Junia Fitri Mayang Sari. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Kamis, 22 November 2012

Model Penelitian Fiqh dan Perilaku Memola

A. Perilaku Memola
Apabila pada suatu pagi seorang perempuan muda berjilbab dan bercelana jins lewat di depan rumah, ia dapat mengundang beberapa pertanyaan. Pertama, siapa perempuan itu? Kedua, sejak kapan ia mengenakan jilbab dan celana jins? Ketiga, mengapa ia mengenakan jilbab dan celana jins? Keempat, apakah ia mengenakan jilbab dan celana jins secara terus menerus? Keempat pertanyaan itu dapat dilanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan berikutnya. Atau mungkin terjadi sebaliknya, tidak mengundang pertanyaan apa pun karena pengenaan jilbab dan celana jins telah menjadi pemandangan sehari-hari, terutama dalam lingkungan permukiman sekitar kampus perguruan tinggi.
Andaikan jawaban atas pertanyaan pertama itu adalah mahasiswi, maka jawaban atas pertanyaan kedua dapat diduga. Mungkin, ia mengenakan jilbab sejak menjadi siswi sekolah menengah pertama atau madrasah tsanawiyah. Tetapi belum tentu, ia mengenakan celana jins sejak menjadi siswi. Boleh jadi, ia mengenakan celana jins hanya di rumah atau di luar sekolah. Dalam lingkungan sekolah atau madrasah “haram” mengenakan celana jins, karena terikat oleh peraturan pakaian seragam. Namun boleh jadi, ia mengenakan celana jins ketika sedang mengikuti kegiatan perkuliahan di perguruan tinggi, karena masyarakat kampus tidak mengenal pakaian seragam dan amat permisif terhadap pengenaan celana jins, termasuk di kalangan mahasiswi.
Pengenaan jilbab di kalangan mahasiswi, perempuan pada umumnya, boleh dibilang relatif baru. Jilbab, sebagai salah satu kelengkapan busana Muslimah, baru dikenal di Indonesia pasca revolusi Iran pada tahun 1979. Sebelum masa itu amat sulit ditemukan mahasiswi yang mengenakan jilbab, termasuk dalam lingkungan perguruan tinggi agama Islam. Demikian pula pengenaan celana jins, pada masa itu, dapat dipandang sebagai perilaku yang aneh dan nyeleneh. Dewasa ini amat sulit menemukan mahasiswi perguruan tinggi agama Islam tanpa jilbab. Sementara itu, pengenaan celana jins di kalangan mahasiswi (masyarakat kampus pada umumnya) telah menjadi pemandangan sehari-hari. Jibab dan celana jins berasal dari dua lingkaran kebudayaan yang berbeda, dari Iran dan Amerika Serikat. Tetapi, kini telah melekat sebagai kelengkapan dalam suatu kesatuan perilaku. Bahkan telah menjadi kebiasaan di kalangan sebagian mahasiswi Muslimah Indonesia.
Jawaban atas pertanyaan ketiga juga mudah ditebak. Yang paling pokok adalah untuk menutup aurat. Sedangkan jawaban tambahannya ialah mengikuti mode berbusana di kalangan perempuan muda, yang merebak dalam berbagai lingkungan. Jawaban pokok atas pertanyaan itu, dapat dilanjutkan dengan pertanyaan: mengapa aurat perempuan mesti ditutup? Jawaban atas pertanyaan itu akan merujuk pada norma kehidupan yang dianut oleh mahasiswi tersebut, yakni menutup aurat merupakan suatu “kewajiban” agama. Boleh jadi jawaban tersebut merujuk kepada ayat Qur’an atau teks Hadis yang diketahuinya secara jelas. Atau mungkin, jawaban itu hanya merujuk kepada pandangan “umum” yang menyatakan bahwa menutup aurat adalah “wajib”. Apabila menutup aurat itu merupakan suatu “kewajiban”, atau perbuatan yang “wajib” dilakukan, maka jawaban tersebut telah masuk dalam ranah fiqh yang telah terinternalisasi dalam diri mahasiswi itu. Apabila jawaban atas pertanyaan keempat adalah ya, maka hal itu menunjukkan bahwa fiqh menjadi inti kebudayaan yang dianut oleh mahasiswi itu, khususnya ketika berpakaian sebagai penutup aurat.
Jawaban atas pertanyaan ketiga dan keempat, dapat dipahami dan dijelaskan dengan menggunakan pendekatan teologis, atau antropologis, atau sosiologis. Secara teologis, menutup aurat merupakan wujud kepatuhan dan penghambaan manusia kepada Yang Maha Pencipta dan Yang Maha Pengatur untuk memeroleh keridaan-Nya. Secara psikologis menutup aurat merupakan suatu respons dan penyesuaian diri terhadap keharusan dalam lingkungan sosialnya. Sedangkan secara antropologis menutup aurat merupakan wujud perbuatan yang memiliki makna bagi pelakunya yang dipandang sopan dan pantas menurut kaidah sosial yang dianut dalam komunitas yang bersangkutan. Sementara itu, secara sosiologis menutup aurat merupakan wujud identitas Muslimah yang memasuki usia remaja dan dewasa ketika melakukan interaksi, baik di dalam maupun di luar komunitasnya.
Apa yang digambarkan di atas merupakan contoh fiktif yang dapat diuji dalam entitas kehidupan Muslim, terutama di kalangan perempuan. Cara menutup aurat yang dilakukan oleh Muslimah secara individual kemudian diikuti oleh Muslimah lainnya melalui proses teladan dan peniruan. Ketika cara tersebut dilakukan secara terus menerus oleh para Muslimah dalam suatu komunitas, maka menutup aurat dengan mengenakan jilbab dan celana jins menjadi kebiasaan di kalangan mereka.[1] Kebiasaan itu memiliki daya ikat ketika dilakukan interaksi dalam lingkungan internal (sesama Muslimah) maupun eksternal (masyarakat pada umumnya). Ketika kebiasaan itu telah memiliki keajegan dan memola, maka ia menjadi tata kelakuan yang telah diterima sebagai norma pengatur. Selanjutnya, menutup aurat dengan mengenakan jilbab dan celana jins menjadi adat (custom) ketika terintegrasi dengan pola perilaku masyarakat secara keseluruhan. Berkenaan dengan hal itu, adat memiliki daya ikat dan daya atur yang cukup tinggi dalam kehidupan kolektif. Adalah suatu keniscayaan bahwa dalam wacana fiqh muncul kaidah fiqh yang bersifat aghlabiyah (mayoritas): “adat digunakan sebagai hukum” (al-‘ādah muhakkamah). Selanjutnya, di Indonesia, adat yang dipandang memiliki akibat hukum dalam suatu kesatuan komunitas, dikenal sebagai hukum adat atau customary law (Lihat: Hooker, 1980: 22).
Dari contoh fiktif di atas, dapat ditelusuri berbagai perilaku memola lainnya dalam komunitas Muslim, baik di kalangan perempuan maupun laki-laki; muda maupun tua; di kawasan perdesaan maupun di kawasan perkotaan. Atas perihal tersebut, tampak beberapa hal yang menggambarkan tentang hubungan antara fiqh dengan perilaku. Pertama, fiqh yang dipahami sebagai norma perilaku, diterima sebagai salah satu norma sosial yang memiliki daya ikat, kemudian dilaksanakan dalam konteks kehidupan bermasyarakat. Ia berawal dari perilaku individual yang bersifat konkret, teramati dan terukur. Kemudian berkembang menjadi perilaku memola yang dianut oleh komunitas, yang, pola itu, bersifat abstrak.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

pentingnya membaca
pentingnya membaca
pentingnya membaca
pentingnya membaca
pentingnya membaca
pentingnya membaca