Tidak dapat dipungkiri
bahwasanya al-qawā’id al-fiqhiyyah merupakan suatu disiplin ilmu yang
memiliki kedudukan yang sangat penting dalam pengembangan wacana intelektual
yang berkaitan dengan ilmu-ilmu keislaman, hal tersebut dapat dirasakan oleh
orang-orang yang menggelutinya, di dalamnya terdapat sejumlah kaidah atau
konsep, baik berupa konsep pokok atau asasi maupun konsep-konsep cabang yang
merupakan hasil penjabaran dari konsep asasi tersebut, yang pada aplikasinya
semua konsep itu dapat digunakan dalam memberikan interpretasi dalam berbagai
wacana fiqh konservatif maupun kontemporer.
Al-qawā’id
al-fiqhiyyah dikategorikan
sebagai dalīl syar’ī yang memungkinkan adanya istinbāţ hukum-hukum
darinya apabila bersumber dari al-Qur’ān dan Sunnah, sehingga ber-ḥujjah
dengannya merupakan cerminan hujjah dari sumber pengambilannya (al-Qur’ān dan Sunnah). Misalnya kaidah
yang berbunyi: al-masyaqqatu tajlibu al-taisīra, sumber kaidah ini adalah firman Allah SWT
dalam QS. al-Ḥajj (22):78): وَمَا
جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِيْ الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍ “Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama
suatu kesempitan”.[1]
Adapun kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh para fuqahā’ berdasarkan
hasil istiqrā’ mereka terhadap berbagai permasalahan fiqh yang serupa,
maka dalam hal ini, para ulamā’ berbeda pendapat mengenai ber-ḥujjah dengan
kaidah-kaidah fiqh tersebut. Di antara mereka ada yang tidak menerima
kaidah-kaidah tersebut sebagai dasar dalam istinbāţ hukum, namun dapat
dijadikan sebagai penguat (syāhid) terhadap dalīl syar’ī, sebagaimana
perdapat dari Ibnu Farḥūn. Namun sebagian ulamā yang lain berpendapat mengenai
kebolehan ber-hujjah dengan
kaidah-kaidah fiqh tersebut, sebagaimana pendapat Imām al-Qarāfī.[2]