Makalah Fiqih Mawaris
A. Pengertian Fiqh Mawaris
Istilah Fiqh Mawaris (فقه المواريث) sama pengertiannya dengan Hukum
Kewarisan dalam bahasa Indonesia, yaitu hukum yang mengatur tata cara
pembagian harta peninggalan orang yang meninggal dunia. Ada dua nama
ilmu yang membahas pembagian harta warisan, yaitu ilmu mawaris (علم
المواريث) dan ilmu fara'id (علم الفرائض). Kedua nama ini (mawaris dan
fara'id) disebut dalam al-Qur'an maupun al-hadis. Sekalipun obyek
pembahasan kedua ilmu ini sama, tetapi istilahnya jelas berbeda.
Kataمواريث adalah jama' dari ميراث dan miras itu sendiri sebagai
masdar dari ورث - يرث- ارثا - وميراثا .
Secara etimologi kata miras mempunyai beberapa arti, di antaranya:
al-baqa' (البقاء) , yang kekal; al-intiqal(الانتقال) "yang berpindah",
dan al-maurus (الموروث) yang maknanya at-tirkah (التركة) "harta
peninggalan orang yang meninggal dunia". Ketiga kata ini (al-baqa',
al-intiqal, dan at- tirkah) lebih menekankan kepada obyek dari
pewarisan, yaitu harta peninggalan pewaris.
Adapun kata fara'id (الفرائض) dalam kontek kewarisan adalah bagian para
ahli waris. Dengan demikian secara bahasa, apabila ilmu yang membahas
kewarisan disebut ilmu fara'id karena yang dibahas adalah bagian para
ahli waris, khususnya ahli waris yang bagiannya sudah ditentukan.
Apabila dibandingkan kedua istilah di atas dalam pengertian bahasa, kata
mawaris mempunyai pengertian yang lebih luas dan lebih menampung untuk
menyebut ilmu yang membahas tata cara pembagian harta peninggalan orang
yang meninggal dunia dibandingkan istilah fara'id.
Apabila ditelusuri pemakaian kedua istilah di atas di kalangan para
ulama, tampaknya pada awalnya lebih banyak digunakan kata fara'id
daripada kata mawaris. Hal ini dapat dilihat dari fiqh-fiqh klasik yang
dalam salah satu babnya memakai judul bab al-faraid atau kitab
al-fara'id, sebagai judul pembahasan kewarisan. Adapun pada masa
belakangan menunjukkan kebalikannya, yaitu lebih banyak digunakan kata
mawaris, seperti Wahbah az-Zuhaili dalam karyanya "al-Fiqh al-Islamy wa
Adillatuhu", jilid VIII dalam bab ke-6 memberi judul babnya الميراث.
Lafad al-faraid, sebagai jamak dari kafazd faridhah, oleh para ulam
faradhiyun diartikan semakna dengan lafazd mafrudhah, yakni bagian yang
telah dipastikan kadarnya. Faraid dalam istilah mawaris dikhususkan
untuk suatu bagian ahli waris yang telah ditentukan besar kecilnya oleh
syara. Sedang ilmu faraidh oleh sebagian ulama faradhiyun di ta’rifkan “
ilmu fiqhi yang berpautan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan
tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta
pusaka dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta
peningalan untuk setiap pemilik harta pusaka”.
Menurut fiqih adalah apa yang ditinggalkan oleh orang mati berupa harta
atau hak-hak yang karena kematianya itu menjadi hak ahli warisnya secara
syar’i.
Ilmu faraid adalah ilmu yang mempelajari pembagian warisan dan cara penghitunganya dilihat darai kaca mata fiqih.
Istilah Fara’id adalah bahasa yang menunjukkan bentuk plural atau jamak.
Adapun bentuk mufradnya adalah “Faridah” yang berarti: suatu ketentuan
atau dapat pula diartikan bagian-bagian yang tertentu. Di dalam hukum
waris islam dikenal dengan istilah “Ilmul Fara’id” atau disebut dengan
ilmul mirats, yakni ilmu yang membahas tentang pembagian warisan dari
seseorang yang meninggal dunia.
Al-Syarbiny dalam sebuah kitabnya Mughni al-Muhtaj juz 3 mengatakan
bahwa: “Fiqih Mawaris adalah fiqih yang berkaitan dengan pembagian harta
warisan, mengetahui perhitungan agar sampai kepada mengetahui bagian
harta warisan dan bagian bagian yang wajib diterima dari harta
peninggalan untuk setiap yang berhak menerimanya.” Dalam konteks yang
lebih umum, warisan dapat diartikan sebagai perpindahan hak kebendaan
dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup.
Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Hukum Warisan di Indonesia misalnya
mendefinisikan “Warisan adalah soal apakah dan bagaimanakah berbagai
hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia
meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup”.
Dengan demikian, ilmu faraidh mencakup tiga unsur penting didalamnya:
1. Pengatahuan tentang kerabat-kerabat yang menjadi ahli waris;
2. Pengetahuan tentang bagian setiap ahli waris; dan
3. Pengetahuan tentang cara menghitung yang dapat berhubungan dengan pembagian harta waris.
Dari pengertian mawaris secara bahasa di atas dapat dipahami bahwa ilmu
yang membahas kewarisan disebut ilmu mawaris antara lain karena yang
dibahasnya adalah mengenai tata cara pemindahan harta peninggalan orang
yang meninggal dunia (dari kata miras yang berarti al-intiqal), atau
karena yang dibahas oleh ilmu ini ialah harta peninggalan orang yang
meninggal dunia (dari kata miras yang berarti tirkah).
B. Kedudukan dan Urgensinya
Ilmu fara’idh atau fiqih mawaris merupakan ilmu yang sangat penting.
Oleh karena itu, Allah sendiri dan secara langsung mengatur
bagian-bagian fara’idh ini. Dia tidak menyerahkan hal tersebut kepada
malaikat atau rasul yang paling dekat sekalipun. Allah telah menjelaskan
masing-masing bagian ahli waris yang seperdua, seperempat,
seperdelapan, dua pertiga, sepertiga dan seperenam. Ini berbeda dengan
hukum-hukum lainnya, seperti shalat, zakat, puasa, haji dan lain-lain
yang nash-nashnya bersifat global. Allah SWT menjamin surga bagi kaum
muslimin yang melaksanakan hukum waris Islam ini.
Allah SWT berfirman. “(Hukum-hukum tersebut) itu adalah
ketentuan-ketentuan dari Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan
RasulNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di
dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah
kemenangan yang besar” [An-Nisa: 13]. Allah SWT, mengancam dengan neraka
dan adzab yang pedih bagi orang-orang yang menyelisihi batasan-batasan
fara’idh Islam tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman. “Dan
barangsiapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya dan melanggar
ketentuan-ketentuanNya, niscaya Allah memasukkannya kedalam api neraka,
sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan”
[An-Nisa : 14], Rasulullah SAW memerintahkan agar umat Islam
mempelajarai ilmu fara’idh dan mengajarkannya.
Amirul Mukminin Umar Ibnul Khaththab Radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Pelajarilah fara’idh, sebab ia adalah bagian dari agamamu”. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berkata: “Pelajarilah fara’idh, nahwu
dan Sunnah sebagaimana kamu mempelajari Al-Qur’an” Ibnu Abbas Ra,
ketika menafsirkan ayat 73 surat Al-Anfal, dia menyatakan: “Jika kamu
tidak mengambil ilmu waris yang diperintahkan oleh Allah, maka pasti
akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar”.
Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Perumpamaan orang yang
membaca Al-Qur’an tetapi tidak pandai fara’idh, adalah seperti baju
burnus yang tidak memiliki kepala”. Para ulama Islam sangat peduli dan
memberi perhatian yang besar terhadap ilmu ini, dengan berdiskusi,
mengajarkan, merumuskan kaidah-kaidahnya, dan menuliskannya dalam
literarur (kitab) fiqih. Ini semua karena, fara’idh merupakan bagian
dari agama Islam, diwahyukan langsung oleh Allah, dan dijelaskan serta
dipraketkkan oleh Rasulullah SAW. (Lihat Syaikh Shalih Fauzan dalam
At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hlm. 13-16)
C. Dasar-Dasar Pewarisan Masa Jahiliyah
Orang-orang Arab jahiliyah adalah tergolong salah satu bangsa yang gemar
mengembara dan berperang. Kehidupan mereka tergantung dari hasil
jarahan dan rampasan perang dari bangsa-bangsa yang telah mereka
taklukkan, dan juga ada yang tergantung dari hasil memperniagakan
rempah-rempah. Dalam tradisi pembagian harta pusaka yang telah diwarisi
dari leluhur mereka terdapat suatu ketentuan utama bahwa anak-anak yang
belum dewasa dan kaum perempuan dilarang mempusakai harta peninggalan
ahli warisnya yang telah meninggal dunia.Tradisi tersebut menganggap
bahwa anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan adalah sebagai
keluarga yang belum atau tidak pantas menjadi ahli waris. Sebagian dari
mereka beranggapan bahwa janda perempuan dari orang yang telah meninggal
merupakan wujud harta peninggalan yang dapat dipusakakan dan dipusakai
kepada dan oleh ahli waris si mati .
Banyak sekali riwayat-riwayat dari para sahabat yang menceritakan hal
tersebut. Ibn Abi Thalhah, misalnya mengutib suatu riwayat Ibn Abbas r.a
yang menjelaskan: “Konon bila terjadi seorang laki-laki meninggal dunia
dengan meninggalkan seorang perempuan (janda), kerabatnya melemparkan
pakaiannya dimuka perempuan tersebut. (Atas tindakan ini) maka yang
melarangnya untuk dikawini oleh orang lain. Jika perempuan tersebut
cantik teru s dikawininya dan juga jelek ditahannya sampai meninggal
dunia untuk kemudian dipusakai harta peninggalannya.” )
Bukti bahwa tradisi mewarisi janda simati itu betul-betul terjadi pada
zaman jahiliyah ialah tindakan seorang yang bernama Mihshan bin Abu Qais
al-Aslat, sesaat ayahnya meninggal dunia, ia berhasrat mengawini janda
ayahnya yang tidak diurus belanjanya dan tidak diberi pusaka sedikitpun
dari harta peninggalan ayahnya. Atas desakan dari calon suaminya yang
baru janda tersebut meminta ijin kepada Rasulullah agar diperkenankan
berkawin dengan Mihsham. Disaat itu Rasulullah belum dapat memberikan
jawaban secara spontan. Baru beberapa saat kemudian, setelah Allah
menurunkan ayat dari surat An-Nisa’: 19
“ Hai orang- orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita- wanita( janda- janda si mati) dengan cara paksaan.”
Tata aturan pembagian harta pusaka di dalam masyarakat jahiliyyah,
sebelum Islam datang, didasarkan atas nasab dan kekerabatan, dan itu
hanya diberikan kepada keluarga yang laki-laki saja, yaitu mereka yang
lelaki yang sudah dapat memenggul senjata untuk mempertahankan
kehormatan keluarga, dan melakukan peperangan serta merampas harta
peperangan. Orang-orang perempuan dan anak-anak tidak mendapatkan
pusaka. Bahkan orang-orang perempuan, yaitu istri ayah atau istri
saudara di jadikan harta pusaka.
Kemudian, pengangkatan anak, berlaku dikalangan jahiliyah dan apabila
sudah dewasa si anak angkat mempunyai hak yang sepenuh-penuhnya
sebagaimana disyaratkan oleh bapak yang mengangkatnya. Dan karena itu,
apabila bapak angkat ini meninggal, anak angkat mempunyai hak mewaris
sepenuh-penuhnya atas harta benda bapak angkatnya.
D. Penentuan Ahli Waris
Dalam penentuan ahli waris ada sebab- sebab mempusakai yaitu ada 3 macam:
1. Adanya pertalian kerabat( qarabah)
2. Adanya janji prasetia( muhalafah)
3. Adanya pengangkatan anak( tabanny atau adopsi)
Hak pusaka belum dapat digunakan sebagaimana mestinya, selama ia tidak memiliki dua buah syarat berikut:
1. Sudah dewasa
2. Orang laki- laki
Pertalian-kerabat saja belum cukup kiranya dijadikan alasan untuk
menuntut hak pusaka, selagi tidak di lengkapi dengan adanya kekuatan
jasmani yang sanggup untuk membela, melindungi dan memelihara qabilah
atau sekurang- kurangnya keluarga mereka.
Dengan demikian para ahli waris jahiliyah dari golongan kerabat semuanya terdiri dari golongan laki- laki. Mereka itu ialah :
1. Anak laki-laki
2. Saudara laki-laki
3. Paman
4. Anak paman, Yang kesemuanya harus sudah dewasa.
Janji-prasetia itu baru terjadi dan mempunyai kekuatan hukum, bila salah
seorang pihak telah mengikrarkan janji prasetianya kepada pihak lain,
dengan ucapan (sumpah).
Pengangkatan Anak
Seorang yang telah mengambil anak laki- laki orang lain untuk di
pelihara dan dimasukkan didalam keluarga yang menjadi tanggungannya
menjadi bapak angkat terhadap anak yang telah diadopsi dengan berstatus
anak nasab. Anak angkat tersebut bila sudah dewasa dan bapak angkatnya
meninggal dunia, dapat mempusakai harta peninggalan bapak angkatnya
seperti anak keturunannya sendiri .
E. Hukum Waris Masa Awal Islam
Pada masa awal-awal Islam, hukum kewarisan belum mengalami perubahan
yang berarti. Di dalamnya masih terdapat penambahan-penambahan yang
lebih bekonotasi strategis untuk kepentingan dakwah, atau bahkan
“politis”. Tujuannya adalah, untuk merangsang persaudaraan demi
perjuangan dan keberhasilan misi Islam. Pertimbangannya, kekuatan Islam
pada masa itu, dirasakan masih sangat lemah baik sebagai komunitas
bangsa maupun dalam pemantapan-pemantapan ajarannya, yang masih dalam
dinamika perubahan.
F. Dasar-Dasar Penentuan Ahli Waris
Dasar penentuan ahli waris pada zaman awal-awal islam masih mengunakan adat yang berlaku diantaranya:
1. Pertalian kerabat (Al-Qarabah);
2. Janji prasetia (Al-bilf wa al mu`aqadah);
3. Pengangkatan anak (Al-tabanni) atau adopsi;
4. Hijrah dari Mekah ke Madinah;
5. Ikatan persaudaraan (Al-muakhah) antara orang-orang Muhajirin
(pendatang) dan orang-orang Anshor, yaitu orang-orang Madinah yang
memberikan pertolongan kepada kaum muhajirin dari Mekah di Madinah.
DAFTAR PUSRAKA
- Rahman Fatchur, Ilmu Waris, Bandung; PT. Alma’arif, 1971.
- Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, Jakarta; PT. Rineka Cipta.
- Ali as-Sabuny, Muhammad, al-Mawaris fi asy-Syari'ah al-Islamiyyah fi Dau al-Kitab a as-Sunnah, 1989.Az-zuhaili,
- Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jakarta; Darul Fikir, 2011.Al-Fauzan,
- Saleh, fiqih Sehari-Hari, Jakarta; Gema Insani Press, 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar