A. Perilaku Memola
Apabila pada suatu pagi seorang perempuan muda berjilbab dan
bercelana jins lewat di depan rumah, ia dapat mengundang beberapa
pertanyaan. Pertama, siapa perempuan itu? Kedua, sejak kapan ia
mengenakan jilbab dan celana jins? Ketiga, mengapa ia mengenakan jilbab
dan celana jins? Keempat, apakah ia mengenakan jilbab dan celana jins
secara terus menerus? Keempat pertanyaan itu dapat dilanjutkan dengan
pertanyaan-pertanyaan berikutnya. Atau mungkin terjadi sebaliknya, tidak
mengundang pertanyaan apa pun karena pengenaan jilbab dan celana jins
telah menjadi pemandangan sehari-hari, terutama dalam lingkungan
permukiman sekitar kampus perguruan tinggi.
Andaikan jawaban atas pertanyaan pertama itu adalah mahasiswi, maka
jawaban atas pertanyaan kedua dapat diduga. Mungkin, ia mengenakan
jilbab sejak menjadi siswi sekolah menengah pertama atau madrasah
tsanawiyah. Tetapi belum tentu, ia mengenakan celana jins sejak menjadi
siswi. Boleh jadi, ia mengenakan celana jins hanya di rumah atau di
luar sekolah. Dalam lingkungan sekolah atau madrasah “haram” mengenakan
celana jins, karena terikat oleh peraturan pakaian seragam. Namun
boleh jadi, ia mengenakan celana jins ketika sedang mengikuti kegiatan
perkuliahan di perguruan tinggi, karena masyarakat kampus tidak
mengenal pakaian seragam dan amat permisif terhadap pengenaan celana
jins, termasuk di kalangan mahasiswi.
Pengenaan jilbab di kalangan mahasiswi, perempuan pada umumnya, boleh
dibilang relatif baru. Jilbab, sebagai salah satu kelengkapan busana
Muslimah, baru dikenal di Indonesia pasca revolusi Iran pada tahun 1979.
Sebelum masa itu amat sulit ditemukan mahasiswi yang mengenakan
jilbab, termasuk dalam lingkungan perguruan tinggi agama Islam.
Demikian pula pengenaan celana jins, pada masa itu, dapat dipandang
sebagai perilaku yang aneh dan nyeleneh. Dewasa ini amat sulit
menemukan mahasiswi perguruan tinggi agama Islam tanpa jilbab.
Sementara itu, pengenaan celana jins di kalangan mahasiswi (masyarakat
kampus pada umumnya) telah menjadi pemandangan sehari-hari. Jibab dan
celana jins berasal dari dua lingkaran kebudayaan yang berbeda, dari
Iran dan Amerika Serikat. Tetapi, kini telah melekat sebagai
kelengkapan dalam suatu kesatuan perilaku. Bahkan telah menjadi
kebiasaan di kalangan sebagian mahasiswi Muslimah Indonesia.
Jawaban atas pertanyaan ketiga juga mudah ditebak. Yang paling pokok
adalah untuk menutup aurat. Sedangkan jawaban tambahannya ialah
mengikuti mode berbusana di kalangan perempuan muda, yang merebak dalam
berbagai lingkungan. Jawaban pokok atas pertanyaan itu, dapat
dilanjutkan dengan pertanyaan: mengapa aurat perempuan mesti ditutup?
Jawaban atas pertanyaan itu akan merujuk pada norma kehidupan yang
dianut oleh mahasiswi tersebut, yakni menutup aurat merupakan suatu
“kewajiban” agama. Boleh jadi jawaban tersebut merujuk kepada ayat
Qur’an atau teks Hadis yang diketahuinya secara jelas. Atau mungkin,
jawaban itu hanya merujuk kepada pandangan “umum” yang menyatakan bahwa
menutup aurat adalah “wajib”. Apabila menutup aurat itu merupakan suatu
“kewajiban”, atau perbuatan yang “wajib” dilakukan, maka jawaban
tersebut telah masuk dalam ranah fiqh yang telah terinternalisasi dalam
diri mahasiswi itu. Apabila jawaban atas pertanyaan keempat adalah ya,
maka hal itu menunjukkan bahwa fiqh menjadi inti kebudayaan yang
dianut oleh mahasiswi itu, khususnya ketika berpakaian sebagai penutup
aurat.
Jawaban atas pertanyaan ketiga dan keempat, dapat dipahami dan
dijelaskan dengan menggunakan pendekatan teologis, atau antropologis,
atau sosiologis. Secara teologis, menutup aurat merupakan wujud
kepatuhan dan penghambaan manusia kepada Yang Maha Pencipta dan Yang
Maha Pengatur untuk memeroleh keridaan-Nya. Secara psikologis menutup
aurat merupakan suatu respons dan penyesuaian diri terhadap keharusan
dalam lingkungan sosialnya. Sedangkan secara antropologis menutup aurat
merupakan wujud perbuatan yang memiliki makna bagi pelakunya yang
dipandang sopan dan pantas menurut kaidah sosial yang dianut dalam
komunitas yang bersangkutan. Sementara itu, secara sosiologis menutup
aurat merupakan wujud identitas Muslimah yang memasuki usia remaja dan
dewasa ketika melakukan interaksi, baik di dalam maupun di luar
komunitasnya.
Apa yang digambarkan di atas merupakan contoh fiktif yang dapat diuji
dalam entitas kehidupan Muslim, terutama di kalangan perempuan. Cara
menutup aurat yang dilakukan oleh Muslimah secara individual kemudian
diikuti oleh Muslimah lainnya melalui proses teladan dan peniruan.
Ketika cara tersebut dilakukan secara terus menerus oleh para Muslimah
dalam suatu komunitas, maka menutup aurat dengan mengenakan jilbab dan
celana jins menjadi kebiasaan di kalangan mereka.[1]
Kebiasaan itu memiliki daya ikat ketika dilakukan interaksi dalam
lingkungan internal (sesama Muslimah) maupun eksternal (masyarakat pada
umumnya). Ketika kebiasaan itu telah memiliki keajegan dan memola, maka
ia menjadi tata kelakuan yang telah diterima sebagai norma pengatur.
Selanjutnya, menutup aurat dengan mengenakan jilbab dan celana jins
menjadi adat (custom) ketika terintegrasi dengan pola perilaku
masyarakat secara keseluruhan. Berkenaan dengan hal itu, adat memiliki
daya ikat dan daya atur yang cukup tinggi dalam kehidupan kolektif.
Adalah suatu keniscayaan bahwa dalam wacana fiqh muncul kaidah fiqh yang
bersifat aghlabiyah (mayoritas): “adat digunakan sebagai hukum” (al-‘ādah muhakkamah).
Selanjutnya, di Indonesia, adat yang dipandang memiliki akibat hukum
dalam suatu kesatuan komunitas, dikenal sebagai hukum adat atau customary law (Lihat: Hooker, 1980: 22).
Dari contoh fiktif di atas, dapat ditelusuri berbagai perilaku memola
lainnya dalam komunitas Muslim, baik di kalangan perempuan maupun
laki-laki; muda maupun tua; di kawasan perdesaan maupun di kawasan
perkotaan. Atas perihal tersebut, tampak beberapa hal yang menggambarkan
tentang hubungan antara fiqh dengan perilaku. Pertama, fiqh yang
dipahami sebagai norma perilaku, diterima sebagai salah satu norma
sosial yang memiliki daya ikat, kemudian dilaksanakan dalam konteks
kehidupan bermasyarakat. Ia berawal dari perilaku individual yang
bersifat konkret, teramati dan terukur. Kemudian berkembang menjadi
perilaku memola yang dianut oleh komunitas, yang, pola itu, bersifat
abstrak.