A. Perilaku Memola
Apabila pada suatu pagi seorang perempuan muda berjilbab dan
bercelana jins lewat di depan rumah, ia dapat mengundang beberapa
pertanyaan. Pertama, siapa perempuan itu? Kedua, sejak kapan ia
mengenakan jilbab dan celana jins? Ketiga, mengapa ia mengenakan jilbab
dan celana jins? Keempat, apakah ia mengenakan jilbab dan celana jins
secara terus menerus? Keempat pertanyaan itu dapat dilanjutkan dengan
pertanyaan-pertanyaan berikutnya. Atau mungkin terjadi sebaliknya, tidak
mengundang pertanyaan apa pun karena pengenaan jilbab dan celana jins
telah menjadi pemandangan sehari-hari, terutama dalam lingkungan
permukiman sekitar kampus perguruan tinggi.
Andaikan jawaban atas pertanyaan pertama itu adalah mahasiswi, maka
jawaban atas pertanyaan kedua dapat diduga. Mungkin, ia mengenakan
jilbab sejak menjadi siswi sekolah menengah pertama atau madrasah
tsanawiyah. Tetapi belum tentu, ia mengenakan celana jins sejak menjadi
siswi. Boleh jadi, ia mengenakan celana jins hanya di rumah atau di
luar sekolah. Dalam lingkungan sekolah atau madrasah “haram” mengenakan
celana jins, karena terikat oleh peraturan pakaian seragam. Namun
boleh jadi, ia mengenakan celana jins ketika sedang mengikuti kegiatan
perkuliahan di perguruan tinggi, karena masyarakat kampus tidak
mengenal pakaian seragam dan amat permisif terhadap pengenaan celana
jins, termasuk di kalangan mahasiswi.
Pengenaan jilbab di kalangan mahasiswi, perempuan pada umumnya, boleh
dibilang relatif baru. Jilbab, sebagai salah satu kelengkapan busana
Muslimah, baru dikenal di Indonesia pasca revolusi Iran pada tahun 1979.
Sebelum masa itu amat sulit ditemukan mahasiswi yang mengenakan
jilbab, termasuk dalam lingkungan perguruan tinggi agama Islam.
Demikian pula pengenaan celana jins, pada masa itu, dapat dipandang
sebagai perilaku yang aneh dan nyeleneh. Dewasa ini amat sulit
menemukan mahasiswi perguruan tinggi agama Islam tanpa jilbab.
Sementara itu, pengenaan celana jins di kalangan mahasiswi (masyarakat
kampus pada umumnya) telah menjadi pemandangan sehari-hari. Jibab dan
celana jins berasal dari dua lingkaran kebudayaan yang berbeda, dari
Iran dan Amerika Serikat. Tetapi, kini telah melekat sebagai
kelengkapan dalam suatu kesatuan perilaku. Bahkan telah menjadi
kebiasaan di kalangan sebagian mahasiswi Muslimah Indonesia.
Jawaban atas pertanyaan ketiga juga mudah ditebak. Yang paling pokok
adalah untuk menutup aurat. Sedangkan jawaban tambahannya ialah
mengikuti mode berbusana di kalangan perempuan muda, yang merebak dalam
berbagai lingkungan. Jawaban pokok atas pertanyaan itu, dapat
dilanjutkan dengan pertanyaan: mengapa aurat perempuan mesti ditutup?
Jawaban atas pertanyaan itu akan merujuk pada norma kehidupan yang
dianut oleh mahasiswi tersebut, yakni menutup aurat merupakan suatu
“kewajiban” agama. Boleh jadi jawaban tersebut merujuk kepada ayat
Qur’an atau teks Hadis yang diketahuinya secara jelas. Atau mungkin,
jawaban itu hanya merujuk kepada pandangan “umum” yang menyatakan bahwa
menutup aurat adalah “wajib”. Apabila menutup aurat itu merupakan suatu
“kewajiban”, atau perbuatan yang “wajib” dilakukan, maka jawaban
tersebut telah masuk dalam ranah fiqh yang telah terinternalisasi dalam
diri mahasiswi itu. Apabila jawaban atas pertanyaan keempat adalah ya,
maka hal itu menunjukkan bahwa fiqh menjadi inti kebudayaan yang
dianut oleh mahasiswi itu, khususnya ketika berpakaian sebagai penutup
aurat.
Jawaban atas pertanyaan ketiga dan keempat, dapat dipahami dan
dijelaskan dengan menggunakan pendekatan teologis, atau antropologis,
atau sosiologis. Secara teologis, menutup aurat merupakan wujud
kepatuhan dan penghambaan manusia kepada Yang Maha Pencipta dan Yang
Maha Pengatur untuk memeroleh keridaan-Nya. Secara psikologis menutup
aurat merupakan suatu respons dan penyesuaian diri terhadap keharusan
dalam lingkungan sosialnya. Sedangkan secara antropologis menutup aurat
merupakan wujud perbuatan yang memiliki makna bagi pelakunya yang
dipandang sopan dan pantas menurut kaidah sosial yang dianut dalam
komunitas yang bersangkutan. Sementara itu, secara sosiologis menutup
aurat merupakan wujud identitas Muslimah yang memasuki usia remaja dan
dewasa ketika melakukan interaksi, baik di dalam maupun di luar
komunitasnya.
Apa yang digambarkan di atas merupakan contoh fiktif yang dapat diuji
dalam entitas kehidupan Muslim, terutama di kalangan perempuan. Cara
menutup aurat yang dilakukan oleh Muslimah secara individual kemudian
diikuti oleh Muslimah lainnya melalui proses teladan dan peniruan.
Ketika cara tersebut dilakukan secara terus menerus oleh para Muslimah
dalam suatu komunitas, maka menutup aurat dengan mengenakan jilbab dan
celana jins menjadi kebiasaan di kalangan mereka.[1]
Kebiasaan itu memiliki daya ikat ketika dilakukan interaksi dalam
lingkungan internal (sesama Muslimah) maupun eksternal (masyarakat pada
umumnya). Ketika kebiasaan itu telah memiliki keajegan dan memola, maka
ia menjadi tata kelakuan yang telah diterima sebagai norma pengatur.
Selanjutnya, menutup aurat dengan mengenakan jilbab dan celana jins
menjadi adat (custom) ketika terintegrasi dengan pola perilaku
masyarakat secara keseluruhan. Berkenaan dengan hal itu, adat memiliki
daya ikat dan daya atur yang cukup tinggi dalam kehidupan kolektif.
Adalah suatu keniscayaan bahwa dalam wacana fiqh muncul kaidah fiqh yang
bersifat aghlabiyah (mayoritas): “adat digunakan sebagai hukum” (al-‘ādah muhakkamah).
Selanjutnya, di Indonesia, adat yang dipandang memiliki akibat hukum
dalam suatu kesatuan komunitas, dikenal sebagai hukum adat atau customary law (Lihat: Hooker, 1980: 22).
Dari contoh fiktif di atas, dapat ditelusuri berbagai perilaku memola
lainnya dalam komunitas Muslim, baik di kalangan perempuan maupun
laki-laki; muda maupun tua; di kawasan perdesaan maupun di kawasan
perkotaan. Atas perihal tersebut, tampak beberapa hal yang menggambarkan
tentang hubungan antara fiqh dengan perilaku. Pertama, fiqh yang
dipahami sebagai norma perilaku, diterima sebagai salah satu norma
sosial yang memiliki daya ikat, kemudian dilaksanakan dalam konteks
kehidupan bermasyarakat. Ia berawal dari perilaku individual yang
bersifat konkret, teramati dan terukur. Kemudian berkembang menjadi
perilaku memola yang dianut oleh komunitas, yang, pola itu, bersifat
abstrak.
Kedua, secara bertahap fiqh dilaksanakan dalam wujud perilaku aktual
sesuai dengan keharusan dan kewajaran. Keharusan merujuk pada ketentuan
fiqh yang diterima sebagai norma pengatur. Sementara itu, kewajaran
merujuk pada norma lain dalam suatu komunitas yang memandang bahwa
perilaku itu sopan (etis) dan pantas (estetis). Ketika perilaku itu
berada di luar nilai-nilai yang dianut oleh suatu komunitas, maka
perilaku itu dipandang sebagai sesuatu yang ganjil; bahkan “harus
ditentang” atau “diberantas”. Bukankah pengenaan jilbab di kalangan para
siswi sekolah menengah atas pada tahun 1980-an pernah dilarang hingga
diselesaikan melalui pengadilan?[2]
Bukankah pengenaan jilbab dan simbol keagamaan lainnya di seluruh
sekolah negeri Perancis dilarang karena berlawanan dengan
sekularisasi secara murni dan konsekuen?[3]
Sebaliknya, ketika otonomi daerah dibuka melalui Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, terdapat beberapa
Peraturan Daerah tentang busana Muslim.[4]
Ketiga, perilaku memola dalam kehidupan komunitas memiliki kesamaan
dengan ketentuan fiqh yang disimpulkan menjadi kaidah fiqh. Hal itu
menunjukkan bahwa ketentuan fiqh memiliki muatan rujukan empiris,
sehingga proses merumusan fiqh selain merujuk kepada dalil normatif
melalui proses istinbāth al-ahkām,
juga merujuk kepada dalil empiris yang tumbuh dan berkembang dalam
komunitas ketika fiqh itu diwacanakan dan dirumuskan. Secara sosiologis
perilaku memola itu, sebagai pelaksanaan ketentuan fiqh, dapat
dipahami dengan menggunakan paradigma definisi sosial. Sedangkan
perilaku memola yang merujuk kepada pola perilaku dalam suatu komunitas
dapat dijelaskan dengan menggunakan paradigma fakta sosial. Dengan
demikian, pengenaan “jilbab etis” dapat dipahami dengan menggunakan
paradigma definisi sosial. Sedangkan pengenaan “jilbab estetis” dapat
dipahami dengan menggunakan paradigma fakta sosial. Hal itu memiliki
konsekuensi terhadap pemilihan paradigma penelitian (kualitatif atau
kuantitaif) yang akan digunakan.
Keempat, perilaku memola yang berhubungan dengan ketentuan fiqh juga
memiliki jaringan dengan unsur lain yang amat rumit. Ia berhubungan
dengan watak serta kedudukan pelaku (mukallaf). Ia, juga,
berhubungan dengan wujud perilaku lain di bidang yang berbeda. Selain
itu, ia juga berhubungan dengan norma-norma yang dianut oleh suatu
komunitas. Ia pun berhubungan dengan norma yang berasal dari luar
komunitas ketika terjadi interaksi antar norma. Dengan perkataan lain,
perilaku memola merupakan bagian dari entitas kehidupan dalam suatu
komunitas. Bahkan menjadi salah satu entitas kehidupan umat manusia.
Boleh jadi perilaku memola itu merupakan salah satu unsur keteraturan
yang bersifat ajeg dalam suatu komunitas. Atau sebaliknya, ia merupakan
suatu anomi yang menuju ke arah keteraturan baru dalam suatu komunitas.
Kelima, perilaku memola yang berawal dari perilaku individu yang
dipandang sebagai bagian dari gejala kehidupan manusia –mulai dari cara
menutup aurat dengan mengenakan jilbab dan celana jins hingga
menggambarkan suatu pola kebudayaan– dapat dipahami melalui penelitian
dengan menggunakan metode progressive contextualization (Lihat:
Vayda: 1982). Metode penelitian ini pernah digunakan untuk memahami
hubungan antara manusia dengan lingkungannya, sebagai salah satu
kelengkapan dalam wacana antropologi, selanjutnya ekologi manusia. Hal
serupa dapat dipahami dan dijelaskan melalui perspektif etnometodologi
dalam wacana sosiologi.
Sekelumit contoh di atas dapat dikembangkan menjadi penelitian yang
lebih besar, atau lebih spesifik. Ia dapat dikembangkan menjadi
penelitian tentang hubungan antara revolusi dengan aliran paham
keagamaan. Atau sebaliknya, tentang hubungan antara aliran paham
keagamaan dengan revolusi. Ia juga dapat dikembangkan menjadi penelitian
tentang perubahan mobilitas vertikal di kalangan Muslimah melalui
pendidikan dan lapangan kerja. Di samping itu, ia dapat dikembangkan
menjadi penelitian tentang hubungan antara durasi dan frekuensi
pengawasan orang tua dengan hak prerogatif wali nikah dalam perkawinan,
khususnya di kalangan mahasiswi. Tentu saja, sangat banyak pilihan
penelitian tentang perilaku yang dapat dilakukan, yang berawal dari
seorang mahasiswi yang lewat di depan rumah sebagaimana diilustrasikan
pada awal tulisan ini. Bahkan, ia dapat dijadikan titik tolak untuk
penelitian tentang kawasan “bursa cinta” di kalangan perempuan muda
ketika berada dalam lingkungan keluarga dan dalam lingkungan perguruan
tinggi. Bukankah “bursa cinta” itu akan semakin luas dan beragam pilihan
ketika lingkungan pergaulan perempuan muda itu semakin luas?
Apa yang dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa aktualisasi fiqh
tercermin dalam serangkaian perilaku dalam suatu lingkaran kebudayaan.
Perilaku itu merupakan konkretisasi kebudayaan abstrak dan ideal dalam
wujud perilaku kolektif, dalam hal ini pengenaan jilbab dan celana jins.
Dalam perilaku itu melibatkan sejumlah anggota komunitas, dengan
merujuk pada norma sosial sebagai panduan perilaku yang dipandang baik
dan benar. Norma sosial itu dipandang sebagai norma unggul, yang
disosialisasikan secara terus menerus dari suatu generasi kepada
generasi berikutnya. Dalam sosialisasi itu terjadi interaksi antar
norma, baik dengan norma lokal yang dianut oleh komunitas secara turun
temurun maupun norma lain yang berasal dari luar komunitas.
Perilaku memola juga tampak dalam kegiatan peribadatan dan kegiatan
publik lainnya. Pelaksanaan shalat idul fitri dan shalat idul adha dalam
berbagai komunitas, misalnya, akan memiliki pola yang beragam apabila
dilihat dari unsur masing-masing: jamaah (laki-laki dan perempuan),
tempat (mesjid dan lapangan), asal khatib dan imam (dari dalam dan dari
luar jamaah), bahasa khutbah (Arab, Indonesia, dan Daerah), dan
seterusnya.
Suatu ketika 10 orang mahasiswa Fakultas Syari‘ah IAIN (sekarang UIN)
Sunan Gunung Djati Bandung ditugasi untuk mengamati dan
mendeskripsikan pelaksanaan shalat idul adha di daerah asal mereka
masing-masing, yakni Kota Bandung dan daerah-daerah sekitarnya. Dari
sepuluh laporan hasil pengamatan tersebut, ditemukan delapan ragam
pelaksanaan shalat idul adha dengan gambaran sebagai berikut:
1. Shalat dilaksanakan di lapangan, jamaah terdiri atas
laki-laki dan perempuan, khatib berasal dari luar kalangan jamaah, dan
khutbah berbahasa Indonesia.
2. Shalat dilaksanakan di mesjid, jamaah terdiri atas laki-laki
dan perempuan, khatib berasal dari kalangan jamaah, dan khutbah
berbahasa Arab diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
3. Shalat dilaksanakan di mesjid, jamaah terdiri atas laki-laki
dan perempuan, khatib berasal dari kalangan jamaah, dan khutbah
berbahasa Arab diterjemahkan ke dalam bahasa Sunda.
4. Shalat dilaksanakan di mesjid, jamaah terdiri atas laki-laki
(dalam mesjid) dan perempuan (dalam majelis taklim), khatib berasal
dari kalangan jamaah, dan khutbah berbahasa Sunda.
5. Shalat dilaksanakan di mesjid, jamaah terdiri atas laki-laki
dan perempuan, khatib berasal dari kalangan jamaah, dan khutbah
berbahasa Arab (tanpa terjemahan).
6. Shalat dilaksanakan di mesjid, jamaah terdiri atas laki-laki
sedangkan perempuan terpisah di majelis taklim, khatib berasal dari
kalangan jamaah, dan khutbah berbahasa Arab diterjemahkan ke dalam
bahasa Sunda.
7. Shalat dilaksanakan di mesjid, jamaah terdiri atas laki-laki
dan perempuan, khatib berasal dari kalangan jamaah, dan khutbah
berbahasa Sunda.
8. Shalat dilaksanakan di mesjid, jamaah terdiri atas laki-laki
(di masjid) dan perempuan (di halaman mesjid), khatib berasal dari
kalangan jamaah, dan khutbah berbahasa Arab diterjemahkan ke dalam
bahasa Sunda.
Ragam pelaksanaan shalat idul adha, juga shalat idul fitri
berlangsung setiap tahun, sehingga telah memola. Perilaku memola semacam
itu juga akan ditemukan dalam berbagai peristiwa, di antaranya shalat
berjamaah lima waktu di berbagai mesjid yang juga sangat beragam
(mesjid keluarga, mesjid kaum [pemerintah], mesjid perusahaan, mesjid
kampus, mesjid pesantren, mesjid pasar, dan mesjid kawasan wisata). Hal
itu akan merembet ke dalam berbagai aspek kehidupan Muslim, di rumah,
di pasar, di kampus, di majelis taklim, di rumah sakit, di gedung
pertemuan, di ruang sidang pengadilan, di ruang sidang badan
legislatif, di rumah tahanan, di gedung pertunjukan, di terminal bis,
di stasion kereta api, di kawasan wisata, dan seterusnya.
Perilaku memola yang sangat menonjol dan telah berusia amat tua dalam
komunitas Muslim, di antaranya dalam peristiwa perkawinan. Dalam
peristiwa itu, terutama dalam berbagai komunitas Muslim yang bertemali
dengan komunitas etnis, terjadi perilaku memola yang merupakan wujud
konkret dari tiga norma sosial sekaligus, yakni fiqh, norma lokal, dan
hukum negara. Dalam perilaku itu fiqh menempati kedudukan sebagai norma
sosial yang dipandang unggul, sebagaimana tercermin dalam keabsahan
perkawinan sebagai suatu perjanjian yang kuat (mitsāqan ghalīzhan), antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami isteri.[5]
Norma fiqh itu dilengkapi oleh norma lokal dalam bentuk upacara yang
mengiringinya; dan hukum negara (nasional) yang bersumber pada peraturan
perundang-undangan, berupa pencatatan perkawinan untuk memperkuat (li al-tawkīd)
keabsahan, perlindungan, dan kepastian hukum bagi perkawinan serta
akibat hukum yang muncul dari perkawinan tersebut, di antaranya hak dan
kewajiban suami isteri dan penyampuran harta perkawinan.
Apabila perilaku memola tersebut ditelusuri secara kronologis dan
mendalam, maka akan ditemukan berbagai perilaku memola lainnya.
Misalnya, perilaku memilih calon suami di kalangan mahasiswi yang
mengenakan jilbab dan celana jins ketika pengawasan orang tua yang
bersangkutan semakin longgar. Ia memiliki keleluasaan untuk bergaul dan
memilih calon pasangan hidupnya di kampus. Boleh jadi calon pasangannya
itu teman kuliah seangkatan atau seniornya; atau teman yang sering
bergaul dalam kegiatan organisasi ekstra universiter, atau teman dari
unit kegiatan penyalur minat dan bakat mereka. Atas perihal yang sama,
akan dapat ditemukan “perilaku pacaran” yang memola di kalangan
mahasiswi, baik dalam lingkungan kampus maupun di permukiman mereka.
Perilaku yang demikian memiliki keunikan tersendiri bila dibandingkan
teman segenerasinya yang tidak berkesempatan mengenyam pendidikan
tinggi. Tentu saja perilaku memola itu akan diikuti oleh perilaku memola
lainnya. Misalnya, perilaku pergaulan sehari-hari, perilaku pelamaran,
perilaku walimah, perilaku hubungan (pelaksanaan hak dan kewajiban)
suami isteri, dan seterusnya.
Apa yang dikemukakan di atas menunjukkan perilaku memola sebagai
wujud pengamalan fiqh, baik yang berkenaan dengan pelaksanaan kewajiban
individual (fardh ‘ayn) maupun kewajiban kolektif (fardh kifāyah).[6]
Tentu saja perilaku tersebut tidak hanya merupakan wujud aktualisasi
fiqh yang dijadikan rujukan, tetapi juga sebagai bagian dari pengalaman
hidup empiris sebagaimana digagas dan dibiasakan dalam kehidupan
keseharian secara turun temurun, yang amat sulit diketahui asal-usulnya.
Selain itu, pertimbangan-pertimbangan pemenuhan kebutuhan hidup yang
praktis memberi daya dukung terhadap perilaku memola tersebut.
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan beberapa model
penelitian perilaku memola. Namun demikian, dalam tulisan ini hanya
disusun dan dirumuskan dua model penelitian. Pertama, model perilaku
memola individual (MPMI) yang mencerminkan pelaksanaan kewajiban
individual atau perbuatan anjuran yang dilakukan secara individual.
Kedua, model perilaku memola kolektif (MPMK) yang mencerminkan
pelaksanaan kewajiban kolektif dan yang diklasifikasi sunat dalam
ketentuan fiqh yang dilakukan secara kolektif.[7]
Tentu saja perbedaan kedua fokus pada kedua model tersebut sangat
tipis. Pelaksanaan shalat jum‘at dan shalat idul fitri, misalnya, lebih
banyak memiliki kesamaan kaifiah ketimbang perbedaannya walaupun
kedudukan hukum –menurut norma fiqh– tentang kedua kegiatan itu
berbeda. Di samping itu, penentuan fokus akan dihadapkan pada kesulitan
ketika membedakan mana yang diidentifikasi sebagai kewajiban individual
dan mana pula yang dapat diidentifikasi sebagai kewajiban kolektif.
Sebab kewajiban individual dapat dilakukan secara kolektif. Demikian
pula kewajiban kolektif dapat dilakukan secara individual. Dengan
perkataan lain, setiap perilaku individual memiliki konteks sosial, atau
sebaliknya, karena perilaku itu merupakan bagian dalam kehidupan
kolektif.
Kesulitan tersebut akan dihadapi oleh peneliti karena dalam wacana
fiqh terdapat ragam pandangan tentang berbagai perilaku (perbuatan mukallaf) apabila digunakan konsep al-ahkām al-khamsah
yang telah menjadi patokan umum dalam wacana fiqh itu. Untuk mengatasi
kesulitan tersebut, ada tiga cara yang dapat ditempuh. Pertama,
identifikasi didasarkan kepada wacana fiqh yang dipahami oleh paneliti.
Hal itu sarat dengan subyektivitas peneliti. Oleh karena itu, penting
untuk diperhatikan agar tidak bias peneliti. Dengan cara demikian,
peneliti sendiri yang mengidentifikasi perilaku individual atau perilaku
kolektif. Kedua, identifikasi didasarkan pada pandangan sasaran
penelitian (pelaku). Hal ini sarat dengan subyektivitas sasaran
penelitian, namun ia menjadi obyektif bagi peneliti. Dengan cara
demikian, peneliti memilih fokus sebagaimana “adanya” tanpa pandangan
yang bersangkutan. Ketiga, pemilihan fokus penelitian didasarkan pada
gejala perilaku memola yang menunjukkan simbol-simbol keislaman baik
dalam bentuk ucapan dan perbuatan maupun simbol lainnya (penampilan
fisik, peralatan, gambar, asesoris, dan lain-lain). Dengan cara
demikian, perilaku yang dipandang “menyimpang” oleh peneliti atau oleh
subyek penelitian berada di luar fokus penelitian.
1. Model Perilaku Memola Individual
Fokus penelitian MPMI lebih ditekankan pada perilaku memola di
kalangan Muslim secara individual. Dalam fokus ini terdiri atas empat
unsur, yakni: rujukan normatif, rujukan empiris, konsistensi perilaku,
dan orientasi perilaku. Unsur rujukan normatif berkenaan dengan
ketentuan fiqh mengenai perilaku individual sebagaimana dipahami dan
diinternalisasi oleh pelaku. Boleh jadi pemahaman terhadap fiqh tersebut
sebagaimana yang diwacanakan oleh fuqaha, atau telah mengalami
distorsi karena bias sosialisasi dan institusionalisasi. Unsur rujukan
empiris berkenaan dengan pengalaman dan kedudukan pelaku dalam suatu
komunitas ketika memenuhi kebutuhan hidup yang bersangkutan. Boleh jadi
komunitas itu bersifat lokal dan sangat sempit; atau amat luas, bahkan
mungkin mendunia.[8]
Unsur konsistensi perilaku berkenaan dengan rutinitas dan keajegan
perilaku, yang menjadi ciri utama perilaku memola. Boleh jadi
konsistensi perilaku tersebut tampak dalam lingkungan berbagai komunitas
yang bebeda atau mengalami penyesuaian. Sedangkan unsur orientasi
perilaku berkenaan dengan niat dan tujuan perilaku menurut pelakunya
berdasarkan rujukan yang digunakan, baik sebagai warga komunitas maupun
hamba Allah. Unsur ini dapat diidentifikasi berdasarkan patokan al-ahkam al-khamsah sebagaimana dikemukkan di atas.
Dalam MPMI perilaku individual dipandang sebagai suatu “yang telah
diketahui”, yang secara kasat mata dapat diamati dalam kehidupan
sehari-hari. Sedangkan keempat unsur fokus itu ditempatkan sebagai
sesuatu “yang belum diketahui” yang hanya diketahui oleh peneliti
setelah dibentuk sendiri dengan menggunakan akal sehat. Demikian pula
hubungan antar unsur fokus dipandang sebagai sesuatu “yang belum
diketahui”, meskipun dapat dikonstruksikan. Keempat unsur itu melekat
pada perilaku yang memola itu, yang hanya dapat diketahui berdasarkan
informasi dan pengakuan dari pelaku. Oleh karena itu, pemahaman terhadap
perilaku individual hanya dapat diperoleh dari pelakunya secara
individual pula.
Apabila keempat unsur tersebut telah disusun, maka peneliti dapat
menentukan fokus penelitian yang sesungguhnya. Misalnya, pengenaan
jilbab seorang mahasiswi, pemeliharaan anak seorang ibu di pedesaan,
pelaksanaan tugas rutin seorang dosen, kegiatan bisnis seorang
pengusaha, pelaksanaan puasa di kalangan sopir truk, penyampaian
aspirasi politik anggota partai politik, dan seterusnya. Berdasarkan
fokus tersebut dapat diajukan beberapa pertanyaan penelitian untuk
menemukan realitas keempat unsur dalam suatu kesatuan fokus penelitian.
2. Model Perilaku Memola Kolektif
Fokus penelitian MPMK lebih ditekankan pada perilaku memola di
kalangan Muslim sebagai suatu komunitas. Dalam fokus ini terdiri atas
empat unsur, yakni: rujukan normatif, rujukan empiris, pola interaksi,
dan peranan tokoh. Unsur rujukan normatif berkenaan dengan aliran
pemikiran fiqh yang secara umum dianut oleh komunitas yang bersangkutan.
Boleh jadi komunitas itu menganut suatu madzhab fiqh tertentu, seperti
masyarakat bangsa Pakistan (Hanafiah), Maroko (Malikiah), Brunei
Darussalam (Syafi‘iah), Saudi Arabia (Hanabilah), dan Iran (Ja‘fariah).
Atau menganut madzhab yang bercampur, baik dalam bentuk konvergensi
maupun talfik. Unsur rujukan empiris berkenaan dengan ciri-ciri
komunitas, meliputi asal-usul, struktur, dan dinamikanya. Ciri-ciri itu
merupakan suatu keniscayaan bagi para anggota komunitas untuk dijadikan
rujukan dalam berperilaku. Sedangkan pola interaksi berkenaan dengan
hubungan timbal balik para anggota komunitas, meliputi interaksi antar
anggota, antar elite, dan antara anggota dengan elite dalam perilaku
kolektif. Sementara itu, unsur peranan tokoh berkenaan dengan kegiatan
pemimpin komunitas dalam mengorganisasikan perilaku kolektif tersebut.
Dalam MPMK perilaku kolektif dipandang sebagai sesuatu “yang telah
diketahui”, yang dapat diamati dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan
keempat unsur fokus itu ditempatkan sebagai sesuatu “yang belum
diketahui”. Demikian pula hubungan antar unsur fokus dipandang sebagai
sesuatu “yang belum diketahui”. Keempat unsur tersebut melekat pada
perilaku yang memola itu, yang hanya dapat diketahui berdasarkan
informasi dari anggota komunitas. Oleh karena itu, pemahaman dan
penjelasan tentang perilaku kolektif hanya dapat diperoleh dari para
anggota komunitas yang bersangkutan.
Apabila keempat unsur tersebut telah disusun, maka peneliti dapat
menentukan fokus penelitian yang sesungguhnya. Misalnya, kegiatan
belajar para santri dalam lingkungan pesantren, upacara kematian (tahlilan)
dalam masyarakat perdesaan, penyelenggaraan peringatan maulid Nabi
Muhammad Saw. dalam masyarakat perkotaan, gerakan untuk melaksanakan
syari‘at Islam melalui infrastruktur sosial, penyaluran aspirasi politik
di kalangan kaum santri, dan sejenisnya. Berdasarkan fokus tersebut
dapat diajukan beberapa pertanyaan penelitian sesuai dengan cakupan
fokus dan tujuan penelitian.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Secara umum, tujuan penelitian model ini adalah untuk memahami unsur
fiqh dalam perilaku Muslim yang memola, serta hubungan antara fiqh
dengan unsur lain dalam suatu kesatuan perilaku tersebut. Berdasarkan
hasil yang diperoleh akan tampak posisi fiqh dalam suatu perilaku
spesifik. Atau dengan perkataan lain, akan dapat dideskripsikan tentang
aktualisasi fiqh dalam perilaku individual maupun kolektif. Selain itu,
akan dapat diketahui proses perubahan perilaku memola sejalan dengan
perubahan yang terjadi dalam kehidupan umat manusia pada umumnya. Dengan
demikian, akan dapat ditemukan garis yang menghubungkan antara “fiqh
tekstual” sebagaimana diwacanakan dan dipahami oleh para pakar dengan
“fiqh kontekstual” sebagaimana diaktualisasikan dalam kehidupan
sehari-hari; atau sebaliknya. Kedua “fiqh” itu dihubungkan oleh “garis”
yang bersifat kontinum dan dinamis.
2. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian perilaku memola memiliki kegunaan ganda. Pertama,
berguna untuk mengembangkan pengetahuan ilmiah di bidang fiqh dalam
entitas kehidupan Muslim. Hal itu mencakup: (1) Perluasan ranah
pengkajian fiqh sebagaimana dipahami dan diamalkan secara memola oleh
para pelaku, yakni “fiqh aktual” dalam kehidupan Muslim yang sangat
bervariasi; (2) Pengalihan hasil penelitian ke dalam kegiatan
pembelajaran sehinga para mahasiswa akan memeroleh informasi mutakhir
berkenaan dengan perilaku yang berhubungan dengan fiqh; (3) Menjadi
titik tolak bagi kegiatan penelitian perilaku memola, baik oleh peneliti
yang bersangkutan maupun oleh peneliti lain.
Kedua, hasil penelitian berguna bagi pemenuhan hajat hidup manusia,
khususnya berkenaan dengan aspek penataan kehidupan kolektif yang
didasarkan pada perilaku memola. Hal itu menyakup: (1) Pengembangan
apresiasi terhadap perilaku memola sebagai bahan baku bagi pengembangan
masyarakat Muslim; (2) Peningkatan apresiasi terhadap perilaku memola
yang beragam, sehingga muncul toleransi yang tinggi terhadap keragaman
pengamalan fiqh pada umumnya; (3) Menjadi bahan rujukan dalam proses
penataan kehidupan Muslim dengan menggunakan bahan baku perilaku memola
sebagai modal sosial yang dimilikinya. Apabila hal itu akan digunakan,
maka hasil penelitian perilaku memola dapat diintegrasikan dengan unsur
lain dalam konteks struktur dan pola budaya komunitas bersangkutan.
D. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Berpikir
1. Tinjauan Pustaka
Penelitian perilaku memola memiliki persamaan yang sangat besar
dengan penelitian institusionalisasi fiqh. Perbedaannya terletak pada
subyek penelitian. Yang pertama berupa perilaku yang merujuk pada fiqh
sebagai norma kehidupan manusia. Ia lebih ditekankan pada unsur
manusianya. Sedangkan yang kedua berupa norma fiqh yang dijadikan
rujukan perilaku. Ia lebih ditekankan pada unsur normanya. Oleh karena
itu, penelitian kedua model tersebut dapat dilakukan terhadap sasaran
yang sama, namun dengan fokus yang berbeda.
Perilaku atau perbuatan manusia dalam terminologi fiqh disebut amal
atau af‘al. Oleh karena itu, fiqh dimaknai sebagai hukum amaliah yang
didasarkan kepada dalil yang rinci (Abdul Wahhab Kallaf, 1972: 11).
Sedangkan perilaku yang dimaksud ialah perbuatan mukallaf (af‘āl al-mukallaf),
yang diartikan sebagai perilaku individual bagi orang yang memiliki
hak dan kewajiban sebagai subyek hukum. Sementara itu, perilaku
berulang-ulang yang terintegrasi dengan pola perilaku masyarakat secara
keseluruhan disebut sebagai adat (al-‘ādah). Atas perilaku yang berulang-ulang itu ditarik suatu simpulan induktif sebagaimana dirumuskan dalam kaidah fiqh, al-‘ādah muhakkamah.
Atas perihal tersebut, perilaku mukallaf berpedoman pada dua rujukan
utama. Pertama, normat fiqh yang dideduksi dari Kitabullah dan Sunnah
Rasulullah. Rujukan tersebut terdokumentasi dalam berbagai kitab fiqh,
yang disosialisasikan, dipahami dan dihayati oleh masing-masing pribadi
Muslim. Kedua, al-‘ādah muhakkamah yang diinduksi dari interaksi dalam kehidupan masyarakat setelah dinyatakan sebagai adat yang sahih (al-‘ādah al-shahīhah)
menurut rujukan pertama. Penggunaan kedua rujukan itu hanya dapat
diketahui melalui perilaku aktual, baik individual maupun kolektif.
Berkenaan dengan hal itu, untuk memahami perilaku memola memerlukan
bantuan ilmu-ilmu perilaku manusia (human behavioral sciences),
terutama psikologi, antropologi, dan sosiologi. Secara psikologis
perilaku merupakan respons terhadap stimulus yang datang dari luar, atau
penyesuaian diri dengan perilaku kelompok yang berlaku dalam
lingkungan sosial. Sedangkan secara antropologis perilaku merupakan
suatu wujud perbuatan yang memiliki makna bagi pelakunya, yang
dipandang sopan dan pantas menurut norma sosial yang dianut dalam
komunitas. Sementara itu, secara sosiologis perilaku merupakan suatu
wujud interaksi sosial sesuai dengan kedudukan dan peranan individu
atau kelompok dalam suatu komunitas. Boleh jadi perilaku kelompok itu
identik dengan perilaku suatu komunitas, karena komunitas itu merupakan
bagian dari masyarakat manusia secara keseluruhan.
Ketika perilaku mukallaf dijadikan subyek penelitian
terdapat beberapa hal yang patut mendapat perhatian. Pertama, perilaku
mengerahkan berbagai potensi yang dimiliki oleh pelaku. Perilaku
individual, misalnya, mengerahkan berbagai potensi yang melekat pada
dirinya, yakni: pengetahuan, kemauan, kemampuan, harapan, dan kesempatan
yang dimiliki pelakunya. Di samping itu, ditunjang oleh unsur lain
yang berada di luar dirinya, yakni dukungan sumberdaya amwal dan modal
sosial yang kondusif bagi perilaku tersebut. Demikian pula, perilaku
kolektif mengerahkan potensi yang lebih rumit dan pelik.
Kedua, perilaku senantiasa berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan hidup, baik kebutuhan primer maupun kebutuhan lainnya (dharuriyah, hajiyah, tahsiniyah)
untuk memperoleh kemaslahatan (Lihat: al-Syathibi, t.th.: II, 2-4).
Atas perihal tersebut, setiap perilaku memiliki ciri yang spesifik. Di
samping itu, suatu perilaku berhubungan dan saling menunjang dengan
perilaku lainnya, baik secara vertikal maupun horizontal. Oleh karena
itu, suatu perilaku merupakan salah satu bagian dari berbagai perilaku
dalam kehidupan manusia sebagai suatu kesatuan sistem perilaku memola.
Ketiga, perilaku bertitiktolak dari niat (kemauan) dan tujuan pelaku.
Niat merupakan titik tolak (individual) atau keputusan (kolektif),
yang didasarkan pada keyakinan yang dipandang benar. Sedangkan tujuan
merupakan arah yang hendak dicapai melalui perilaku tersebut. Hadis yang
menyatakan bahwa “amal tergantung pada niat” (innamā al-a‘māl bi al-niyāt) dan kaidah fiqh yang menyatakan bahwa “segala perkara (urusan) tergantung pada tujuannya” (al-’umūr bimaqāshidihā)
menunjukkan tentang hal itu. Niat dan tujuan itu terbimbing oleh norma
kehidupan yang dianut dalam suatu komunitas. Oleh karena itu, dalam
norma fiqh, rukun dari setiap perbuatan diawali niat.[9]
Keempat, perilaku terjadi dalam konteks kehidupan bersama. Berkenaan
dengan hal itu, setiap pelaku memiliki kesadaran tentang kedudukan dan
posisi dirinya dalam suatu komunitas. Ia memiliki kesadaran bahwa
perilakunya bermakna bagi dirinya, dan juga, bagi komunitasnya. Bahkan
dalam konteks global, setiap perilaku memiliki makna dan kontribusi bagi
kehidupan umat manusia.
Kelima, perilaku individual bercermin kepada perilaku orang lain,
baik individual maupun kolektif. Setiap pelaku akan menilai kejujuran
perilaku dirinya dan kewajaran perilakunya dalam konteks pergaulan
komunitasnya. Boleh jadi, di sini, terjadi konflik antara perilaku
individual yang spesifik dengan perilaku kolektif yang telah memola.
Perilaku spesifik itu dapat dipandang sebagai suatu deviasi apabila
menggunakan ukuran perilaku memola. Atau sebaliknya, perilaku itu
merupakan inovasi yang menjadi cikal bakal perilaku memola yang baru.
Keenam, perilaku memola berawal dari perilaku tokoh masyarakat yang
ditiru dan diteladani oleh para pengikutnya. Ketika perilaku itu telah
diterima sebagai bagian dari adat dalam suatu komunitas, maka dilakukan
sosialisasi antar generasi melalui berbagai saluran dan lingkungan yang
tersedia dan yang disediakan. Atas perihal tersebut terjadi pola
komunikasi dan interaksi dalam sosialisasi itu. Aktualisasi kepemimpinan
tokoh masyarakat itu, dapat mempercepat atau memperlambat sosialisasi
perilaku dalam komunitas yang bersangkutan.
Ketujuh, perilaku memola dari suatu komunitas dijadikan patokan
penilaian terhadap perilaku para anggota komunitas yang bersangkutan.
Boleh jadi perilaku memola tersebut dijadikan patokan penilaian terhadap
perilaku anggota komunitas lain. Bahkan, terhadap perilaku memola dari
komunitas lain itu. Hal itu terjadi karena para anggota komunitas yang
bersangkutan menganggap bahwa perilaku mereka dipandang lebih baik dan
lebih unggul ketimbang perilaku komunitas lain. Bila hal itu terjadi,
maka komunitas tersebut terjangkit etnosentrisme. Menilai perilaku
komunitas lain dengan norma dan perilakunya sendiri. Gejala yang
demikian akan mudah ditemukan dalam berbagai komunitas, termasuk dalam
komunitas Muslim dengan menggunakan fiqh sebagai patokan penilaian
ketika fanatisme madzhab telah berjangkit dalam masyarakat (Lihat:
al-Mawardi, t.th.: 67).
Ketujuh proposisi tersebut –dan dilengkapi teori perilaku (human behavioral theory)–[10]
dapat digunakan untuk memahami dan menafsirkan hubungan antar unsur
dalam MPMI dan MPMK, yakni rujukan normatif, rujukan empiris,
konsistensi perilaku, orientasi perilaku, pola interaksi, dan peranan
tokoh. Tentu saja, penggunaan proposisi dan teori itu dalam pelaksanaan
penelitian akan bersinggungan dengan data yang diperoleh dari
lapangan. Dengan demikian, proposisi dan teori tersebut akan diuji oleh
data yang ditemukan (theory testing). Bahkan, boleh jadi akan dapat dirumuskan teori baru (theory generating), yang disusun berdasarkan data yang ditemukan (grounded theory).
Penelitian tentang perilaku memola yang merujuk pada fiqh dapat
dikatakan sangat langka. Dengan perkataan lain, penelitian fiqh aktual
dan empiris belum menjadi perhatian peneliti dan akademisi. Bahkan boleh
dibilang masih “asing”. Hal itu terjadi karena penelitian fiqh selama
ini masih berorientasi pada teks sebagaimana terdokumentasi dalam
berbagai kitab fiqh dan kitab lainnya. Penelitian fiqh lebih difokuskan
pada substansi pemikiran fuqaha; atau fiqh digunakan untuk “menilai”
perilaku. Oleh karena itu, model penelitian perilaku memola yang
berhubungan dengan fiqh masih berupa rintisan. Ia masih miskin dengan
data yang diperoleh dari hasil penelitian.[11] Namun demikian, model ini memiliki potensi untuk dikembangkan karena gejala perilaku memola dapat dilihat dengan kasat mata.
Cara kerja dalam proses penyusunan tinjauan pustaka dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut:
1. Menginventarisasi judul bahan pustaka yang berhubungan dengan
fokus penelitian. Bahan tersebut berupa buku daras, antologi, laporan
penelitian dan kumpulan abstrak penelitian (yang masih langka itu),
ensiklopedi, jurnal ilmiah, tulisan lepas, dan makalah yang disajikan
dalam pertemuan ilmiah. Atau tulisan khusus tentang biografi atau
pengalaman seseorang.[12]
2. Memilih isi bahan pustaka. Hal itu dilakukan dengan cara
memilih judul pada daftar isi atau subjudul pada masing-masing bahan
pustaka. Dari daftar isi itu dapat ditentukan bahan yang akan dipelajari
dan digunakan. Sedangkan bahan dari CD atau website dapat disalin atau di-download. Bahan dari kedua sumber terakhir akan lebih mudah digunakan karena dapat diperoleh secara cepat.
3. Menelaah isi bahan pustaka. Penelaahan itu dilakukan dengan
cara memilih unsur informasi, terutama konsep dan teori tentang perilaku
dan perilaku memola.
4. Mengutip dan mencatat hasil bacaan. Pencatatan dapat dilakukan dalam lembaran atau file khusus yang disediakan untuk kepentingan penelitian.
5. Mengelompokkan hasil bacaan yang telah dikutip dan dicatat,
sesuai dengan rumusan yang tercantum dalam fokus dan pertanyaan
penelitian. Ia merupakan bahan baku untuk disajikan dalam perumusan
tinjauan pustaka, yang disusun sesuai dengan urutan pertanyaan
penelitian yang diajukan.
2. Kerangka Berpikir
Ketujuh proposisi di atas dan dilengkapi teori perilaku dari disiplin
ilmu atau bidang kajian tertentu, merupakan bahan baku bagi perumusan
kerangka berpikir yang disusun oleh peneliti. Namun demikian, untuk
menghindarkan bias teori atau bias peneliti, tinjauan pustaka dan
kerangka berpikir itu dipandang sebagai sesuatu yang bersifat tentatif.
Demikian pula unsur-unsur fokus penelitian dapat dikonstruksi ulang.
Deskripsi tentang perilaku individual maupun perilaku kolektif lebih
tepat disusun berdasarkan data yang ditemukan di lapangan, terutama
ketika penelitian diarahkan untuk membangun teori yang didasarkan kepada
data. Oleh karena itu, kerangka berpikir yang dirumuskan ditempatkan
sebagai pengarah bagi pengumpulan data lapangan.
Sekedar contoh, berikut ini dikemukakan beberapa proposisi tentang
kerangka berpikir yang digunakan dalam penelitian Cik Hasan Bisri dkk.
(1992) tentang Pola Distribusi Harta Peninggalan dalam Masyarakat Desa Cinanjung, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat,
yang menganut sistem kekerabatan atas dasar garis keturunan dari pihak
bapak dan ibu, dengan asas kewarisan individual. Penelitian itu
difokuskan pada perilaku kolektif dalam pembagian harta bawaan (banda sampakan) dan harta bersama (raja kaya).
Kerangka berpikir dalam penelitian itu terdiri atas lima konsep: (1)
fiqh kewarisan, atau hukum fara’idh; (2) norma lokal, sebagai rujukan
empiris; (3) struktur keluarga, terutama dalam sistem keluarga inti (nuclear family) dan keluarga luas (extended family);
(4) kedudukan harta dalam keluarga, yakni harta bawaan dan harta
perkawinan; dan (5) peranan pemimpin lokal, yakni pemuka agama dan kokolot (yang dituakan). Berdasarkan konsep tersebut dirumuskan kerangka berpikir sebagaimana berikut ini.
Pertama, dalam berbagai komunitas Muslim terjadi interaksi antara
norma fiqh dengan norma lokal, terutama dalam pranata kekerabatan, tanpa
mengganggu struktur masyarakat yang telah memola dan ajeg. Terjadi
adaptasi dan enkulturisasi kedua norma tersebut dalam kehidupan suatu
komunitas.
Kedua, hukum kewarisan disosialisasikan baik melalui penafsiran
terhadap sumbernya yang otentik (Qur’an dan Hadis) maupun melalui
rumusan yang disusun secara sistematis oleh fuqaha dalam berbagai kitab
fiqh (fiqh al-mawārits). Selanjutnya dijadikan rujukan normatif dalam kehidupan keluarga, baik individual maupun kolektif.
Ketiga, sistem kekerabatan dalam berbagai lingkungan komunitas Muslim
bervariasi. Sistem kekerabatan itu secara konkret tercermin dalam
struktur keluarga sebagai satuan (organisasi) terkecil dalam komunitas.
Struktur keluarga itu tercermin dalam berbagai perilaku yang memola
dalam hal penerimaan anggota (pelamaran dan perkawinan), keanggotaan
dalam keturunan, tempat tinggal,[13]
alokasi otoritas dalam keluarga (perwalian), hak dan kewajiban anggota
keluarga, prioritas dalam dan kehormatan dalam hubungan antar keluarga,
dan hak atas status dan atas prestasi yang dicapai oleh anggota
keluarga.[14]
Keempat, berkenaan dengan status dan prestasi yang dicapai oleh
anggota keluarga, terjadi penataan harta yang diperoleh sacara
individual dan kolektif. Terjadi pemilahan harta masing-masing dan harta
bersama dalam sistem kekerabatan yang dianut, serta hak-hak anggota
keluarga atas pemilikan dan pengoperalihan harta itu, termasuk dalam
kewarisan.
Kelima, manakala salah satu anggota keluarga meninggal, terjadi
pengoperalihan hak pemilikan atas harta itu. Hal itu didasarkan pada
norma-norma yang berlaku dalam keluarga, bahkan dalam satuan komunitas,
yakni fiqh mawaris atau norma lokal. Tatkala norma itu dilaksanakan
dalam perilaku aktual secara terus menerus, ia menjadi perilaku memola
dalam satuan keluarga dan satuan komunitas.
E. Langkah-langkah Penelitian
1. Metode Penelitian
Perilaku individual dan perilaku kolektif sangat sulit dibedakan
karena kedua perilaku itu saling berhubungan dan saling melengkapi.
Perilaku individual “bercermin” kepada perilaku kolektif. Sedangkan
perilaku kolektif “tercermin” dalam perilaku individual. Kedua jenis
perilaku itu hanya dapat diketahui dalam satuan masyarakat yang relatif
kecil dan terbatas, sehingga akan lebih mudah untuk dipahami dan
dideskripsikan. Oleh karena itu, pilihan metode yang paling tepat
digunakan ialah metode penelitian studi kasus atau grounded research.
Metode penelitian studi kasus digunakan dalam penelitian yang
intensif terhadap suatu satuan analisis tertentu (individu atau
komunitas), dalam hal ini perilaku memola, baik individual maupun
kolektif. Dalam perilaku tersebut terdapat beberapa unsur sebagai suatu
kesatuan terintegrasi sebagaimana digambarkan dalam MPMI dan MPMK.
Sementara itu, metode penelitian grounded digunakan bagi
penelitian, juga intensif, untuk memahami hubungan antar unsur
(kategori) dalam suatu kesatuan perilaku dalam konteks yang lebih luas.
2. Sumber Data
Sumber data adalah mukallaf sebagai mahkum ‘alayh yang melibatkan berbagai potensi dirinya sebagai pelaku. Pada diri mukallaf
tersebut tampak apa yang dilakukan. Sedangkan dibalik perilaku itu
terdapat jaringan nilai-nilai yang bersumber dari keyakinannya, yang
secara konkret berupa norma fiqh yang telah terinternalisasi dalam
dirinya. Berkenaan dengan hal itu data yang dikumpulkan ialah perilaku
yang didasarkan pada fiqh yang dijadikan rujukan.
3. Pengumpulan dan Analisis Data
Perilaku individual dan perilaku kolektif hanya dapat dibedakan,
tetapi tidak dapat dipisahkan. Keduanya berada dalam konteks sosial
suatu komunitas tertentu, atau dalam konteks interaksi antar komunitas.
Perilaku individual bercermin kepada perilaku kolektif. Sedangkan
perilaku kolektif berasal dari perilaku individual, atau meneladani
perilaku individual yang dijadikan panutan dalam suatu komunitas. Namun
demikian, untuk kepentingan penelitian kedua jenis perilaku tersebut
dipilah sesuai dengan unsur masing-masing. Berkenaan dengan hal itu,
pengumpulan data dari salah satu jenis perilaku itu dapat digunakan
sebagai data awal dari jenis perilaku lainnya.
Pengumpulan data dalam MPMI dan MPMK dalam konteks sistem sosial masa
kini digali dari sumber data lapangan, yakni dari pelaku sebagai
sumber data. Penggalian data dalam MPMI dilakukan dengan cara wawancara
mendalam dan pengamatan terlibat. Sementara itu dalam MPMK juga
menggunakan cara wawancara mendalam dan pengamatan terlibat. Secara
umum, tahapam pengumpulan dan analisis data dapat dilakukan sebagai
berikut:
1. Peneliti menentukan jenis data yang hendak dikumpulkan, yang
merujuk kepada unsur-unsur fokus penelitian sebagaimana dirinci dalam
pertanyaan penelitian (MPMI atau MPMK).
2. Peneliti menyusun jenis data lebih rinci. Misalnya, unsur
rujukan normatif dalam MPMI dapat dirinci meliputi: sumber fiqh,
pemahaman pelaku atas fiqh, proses penerimaan fiqh sebagai rujukan oleh
pelaku, validitas fiqh menurut pelaku, pertimbangan dalam menggunakan
fiqh, dan seterusnya. Rincian unsur fokus tersebut dijadikan bahan dalam
penyusunan pertanyaan penelitian.
3. Peneliti menyusun beberapa butir pertanyaan. Daftar
pertanyaan itu tersusun dalam sebuah panduan wawancara yang menjadi
pegangan peneliti untuk dikembangkan dalam pelaksanaan wawancara.
Sedangkan untuk pengamatan, peneliti sendiri menjadi instrumen
penelitian. Ia akan mengikuti dan mengalami apa yang dilakukan oleh
subyek penelitian.
4. Peneliti menghubungi pelaku (subyek) untuk menentukan
kesediaan wawancara atau pengamatan, terutama berkenaan dengan
substansi, tempat dan waktu wawancara atau pengamatan. Hal itu menjadi
penting karena keberhasilan wawancara atau pengamatan sangat tergantung
pada kesediaan pelaku untuk menyampaikan informasi, pendapat, atau
perilaku yang diamati secara rinci dan leluasa.
5. Peneliti mengumpulkan data dengan cara wawancara atau
pengamatan terlibat. Dalam wawancara ini ada beberapa hal yang patut
mendapat perhatian peneliti, yakni kemampuan peneliti untuk menyiptakan
situasi dalam mengembangkan isi wawancara atau pengamatan; menimbulkan
kepercayaan kepada subyek bahwa wawancara atau pengamatan yang
dilakukan itu bermanfaat sehingga dapat dilakukan tanpa kecurigaan; dan
memelihara hubungan baik antara peneliti dengan pelaku dengan
mengembangkan kemampuan empati, di antaranya kemampuan menempatkan diri
sebagai mitra pelaku atau warga komunitas yang bersangkutan. Dalam
pelaksanaan pengamatan diperlukan kejelian peneliti terhadap apa yang
dilihat dan didengar dari perilaku individu atau komunitas yang diamati.
6. Peneliti mencatat isi wawancara atau pengamatan. Pencatatan
isi wawancara cukup dibatasi pada hal-hal yang dipandang penting,
sedangkan isi wawancara secara lengkap direkam dengan menggunakan alat
perekam. Sementara itu, pencatatan hasil pengamatan dilakukan secara
terus menerus dari apa yang dapat dilihat dan didengar.
7. Peneliti melakukan pengecekan terhadap hasil wawancara, yang
dapat ditempuh melalui dua cara. Pertama, wawancara ulang apabila hasil
wawancara belum memadai dan ditemukan hal-hal yang belum jelas. Kedua,
dilakukan melalui pelaku berikutnya apabila kesamaan pandangan antar
pelaku tampak dengan nyata. Di samping itu, pengecekan dapat dilakukan
terhadap bahan tertulis yang dirujuk oleh pelaku. Dengan perkataan lain,
penggalian data dari pelaku dikonfirmasikan dengan hasil penggalian
data dari sumber kepustakaan yang relevan. Sedangkan pengecekan hasil
pengamatan dapat dilakukan dengan cara yang sama dengan pengecekan hasil
wawancara.
8. Peneliti menyalin hasil wawancara atau hasil pengamatan dari
ragam bahasa lisan menjadi bahasa tulisan sesuai dengan ungkapan pelaku
atau hasil pengamatan. Salinan itu dicatat secara lengkap, kemudian
dialihkan ke dalam lembaran khusus. Dalam lembaran itu diberi keterangan
tentang: nama pelaku, waktu wawancara, dan tempat wawancara; serta
pengodean berdasarkan unsur yang tercakup dalam fokus penelitian. Hal
serupa dilakukan atas hasil pengamatan.
9. Peneliti menyarikan isi catatan yang telah disalin ke dalam
bahasa tulisan menurut kosa kata dan gaya bahasa yang digunakan oleh
peneliti. Dalam proses ini diperlukan kehati-hatian, terutama hasil
wawancara atau pengamatan yang dapat disarikan. Informasi atau pendapat
disarikan sebagaimana adanya, terutama mengenai ungkapan spesifik dalam
konteks kebudayaan yang dianut oleh pelaku, rujukan yang digunakan,
dan ungkapan yang menggambarkan situasi wawancara dan situasi sosial.
Di samping itu, hal yang juga penting, menghidarkan diri untuk memberi
komentar, apalagi penilaian, terhadap hasil wawancara atau pengamatan.
10. Peneliti melakukan konfirmasi kepada pelaku terutama tentang
sari hasil wawancara atau pengamatan. Konfirmasi ini dilakukan untuk
memeroleh persetujuan pelaku; dan menghidarkan kemencengan berdasarkan
persepsi atau subyektivitas peneliti.
11. Peneliti mengklasifikasikan data sesuai dengan unsur dan
pertanyaan penelitian yang diajukan. Hal itu dilakukan melalui seleksi
terhadap sari hasil wawancara atau pengamatan yang sudah disusun. Mana
yang layak digunakan dan mana yang tidak layak digunakan. Kemudian, mana
yang dipandang pokok, dan mana yang dipandang penting dan penunjang.
12. Berdasarkan hasil klasifikasi data itu, dilakukan klasifikasi
yang lebih spesifik, yakni subkelas data sebagaimana hasil pengumpulan
data.
Patut diperhatikan, bahwa kedua cara pengumpulan data di atas
masing-masing memiliki kelebihan, di samping kekurangannya. Karena itu,
kekurangan salah satu cara dapat dilengkapi oleh kelebihan cara yang
lainnya, dengan catatan dapat mempermudah pengolahan dan analisis data.
Sebab penggunaan beberapa cara, tanpa disadari, akan terjebak pada
kesulitan dalam pengolahan dan analisis data. Di samping itu, tahapan
pengumpulan data dalam berbagai hal kemungkinan mengalami perubahan,
terutama wawancara dan pengamatan, karena hal itu sangat tergantung pada
situasi di lapangan. Boleh jadi wawancara dengan pelaku dilaksanakan
lebih dari satu kali apabila data yang diperoleh belum dapat digunakan
untuk menjawab pertanyaan penelitian secara rinci. Selain itu, dalam
penelitian yang menggunakan paradigma kualitatif pengumpulan data dan
analisis data dapat dilakukan secara simultan dan terus menerus.
Tahapan pengumpulan data sebagaimana diuraikan di atas, sebagian
telah memasuki bagian awal dari analisis data, yakni ketika dilakukan
klasifikasi data. Berkenaan dengan hal itu, pada tahap analisis data
dilakukan dengan melibatkan tahapan penelitian yang telah dilaksanakan.
Secara umum, analisis data dilakukan dengan cara menghubungkan apa yang
diperoleh dari suatu proses kerja sejak awal. Ia ditujukan untuk
memahami dan menjelaskan data yang terkumpul dari sumber data untuk
menjawab pertanyaan dalam fokus dengan menggunakan kerangka berpikir.
Atas perihal tersebut, analisis data kualitatif dilakukan sebagaimana
berikut:
1. Data yang telah terkumpul diedit dan diseleksi sesuai dengan
ragam pengumpulan data (wawancara dan pengamatan terlibat), ragam
sumber (informan/responden dan subyek pengamatan), dan pendekatan yang
digunakan (kerangka berpikir) untuk menjawab pertanyaan penelitian yang
terkandung dalam fokus penelitian. Oleh karena itu, terjadi reduksi
data sehingga diperoleh data halus. Dalam proses itu, dilakukan
konfirmasi dengan sumber data.
2. Berdasarkah hasil kerja pada tahapan pertama, peneliti
melakukan klasifikasi data: kelas data dan subkelas data. Hal itu
dilakukan dengan merujuk pada pertanyaan penelitian dan unsur-unsur yang
terkandung dalam fokus penelitian.
3. Data yang telah diklasifikasikan diberi kode. Kemudian antar
kelas data itu disusun dan dihubungkan dalam konteks MPMI atau MPMK.
Hubungan antar kelas data tersebut divisualisasikan dalam tabel silang
(matriks), atau diagram. Dengan cara demikian, berbagai hubungan antar
data dapat dideskripsikan secara verbal sehingga diperoleh suatu
kesatuan data yang menggambarkan dan menjelaskan tentang perilaku
memola, baik individual maupun kolektif.
4. Selanjutnya peneliti melakukan penafsiran data berdasarkan
salah satu, atau lebih, pendekatan yang digunakan, yakni: pendekatan
antropologis atau pendekatan sosiologis. Ketepatan pendekatan yang
digunakan merujuk kepada kerangka berpikir yang kemudian dijadikan
kerangka analitis.
5. Berdasarkan hasil kerja pada tahapan keempat akan diperoleh
jawaban atas pertanyaan penelitian. Berdasarkan hal itu, peneliti dapat
menarik simpulan internal, yang di dalamnya terkandung data baru atau
temuan penelitian. Dalam proses itu dilakukan konfirmasi dengan sumber
data dan sumber lainnya.
6. Peneliti menghubungkan apa yang ditemukan dan disimpulkan
dalam penelitian ini dengan hasil penelitian tentang fokus serupa, yang
pernah dilakukan dalam konteks yang sama atau berbeda sebagaimana dapat
ditemukan dalam tinjauan pustaka. Berdasarkan hal itu, dapat ditarik
simpulan makro dari penelitian tersebut. Dengan cara demikian, akan
tampak makna dan posisi penelitian dalam gugus penelitian yang tercakup
dalam model penelitian fiqh dan perilaku memola.
Keenam langkah tersebut belum memberikan gambaran tentang analisis
data berdasarkan pengalaman penelitian yang pernah dilakukan. Oleh
karena itu, diperlukan bantuan dari sumber lain, di antaranya tulisan
Patton (1972), Bogdan dan Biklen (1982), dan Burhan Bungin (2003). Namun
demikian, ketiga sumber itu tidak secara langsung berhubungan dengan
perilaku memola. Masing-masing berisi tentang metode evaluasi,
penelitian pendidikan, dan analisis data, dengan menggunakan paradigma
penelitian kualitatif. Selanjutnya dapat dilakukan adaptasi dan
modifikasi yang merujuk pada dan bersesuaian dengan fokus penelitian.
Daftar Pustaka
‘Abd al-‘Ati, Hammudah. 1984. Keluarga Muslim (The Family Structure in Islam), Diterjemahkan oleh Anshari Thayib), Cetakan Pertama. Surabaya: Bina Ilmu.
‘Abd al-Wahhāb Khallāf. 1972. ‘Ilm Ushūl al-Fiqh. Jakarta: al-Majlis al-A‘la al-Indūnīsī li al-Da‘wah al-Islāmiyah.
al-Syāthibi, Abi Ishāq Ibrāhim bin Mūsa. t.th. al-Muwāfaqāt fī Ushūl al-Ahkām, Juz II. t.t: Dār al-Fikr.
Amir Syarifuddin. 1984. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Cetakan Pertama Jakarta: Gunung Agung.
Bambang Qomaruzaman. 2002. Genealogi Nalar Jilbab (Studi terhadap Hubungan antara Jilbab dengan Pemahaman Keagamaan), Laporan Penelitian. Bandung: Lembaga Penelitian IAIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Bogdan, Robert dan Taylor, Steven J. 1993. Kualitatif: Dasar-dasar Penelitian (Diterjemahkan oleh A. Khozin Afandi), Cetakan Pertama. Surabaya: Usaha Nasional.
Burhan Bungin (Editor). 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi, Cetakan Pertama. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Cik Hasan Bisri. dkk. 1413 H./1992 M. Sumun: Pola Distribusi Harta Peninggalan dalam Masyarakat Desa Cinanjung, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Laporan Penelitian. Bandung: Balai Penelitian IAIN Sunan Gunung Djati Bandung.
____________. 2003. Model Penelitian Fiqh: Paradigma Penelitian Fiqh dan Fiqh Penelitian, Cetakan Pertama. Jakarta: Prenada Media.
____________. 2004. Pilar-pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial, Cetakan Pertama. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Coser, Lewis A. et al.. 1983. Introduction to Sociology, Second Etition. San Diego: Harcourt Brace Jovanovich.
Denzin, Norman K & Lincoln, Yvonna S. (Editors). 1994. Hanbook of Qualitative Research. California: Sage Publications, Inc.
Hooker, M. B. 1978. Adat Law in Modern Indonesia. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
Horikhoshi, Hiroko. 1987. Kyai dan Perubahan Sosial
(Diterjemahkan oleh Umar Basalim dan Andi Muarly Sunrawa), Cetakan
Pertama. Jakarta: Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat.
Krech, David et al. 1962. Individual in Society: A Textbook of Social Psychology, International Student Edition. Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha Ltd.
Majalah Berita Mingguan Tempo, Edisi 8-14 Mei 2006.
Muhammad Jawad Mughniyah. 1417/1996. Fiqih Lima Madzhab (al-Fiqh ‘alā al-Madzāhib al-Khamsah).
Murdock, George Peter. 1965. Social Structure. New York: The Free Press.
Muslich Maruzi. 1981. Persamaan Hak dan Perimbangan Jasa: Studi
Kasus tentang Pola Pewarisan Tanah di Kalangan Masyarakat Bugis Desa
Ompo, Kabupaten Dati II Soppeng. Ujung Pandang: Pusat Latihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial.
Neuman, W. Lawrence. 2000. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches, Fourth Edition. Boston: Allyn & Bacon.
Nurbowo dan Apiko Joko M. 2003. Indahnya Poligami: Pengalaman Keluarga Sakinah Puspo Wardoyo, Cetakan Pertama. Jakarta: Senayan Abadi Publishing.
Nur Farhanah. 2010. “Bapak sebagai Motivator, Mamah Pendorong Spiritual”, dalam Ahmadi Thaha dkk. Antara Jerman dan Mekkah: Biografi Prof. Dr. Ir. A. M. Saefuddin, Cetakan Pertama, hlm. 245-250. Jakarta: PPA Consultans.
Otje Salman. 1993. Kesadaran Hukum Masyarakat terhadap Hukum Waris, Cetakan Pertama. Bandung: Alumni.
Patton, Michael Quinn. 1989. Qualitative Evaluation Methods. 10th Printing: London: Sage Publication.
Remmling, Gunter W., and Campbell, Robert B. 1976. Basic Sociology: An Introduction to the Study of Society. New Jersey: Littlefield, Adams & Co.
Schaefer, Richard T. 1983. Sociology, Third Edition. New York: Mc-Graw-Hill, In.
Spradley, James P. 1980. Participant Observation. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Yin, Robert K. 1987. Case Study Research: Design and Methods, Sixth Printing. Baverly Hills, London, New Delhi: Sage Publications.
Zanden, James W. Vander. 1988. The Social Experience: An Introduction to Sociology, 1st Edition. New York: Random House.
[1]
Penelitian Bambang Qomaruzzaman tentang genealogi jilbab di Desa Tugu
Selatan, Kabupaten Bogor (2002), menunjukkan tentang beberapa hal.
Pertama, terdapat tiga jenis petutup kepala (kerudung) yang dikenakan
oleh Muslimah, yakni jilbab sopan, jilbab seksi, dan ciput. Jilbab sopan
(etis) dikenakan oleh Muslimah berusia muda yang relatif memahami
ajaran agama (fiqh) secara memadai dan berasal dari keluarga yang cukup
mapan. Jilbab seksi (estetis) dikenakan oleh Muslimah berusia muda yang
relatif kurang memahami ajaran agama (fiqh) dan berasal dari keluarga
miskin. Sedangkan ciput dikenakan oleh Muslimah lanjut usia dari
berbagai kalangan sebagai kebiasaan. Kedua, fungsi pengenaan jilbab bagi
masing-masing jenis juga beragam. Jilbab sopan dikenakan untuk
memperoleh berkah dan mahabbah kepada Rasul Muhammad. Dengan berkah ini
hijab kehidupan akan terbuka sehingga memeroleh kemudahan hidup. Jilbab
seksi disertai celana jins, dikenakan sebagai produk mode yang dapat
dijadikan modal untuk meraih keuntungan ekonomi (komersial). Jilbab
dijadikan daya tarik bagi wisatawan dari Timur Tengah, terutama dari
Saudi Arabia pada musim tertentu. Dengan cara demikian, si pengena
jilbab dapat berhubungan dengan wisatawan itu, bahkan dapat
melangsungkan perkawinan untuk jangka waktu tertentu, yang dalam
lingkungan masyarakat setempat dikenal sebagai “kawin kontrak” atau
“kawin mut‘ah”. Ciput dikenakan untuk memelihara identitas diri sebagai
wanita Muslimah berusia lanjut dan untuk mempertahankan pola perilaku
yang telah diwariskan secara turun temurun, dari suatu generasi kepada
generasi berikutnya.
[2]
Menurut penuturan Nur Farhanah (2010: 247-248), yang terkena larangan
berjilbab di SMA Negeri 1 Bogor pada tahun 1988, “genap enam bulan
masalah jilbab terus berlanjut, sampai akhirnya ujian tengah semester
nyaris tidak dapat diikuti, karena memang kami tidak diperbolehkan
ikut. Namun masih ada sebagian guru yang mendukung kami dan
memperbolehkan ujian, semua kami lalui diselingi sidang pengadilan.
Akhirnya setelah beberapa kali sidang, pihak sekolah menyatakan damai,
dan kami bisa bersekolah kembali, dan ujian susulan bisa kami ikuti”.
[3]
Sejak tanggal 22 September 2004 di Perancis berlaku undang-undang yang
melarang pengenaan atribut keagamaan di sekolah negeri, termasuk
jilbab, lambang salib, dan kippa (kopiah) orang Yahudi. Hal
itu diberlakukan sebagai pelaksanaan sekularisasi (pemisahan antara
agama dengan negara secara tegas), sebagaimana tercantum dalam
konstitusi tahun 1905.
[4]
Di Kabupaten Solok, Perda Nomor 6 Tahun 2002 tentang Wajib Berbusana
Muslim; Di Kabupaten Bulukumba Perda Nomor 4 Tahun 2003 tentang Busana
Muslim; dan Di Kabupaten Enrekang, Perda Nomor 6 Tahun 2005 tentang
Busana Muslim (Lihat: Tempo, Edisi 8-14 Mei 2006: 29-31).
[5]
Norma fiqh (hukum agama) dalam konteks peraturan perundang-undangan
dapat dipahami dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Selanjutnya bunyi
ayat (2) adalah: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut Peraturan
perundang-undangan yang berlaku”. Semenara itu, dalam ketentuan Pasal 2
KHI, perkawinan diartikan sebagai: “akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.
[6]
Shalat idul fitri dan idul adha boleh jadi telah mengalami pergeseran
dalam pandangan maupun pengamalan, dari sunat menjadi kewajiban
kolektif. Fenomena ini dapat diamati dan dibanding dari jumlah jamaah
dalam pelaksanaan shalat jum‘at dan shalat ‘idayn tersebut.
[7] Dalam wacana sosiologi (Schaefer, 1983: 568-579; Coser et al., 1983: 493-499; dan Zanden, 1988: 566-574) dibahas tentang konsep perilaku kolektif yang digandengkan dengan gerakan sosial (collective behavior and social movements).
Perilaku kolektif itu digunakan untuk mendeskripsikan perilaku
kerumunan, fashion, rumor, kepanikan, dan kenakalan yang bersifat massal
dan sepintas. Sedangkan yang dimaksud dengan perilaku kolektif dalam
tulisan ini adalah perilaku individual atau sejumlah individu yang
berinteraksi secara ajeg dan kohesif dalam suatu satuan komunitas,
merujuk pada fiqh yang dipandang sebagai norma kehidupan yang
bersangkutan.
[8]
Pada dasarnya seseorang (mahasiswi atau perempuan pada umumnya)
memiliki kedudukan yang beragam dalam berbagai komunitas. Ia merupakan
warga komunitas daerah asal (etnis tertentu) tatkala bergaul dalam
lingkungan keluarganya. Ia juga merupakan warga komunitas permukiman di
sekitar kampus, yakni di perkotaan yang bersifat majemuk, ketika
bergaul dengan warga komunitas itu. Ia juga merupakan warga komunitas
akademis (civitas academica) ketika menunaikan
tugas-tugas perkuliahan terutama dalam lingkungan kampus. Ia juga warga
negara ketika memenuhi dan menunaikan hak dan kewajibannya. Ia juga
warga komunitas Muslim dunia, sebagaimana dikemukakan dengan contoh
pengenaan jilbab yang juga dikenakan oleh Muslimah Iran. Pada
masing-masing komunitas itu memiliki norma sosial yang spesifik, yang
dijadikan rujukan perilaku oleh mahasiswi tersebut.
[9] Sebagai bahan perbandingan: Krech et al. (1962: 68-102) mendiskusikan motivation dalam kajian psikologi sosial. Dalam kajian ini dibahas tentang kehendak (wants) dan tujuan (goals) aksi individual dalam konteks interpersonal behavior events. Selain itu, didiskusikan tentang pengorganisasian perubahan kehendak dan tujuan tersebut.
[10]
Sebagai bahan masukan, dalam wacana sosiologi dan psikologi sosial
terdapat beberapa teori yang dapat digunakan untuk memahami perilaku, di
antaranya, teori pertukaran sosial (social exchange theory), teori interaksi simbolis (symbolic interactionism theory), dan teori bercermin diri (looking glass self theory).
Masing-masing teori itu mencakup beberapa konsep yang saling
berhubungan; serta asumsi yang digunakan. Untuk menggunakan teori
tersebut diperlukan penyesuaian dengan konsep dasar yang menjadi unsur
dalam fokus penelitian, yakni dalam MPMI dan MPMK.
[11] Berhubung hasil penelitian perilaku memola sangat langka, tulisan T. W. Juynboll (1893) tentang Pelaksanaan Ajaran Syafi‘i di Indonesia; J. Prins (1948) tentang Hukum Adat dan Fiqh Islam di Indonesia; Muslich Maruzi (1981) tentang Persamaan
Hak dan Perimbangan Jasa: Studi Kasus tentang Pola Pewarisan Tanah di
Kalangan Masyarakat Bugis Desa Ompo, Kabupaten Soppeng; Amir Syarifuddin (1984) tentang Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau; Otje Salman (1992) tentang Kesadaran Hukum Masyarakat terhadap Hukum Waris; dan Cik Hasan Bisri dkk. (1992) tentang Sumun: Pola Distribusi Harta Peninggalan dalam Masyarakat Desa Cinanjung, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat,
dapat dijadikan bahan kajian pustaka. Hal itu dapat dilakukan dengan
memokuskan pada perilaku memola, bukan pada norma perilaku.
[12] Tulisan Nurbowo dan Apiko Joko M., Indahnya Poligami: Pengalaman Keluarga Sakinah Puspo Wardoyo (2003), merupakan salah satu bahan yang sangat penting bagi penelitian perilaku memola tentang kilir, penunaian nafkah, dan pengasuhan anak dari pengalaman nyandung dalam keluarga Puspo Wardoyo, atau keluarga lainnya. Istilah nyandung lebih tepat digunakan daripada istilah lain: polygamy (seharusnya: polygyny [poligini]), atau ta‘addud al-zawjah, atau beristeri lebih dari seorang (dalam peraturan perundang-undangan). Istilah Nyandung atau ngawayuh,
dalam kosa kata bahasa Sunda –yang maskulinis– telah
terinstitusionalisasi dalam berbagai komunitas. Berkenaan dengan hal
itu, nyandung, dapat digunakan sebagai istilah (simbol) tentang gagasan (dan institusi) beristeri banyak (polygyny) dalam berbagai komunitas di Indonesia maupun di dunia.
[13] Dalam penelitian Horikoshi (1987) menunjukkan, bahwa pola tempat tinggal dalam keluarga orientasi isteri (matrilokal) memiliki signifikansi dengan struktur keluarga dan pola sosialisasi, khususnya dalam masyarakat perdesaan.
[14]
Penelitian Murdock (1965), dalam bidang antropologi sosial,
menggambarkan mengenai struktur keluarga dari sekitar 250 masyarakat
etnis. Ia, dewasa ini, menjadi rujukan dalam penelitian serupa. ‘Abd
al-‘Ati (1984), misalnya, menggunakan hasil penelitian Murdock ketika
menjelaskan struktur keluarga muslim (The Family Structure in Islam),
dengan menggunakan pendekatan gabungan: normatif moralistis dan
antropologis-sosiologis. Dalam penelitian ‘Abd al-‘Ati itu, tampak titik
temu antara fiqh dengan antropologi dan sosiologi keluarga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar