dengan berwirausaha.
“ Tiada seorang makan makanan yang lebih baik dari pada seorang yang makan dari hasil usaha tangannya sendiri.[9]