BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang Masalah
Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi
kita semua khususnya mahasiswa fakultas syari’ah. Banyak dari kita yang
kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu
Qawaidul fiqhiyah. Maka dari itu, kami selaku penulis mencoba untuk
menerangkan tentang kaidah-kaidah fiqh, mulai dari pengertian, sejarah,
perkembangan dan beberapa urgensi dari kaidah-kaidah fiqh.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah
yang menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari
masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam
waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang
berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi
masalah-masalah sosial, ekonomi, politin, budaya dan lebih mudah mencari
solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam
masyarakat.
II. Rumusan Masalah
Mengerti dan memahami pengertian dan sejarah perkembangan kaidah-kaidah fiqh
Menyebutkan pembagian kaidah fiqh
Apakah manfaat dan urgensi dari kaidah-kaidah fiqh?
Bagaimana kedudukan dan sistematika kaidah fiqh?
Apa beda kaidah ushul dan kaidah fiqh?
Mengetahui apa itu kaidah umum dan kaidah asasi
III. Tujuan Pembahasan
Makalah ini disusun bertujuan agar kita mengetahui, memahami dan
mengerti tentang hal-hal yang berhubungan dengan kaidah-kaidah fiqh,
mulai dari definisi, pembagian dan sistematika kaidah fiqh.
BAB II
PEMBAHASAN
I. Pengertian
Sebagai studi ilmu agama pada umumnya, kajian ilmu tentang kaidah-kaidah
fiqh diawali dengan definisi. Defenisi ilmu tertentu diawali dengan
pendekatan kebahasaan. Dalam studi ilmu kaidah fiqh, kita kita mendapat
dua term yang perlu dijelaskan, yaitu kaidah dan fiqh.
Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa
indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau
patokan. Ahmad warson menembahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas
(dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’
(prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Hal ini sesuai dengan firman
Allah dalam surat An-Nahl ayat 26 :
”Allah akan menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya”.
(Q.S. An-Nahl : 26)
Sedangkan dalam tinjauan terminologi kaidah punya beberapa arti, menurut
Dr. Ahmad asy-syafi’i dalam buku Usul Fiqh Islami, mengatakan bahwa kaidah itu adalah :
”Kaum yang bersifat universal (kulli) yangh diakui oleh satuan-satuan hukum juz’i yang banyak”.[1]
Sedangkan mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan :
”Hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagiannya”.[2]
Sedangkan arti fiqh ssecara etimologi lebih dekat dengan ilmu, sebagaimana yang banyak dipahami, yaitu :
”Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama”
(Q.S. At-Taubat : 122)
Dan juga Sabda Nabi SAW, yaitu :
Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya diberikan kepadanya kepahaman dalam agama.
Sedangkan menurut istilah, Fiqh adalah ilmu yang menerangkan
hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan dari
dalil-dalil yang tafsili (terperinci)
Jadi, dari semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul fiqhiyah adalah :
”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua
bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui
hukum-hukum cabang itu”.
Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa setiap kaidah fiqhiyah telah mengatur beberapa masalah fiqh dari berbagai bab.
II. Sejarah Perkembangan Qawaidul Fiqhiyah
Sejarah perkembangan dan penyusunan Qawaidul Fiqhiyah diklarifikasikan menjadi 3 fase, yaitu :
Fase pertumbuhan dan pembentuka
Masa pertumbuhan dan pembentukan berlangsung selama tiga abad lebih.
Dari zaman kerasulan hingga abad ke-3 hijrah. Periode ini dari segi
pase sejarahhukumi islam, dapat dibagi menjadi tiga zaman Nabi muhammad
SAW, yang berlangsung selama 22 tahun lebih (610-632 H / 12 SH-10 H),
dan zaman tabi’in serta tabi’ tabi’in yang berlangsung selama 250 tahun
(724-974 M / 100-351 H). Tahun 351 H / 1974 M, dianggap sebagai zaman
kejumudan, karena tidak ada lagi ulama pendiri maazhab. Ulama pendiri
mazhab terakhir adalah Ibn Jarir al-Thabari (310 H / 734 M), yang
mendirikan mazhab jaririyah.
Dengan demikian, ketika fiqh telah mencapai puncak kejayaan, kaidah
fiqh baru dibentuk dab ditumbuhkan. Ciri-ciri kaidah fiqh yuang dominan
adalah Jawami al-Kalim (kalimat ringkas tapi cakupan maknnya sangat
luas). Atas dasar ciri dominan tersebut, ulama menetapkan bahwa hadits
yang mempunyai ciri-ciri tersebut dapat dijadikan kaidah fiqh. Oleh
karena itulah periodesasi sejarah kaidah fiqih dimulai sejak zaman Nabi
Muhammad SAW.
Sabda Nabi Muhammad SAW, yang jawami al-Kalim dapat ditinjau dari dua segi, yaitu :
Segi sumber : Ia adalah hadits, oleh karena itu, ia menjadi dalil hukum islam yang tidak mengandung al-Mustasnayat
Segi cakupan makna dan bentuk kalimat : Ia dikatakan sebagai kaidah fiqh karena kalimatnya ringkas, tapi cakupan maknanya luas.
Beberapa sabda Nabi Muhammad SAW yang dianggap sebagai kaidah fiqh, yaitu :
”pajak itu disertai imbalan jaminan”
”Tidak boleh menyulitkan (orang lain) dan tidak boleh dipersulitkan (oleh orang lain)”[3]
Demikian beberapa sabda Nabi Muhammad SAW, yang dianggap sebagai
kaidah fiqh. Generasi berikutnya adalah generasi sahabat, sahabat
berjasa dalam ilmu kaidah fiqh, karena turut serta membentuk kaidah
fiqh. Para sahabat dapat membentuk kaidah fiqh karena dua keutamaan,
yaitu mereka adalah murid Rasulullah SAW dan mereka tahu situasi yang
menjadi turunnya wahyu dan terkadang wahyu turun berkenaan dengan
mereka.
Generasi berikutnya adalah tabi’in dan tabi’ tabi’in selama 250
tahun. Diantara ulama yang mengembangkan kaidah fiqh pada generasi
tabi’in adalah Abu Yusuf Ya’kub ibn Ibrahim (113-182), dengan karyanya
yang terkenal kitab Al-Kharaj, kaidah-kaidah yang disusun adalah :
”Harta setiap yang meninggal yang tidak memiliki ahli waris diserahkan ke Bait al- mal”
Kaidah tersebut berkenaan dengan pembagian harta pusaka Baitul Mal
sebagai salah satu lembaga ekonomi umat Islamdapat menerima harta
peninggalan (tirkah atau mauruts), apbila yang meninggal dunia tidak
memiliki ahli waris.
Ulama berikutnya yang mengembangkan kaidah fiqh adalah Imam
Asy-Syafi’i, yang hidup pada fase kedua abad kedua hijriah (150-204 H),
salah satu kaidah yang dibentuknya, yaitu :
”Sesuatu yangh dibolehkan dalah keadaan terpaksa adalah tidak diperbolehkan ketika tidak terpaksa”
Ulama berikutnya yaitu Imam Ahmad bin Hambal (W. 241 H), diantara kaidah yang dibangun oleh Imam Ahmad bin Hambal, yaitu :
”Setiap yang dibolehkan untuk dijual, maka dibolehkan untuk dihibahkan dan digadaikan”
Fase perkembangan dan kodifikasi
Dalah sejarah hukum islam, abad IV H, dikenal sebagai zaman taqlid. Pada
zaman ini, sebagian besar ulama melakukan tarjih (penguatan-penguatan)
pendapat imam mazhabnya masing-masing. Usaha kodifikasi kaidah-kaidah
fiqhiyah bertujuan agar kaidah-kaidah itu bisa berguna bagi perkembangan
ilmu fiqh pada masa-masa berikutnya.
Pada abad VIII H, dikenal sebagai zaman keemasan dalam kodifikasi
kaidah fiqh, karena perkembangan kodifikasi kaidah fiqh begitu pesat.
Buku-buku kaidah fiqh terpenting dan termasyhur abad ini adalah :
Al-Asybah wa al-Nazha’ir, karya ibn wakil al-Syafi’i (W. 716 H)
Kitab al-Qawaid, karya al-Maqarri al-maliki (W. 750 H)
Al-Majmu’ al-Mudzhab fi Dhabh Qawaid al-Mazhab, karya al-Ala’i al-Syafi’i (W. 761 H)
Al-Qawaid fi al-Fiqh, karya ibn rajab al-Hambali (W. 795 H)
Fase kematangan dan penyempurnaan
Abad X H dianggap sebagai periode kesempurnaan kaidah fiqh, meskipun
demikian tidak berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan kaidah fiqh
pada zaman sesudahnya. Salah satu kaidah yang disempurnakan di abad XIII
H adalah
“seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain, kecuali ada izin dari pemiliknya”
Kaidah tersebut disempurnakan dengan mengubah kata-kata idznih menjadi idzn. Oleh karena itu kaidah fiqh tersebut adalah :
“seseorang tidak diperbolehkan mengelola harta orang lain tanpa izin”
III. Pembagian Kaidah Fiqh
Cara membedakan sesuatu dapat dilakukan dibeberapa segi :
Segi fungsi
Dari segi fungsi, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sentral
dan marginal. Kaidah fiqh yang berperan sentral, karena kaidah tersebut
memiliki cakupan-cakupan yang begitu luas. Kaidah ini dikenal sebagai
al-Qawaid al-Kubra al-Asasiyyat, umpamanya :
”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”
kaidah ini mempunyai beberapa turunan kaidah yang berperan marginal, diantaranya :
”Sesuatu yang dikenal secara kebiasaan seperti sesuatu yang telah ditentukan sebagai syarat”
”Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan kebiasaan seperti ditetapkan dengan naskh”
Dengan demikian, kaidah yang berfungsi marginal adalah kaidah yang
cakupannya lebih atau bahkan sangat sempit sehingga tidak dihadapkan
dengan furu’
Segi mustasnayat
Dari sumber pengecualian, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
: kaidah yang tidak memiliki pengecualian dan yang mempunyai
pengecualian.
Kaidah fiqh yang tidak punya pengecualian adalah sabda Nabi Muhammad SAW. Umpamanya adalah :
”Bukti dibebankan kepada penggugat dan sumpah dibebankan kepada tergugat”
Kaidah fiqh lainnya adalah kaidah yang mempunyai pengecualian kaidah
yang tergolong pada kelompok yang terutama diikhtilafkan oleh ulama.
Segi kualitas
Dari segi kualitas, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu :
Kaidah kunci
Kaidah kunci yang dimaksud adalah bahwa seluruh kaidah fiqh pada dasarnya, dapat dikembalikan kepada satu kaidah, yaitu :
”Menolak kerusakan (kejelekan) dan mendapatkan maslahat”
Kaidah diatas merupakan kaidah kunci, karena pembentukan kaidah fiqh
adalah upaya agar manusia terhindar dari kesulitan dan dengan
sendirinya ia mendapatkan kemaslahatan.
Kaidah asasi
Adalah kaidah fiqh yang tingkat kesahihannya diakui oleh seluruh aliran hukum islam. Kaidah fiqh tersebut adalah :
”Perbuatan / perkara itu bergantung pada niatnya”
”Kenyakinan tidak hilang dengan keraguan”
”Kesulitan mendatangkan kemudahan”
”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”
Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni
Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni adalah ”
majallah al-Ahkam al-Adliyyat”, kaidah ini dibuat di abad XIX M, oleh
lajnah fuqaha usmaniah.
IV. Manfaat Kaidah Fiqh
Manfaat dari kaidah Fiqh (Qawaidul Fiqh) adalah :
Dengan kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum
fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian
menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh
Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi
Dengan kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi dalam
waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adapt yang berbeda
Meskipun kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan
oleh Ulama, pada dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya
mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak
langsung
Menurut Imam Ali al-Nadawi (1994)
Mempermudah dalam menguasai materi hokum
kaidah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan
Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk memahami permasalahan-permasalahnan baru.
mempermudah orang yang berbakar fiqh dalam mengikuti (memahami)
bagian-bagian hokum dengan mengeluarkannya dari tema yang berbeda-beda
serta meringkasnya dalam satu topic
Meringkas persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukkan bahwa hokum
dibentuk untuk menegakkan maslahat yang saling berdekatan atau
menegakkan maslahat yang lebih besar
Pengetahuan tentang kaidah fiqh merupakan kemestian karena kaidah mempermudah cara memahami furu’ yang bermacam-macam
V. Urgensi Qawaidul Fiqhiyah
Kaidah fiqh dikatakan penting dilihat dari dua sudut :
Dari sudut sumber, kaidah merupakan media bagi peminat fiqh Islam
untuk memahami dan menguasai muqasid al-Syari’at, karena dengan
mendalami beberapa nashsh, ulama dapat menemukan persoalan esensial
dalam satu persoalan
Dari segi istinbath al-ahkam, kaidah fiqh mencakup beberapa persoalan
yang sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu, kaidah fiqh dapat
dijadikan sebagai salah satu alat dalam menyelesaikan persoalan yang
terjadi yang belum ada ketentuan atau kepastian hukumnya.
Abdul Wahab Khallaf dalam ushul fiqhnya bertkata bahwa hash-nash tasyrik
telah mensyariatkan hokum terhadap berbagai macam undang-undang, baik
mengenai perdata, pidana, ekonomi dan undang-undang dasar telh sempurna
dengan adanya nash-nash yang menetapkan prinsip-prinsip umum dan
qanun-qanun tasyrik yang kulli yang tidak terbatas suatu cabang
undang-undang.
Karena cakupan dari lapangan fiqh begitu luas, maka perlu adanya
kristalisasi berupa kaidah-kaidah kulli yang berfungsi sebagai
klasifikasi masalah-masalah furu’ menjadi beberapa kelompok. Dengan
berpegang pada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa lebih mudah
dalam mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan
menggolongkan masalah yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.
Selanjutnya Imam Abu Muhammad Izzuddin ibnu Abbas Salam menyimpulkan
bahwa kaidah-kaidah fiqhiyah adalah sebagai suatu jlan untuk mendapatkan
suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan serta bagaimana menyikapi
kedua hal tersebut. Sedangkan al-Qrafy dalam al-Furuqnya menulis bahwa
seorang fiqh tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang pada kaidah
fiqhiyah, karena jika tidak berpegang paa kaidah itu maka hasil
ijtihatnya banyak pertentangan dan berbeda antara furu’-furu’ itu.
Dengan berpegang pada kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai furu’nya
dan mudah dipahami oleh pengikutnya.
VI. Kedudukan Qawaidul Fiqhiyah
Kaidah fiqh dibedakan menjadi dua, yaitu :
Kaidah fiqh sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai
dalil setelah menggunakan dua dalil pokok, yaitu al-Qur’an dan sunnah.
Kaidah fiqh yang dijadikan sebagai dalil pelengkap tidak ada ulama yang
memperdebatkannya, artinya ulama “sepakat” tentang menjadikan kaidah
fiqh sebagai dalil pelengkap.
Kaidah fiqh sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai
dalil hukumyang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok.
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan kaidah fiqh
sebagai dalil hokum mandiri. Imam al-Haramayn al-Juwayni berpendapat
bahwa kaidah fiqh boleh dijadikan dalil mandiri.
Namun al_Hawani menolak pendapat Imam al-Haramayn al-juwayni.
Menurutnya, menurut al-Hawani, berdalil hanya dengan kaidah fiqh tidak
dibolehkan. Al-Hawani mengatakan bahwa setiap kaidah bersifat pada
umumnya, aglabiyat, atau aktsariyat. Oleh karena itu, setiap kaidah
mempunyai pengecualian-pengecualian. Karena memiliki pengecualian yang
kita tidak mengetahui secara pasti pengecualian-pengecualian tersebut,
kaidah fiqh tidak dijadikan sebagai dalil yang berdiri sendiri merupakan
jalan keluar yang lebih bijak.
Kedudukan kaidah fiqh dalam kontek studi fiqh adalah simpul sederhana
dari masalah-masalah fiqhiyyat yang begitu banyak. Al-syaikh Ahmad ibnu
al-Syaikh Muhammad al-Zarqa berpendapat sebagai berikut : “kalau saja
tidak ada kaidah fiqh ini, maka hukum fiqh yang bersifat furu’iyyat akan
tetap bercerai berai.”
Dalam kontek studi fiqh, al-Qurafi menjelaskan bahwa syar’ah mencakup
dua hal : pertama, ushul; dan kedua, furu’, Ushul terdiri atas dua
bagian, yaitu ushul al-Fiqh yang didalamnya terdapat patokan-patokan
yang bersifat kebahasaan; dan kaidah fiqhyang di dalamnya terdapat
pembahasan mengenai rahasia-rahasia syari’ah dan kaidah-kaidah dari
furu’ yang jumlahnya tidak terbatas.
VII. Sistematika Qawaidul Fiqhiyah
Pada umumnya pembahasan qawaidul fiqhiyah berdasarkan pembagian
kaidah-kaidah asasiah dan kaidah-kaidah ghairu asasiah. Kaidah-kaidah
asasiah adalah kaidah yang disepakati oleh Imam Mazhahib tanpa
diperselisihkan kekuatannya, jumlah kaidah asasiah ada 5 macam, yaitu :
Segala macam tindakan tergantung pada tujuannya
Kemudaratan itu harus dihilangkan
Kebiasaan itu dapat menjadi hukum
Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan
Kesulitan itu dapat menarik kemudahan.
Sebagian fuqaha’ menambah dengan kaidah “tiada pahala kecuali dengan
niat.” Sedangkan kaidah ghairu asasiah adalah kaidah yang merupakan
pelengkap dari kaidah asasiah, walaupun keabsahannya masih tetap diakui.
VIII. Perbedaan Kaidah Ushul dan Kaidah Fiqh
Kaidah ushul adalah cara menggali hukum syara’ yang praktis.
Sedangkan kaidah fiqh adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa yang
kembali kepada satu hukum yang sama.
Kaidah-kaidah ushul muncul sebelum furu’ (cabang). Sedangkan kaidah fiqh muncul setelah furu’.
Kaidah-kaidah ushul menjelaskan masalah-masalah yang terkandung di dalam
berbagai macam dalil yang rinciyang memungkinkan dikeluarkan hukum dari
dalil-dalil tersebut. Sedangkan kaidah fiqh menjelaskan masalh fiqh
yang terhimpun di dalam kaidah.
IX. Kaidah-kaidah Fiqh yang Asasi
Meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan
Izzuddin bin Abdul as-Salam di dalam kitabnya Qawaidul al-Ahkam fi
mushalih al-Anam mengatakan bahwa seluruh syari’ah itu adalah muslahat,
baik dengan cara menolak mafsadat atau dengan meraih maslahat. Kerja
manusia itu ada yang membawa kepada kemaslahatan, adapula ynag
menyebabkan mafsadat. Seluruh maslahat itu diperintahkan oleh syari’ah
dan seluruh yang mafsadat dilarang oleh syari’ah.
Al-Qawaid al-Khamsah (lima kaidah asasi)
Kelima kaidah asasi tersebut sebagai berikut :
Kaidah asasi pertama
“segala perkara tergantung kepada niatnya”
Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan
seseorang, apakah seseorang melakukan perbuatan itu dengan niat ibadah
kepada Allah dengan melakukan perintah dan menjauhi laranganNya. Ataukah
dia tidak niat karena Allah, tetapi agar disanjung orang lain.
Kaidah asasi kedua
“keyakinan tisak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan”
Kaidah asasi ketiga
“kesulitan mendatangkan kemudahan”
Makna dari kaidah diatas adalah bahwa hukum-hukum yang dalam
penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf , maka
syari’ah meringankannya, sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa
kesulitan dan kesukaran.
Kaidah asasi keempat
“kemudhoratan harus dihilangkan”
Kaidah tersebut kembali kepada tujuan merealisasikan maqasid
al-Syari’ah dengan menolak yang mufsadat, dengan cara menghilangkan
kemudhoratan atau setidak-tidaknya meringankannya.
Kaidah asasi kelima
“adat kebiasaan dapat dijadikan (pertimbangan) hukum”
Adat yang dimaksudkan kaidah diatas mencakup hal yang penting, yaitu :
di dalam adapt ada unsure berulang-ulang dilakukan, yang dikenal
sebagai sesuatu yang baik.
X. Kaidah-kaidah Fiqh yang umum
Kaidah-kaidah Fiqh yang umum terdiri dari 38 kaidah, namun disini kami hanya menjelaskan sebagiannya saja, yaitu :
“ijthat yang telah lalu tidak bisa dibatalkan oleh ijtihat yang baru”
Hail ini berdasarkan perkataan Umar bin Khattab :
“itu adalah yang kami putuskan pada masa lalu dan ini adalah yang kami putuskan sekarang”
“apa yang haram diambil haram pula diberikannya”
Atas dasar kaidah ini, maka haram memberikan uang hasil korupsi atau
hasil suap. Sebab, perbuatan demikian bisa diartikan tolong menolong
dalam dosa.
“Apa yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya”
“Petunjuk sesuatu pada unsure-unsur yang tersembunyi mempunyai kekuatan sebagai dalil”
Maksud kaidah ini adalah ada hal-hal yang sulit diketahui oleh umum,
akan tetapi ada tanda-tanda yang menunjukkan hal tadi. Contoh dari
kaidah ini, seperti : Barang yang dicuri ada pada si B, keadaan ini
setidaknya bisa jadi petunjuk bahwa si B adalah pencurinya, kecuali dia
bisa membuktikan bahwa barang tersebut bukan hasil curian.
“Barang siapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya, maka menanggung akibat tidak mendapat sesuatu tersebut”
Contah dari kaidah ini : Kita mempercepat berbuka pada saat kita puasa sebelum maghrib tiba.
XI. Kaidah-kaidah Fiqh yang khusus
Banyak kaidah fiqh yang ruang lingkup dan cakupannya lebih sempit dan
isi kandungan lebih sedikit. Kaidah yang semacam ini hanya berlaku
dalam cabang fioqh tertentu, yaitu :
Kaidah fiqh yang khusus di bidang ibadah mahdah
“Setiap yang sah digunakan untuk shalat sunnah secara mutlak sah pula digunakan shalat fardhu”
Kaidah fiqh yang khusuh di bidang al-Ahwal al-Syakhshiyah
Dalam hukum islam, hukum keluarga meliputi : pernikahan, waris, wasiat,
waqaf dzurri (keluarga) dan hibah di kalangan keluarga. Salah satu dari
kaidah ini, yaitu
“Hukum asal pada masalah seks adalah haram”
Maksud kaidah ini adalah dalam hubungan seks, pada asalnya haram
sampai datang sebab-sebab yang jelasdan tanpa meragukan lagi yang
menghalalkannya, yaitu dengan adanya akad pernikahan.
Kaidah fiqh yang khusus di bidang muamalah atau transaksi
“Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”
Maksud dari kaidah ini adalah bahwa setiap muamalah dan transaksi,
pada dasarnya boleh, seperti : jual beli, sewa-menyewa, kerja sama.
Kecuali yang tegas-tegas diharamkan seperti yang mengakibatkan
kemudharatan, penipuan, judi dan riba.
Kaidah fiqh yang khusus di bidang jinayah
Fiqh jinayah adalah hukum islam yang membahas tentang aturan berbagai
kejahatan dan sanksinya; membahas tentang pelaku kejahatan dan
perbuatannya. Salah satu kaidah khusus fiqh jinayah adalah :
“Tidak boleh seseorang mengambil harta orang lain tanpa dibenarkan syari’ah”
Pengambilan harta orang lain tanpa dibenarkan oleh syari’ah adalah
pencurian atau perampokan harta yang ada sanksinya, tetapi jika
dibenarkan oleh syari’ah maka diperbolehkan. Misalnya : petugas zakat
dibolehkan mengambil harta zakat dari muzaki yang sudah wajib
mengeluarkan zakat.
Kaidah fiqh yang khusus di bidang siyasah
“Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung kepada kemaslahatan”
Kaidah ini menegaskan bahwa seorang pemimpin harus beorientasi kepada
kemaslahatan rakyat, bukan mengikuti keinginan hawa nafsunya atau
keluarganya maupun golongannya.
Kaidah fiqh yang khusus fiqh qadha (peradilan dan hukum acara)
Lembaga peradilan saat ini berkembang dengan pesat, baik dalam
bidangnya, seperti mahkamah konstitusi maupun tingkatnya, yaitu dari
daerah sampai mahkamah agung. Dalam islam hal ini sah-sah saja, diantara
kaidah fiqh dalam bidang ini yaitu :
“Perdamaian diantara kaum muslimin adalah boleh kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”
Perdamaian antara penggugat dan tergugat adalah baik dan
diperbolehkan, kecuali perdamaian yang berisi menghalalkan yang haram
atau mengharamkan yang halal.
BAB III
PENUTUP
I. Kesimpulan
Kaidah-kaidah fiqh ituterdiri dari banyak pengertian, karena kaidah itu
bersifat menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa
diterapkan kepada juz’iyatnya (bagian-bagiannya)
Salah satu manfaat dari adanya kaidah fiqh, kita akan mengetahui
prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang
mewarnai fiqh dam kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalahfiqh.
Adapun kedudukan dari kaidah fiqh itu ada dua, yaitu :
Sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah menggunakan dua dalil pokok, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah.
Sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil hukum yang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok.
II. Saran
Penyusun makalah ini hanya manusia yang dangkal ilmunya, yang hanya
mengandalkan buku referensi. Maka dari itu penyusun menyarankan agar
para pembaca yang ingin mendalami masalah Qawaidul Fiqhiyah, agar
setelah membaca makalah ini, membaca sumber-sumber lain yang lebih
komplit, tidak hanya sebatas membaca makalah ini saja.
DAFTAR PUSTAKA
Djazuli, HA, 2006, Kaidah-kaidah fiqh, Jakarta : kencana
Mujib, Abdul, 1978, Al-Qawaidul Fiqhiyah, Malang : Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel
Usman, Muslih, 1999, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta : Rajawali Pers
Effendi, Satria, 2005, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana
Mubarok, Jaih, 2002, Kaidah Fioqh, Jakarta : Rajawali Pers
Djazuli, HA, 2005, Ilmu Fiqh, Jakarta : Kencana
Asjmuni, A Rahman, 1976, Kaidah-kaidah Fiqh, Jakarta : Bulan Bintang
Ash-shiddiqie, Hasbi, 1999, Mabahits fi al-Qawaidul Fiqhiyah.
Al-Nadwi, Ali Ahmad, 1998, Al-Qawaidul Fiqhiyah, Beirut : Dar al-Kalam
Faisal, Enceng Arif, 2004, Kaidah Fiqh Jinayah, Bandung : Pustaka Bani Quraisy