Kaidah
Pokok Kedua:
الْيَقِيْنُ لاَ يُزَالُ بِالشَّكِّ
“Keyakinan tidak dapat dihilangkan oleh keraguan”
Makna Kaidah
Kaidah
ini mengandung pengertian bahwa segala sesuatu yang diketahui secara pasti atau
yakin, baik mengenai keberadaannya maupun ketiadaannya, maka keyakinan tersebut
tidak akan berubah hanya dengan adanya keragu-raguan, sebab sesuatu yang
dibangun berdasarkan keyakinan tidak dapat dirubah kecuali dengan keyakinan
yang serupa.
Secara
etimologi, kata al-yaqīn bermakna: “suatu pengetahuan dan menghilangkan
keraguan, serta penegasan atas sesuatu, juga merupakan antonim dari kata al-syak
(keraguan) sebagaimana ilmu atau pengetahuan merupakan antonim dari kata al-jahal
(kebodohan)”.[1]
Adapun
definisi terminologi kata al-yaqīn sebagaimana yang disebutkan oleh
al-Jurjānī,[2] yaitu: “suatu i’tiqād
atau keyakinan terhadap sesuatu bahwasanya sesuatu tersebut begini,
disertai keyakinan bahwa sesuatu itu tidak akan terjadi kecuali seperti ini,
dan hal itu sesuai dengan realitas, serta tidak memungkinkan untuk dirubah atau
dihilangkan”. Atau dalam definisinya yang lain: “ketentraman hati terhadap
hakikat atau substansi dari sesuatu”.[3]
Adapun
al-syak pada dasarnya merupakan antonim dari al-yaqīn, yaitu
“keragu-raguan di antara dua perkara, baik dengan pertimbangan yang sama kuat,
atau dengan menguatkan salah satu dari yang lainnya”, sebagaimana dalam firman
Allah SWT yang berbunyi:
“Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang
Kami turunkan kepadamu …”. (QS. Yūnus (10):94).[4]
Menurut
al-Jurjānī: “al-syak
adalah sikap ragu-ragu dalam
menyingkapi dua hal yang bertolak belakang tanpa memilih salah satu diantara
keduanya, atau, al-syak
adalah dua sisi yang
sama/seimbang, atau sikap abstain terhadap dua hal di mana posisi hati tidak
berpihak pada keduanya, sebab jika menguatkan salah satunya namun masih ada
kecendrungan pada yang lain, maka itulah al-ẓann (perkiraan),
dan jika tidak ada lagi kecenderungan pada yang lain, maka itulah gālibu al-ẓann (perkiraan yang kuat) dan hal tersebut sederajat
dengan al-yaqīn”.[5]
Dasar Pengambilan (Dalil) Kaidah
Kaidah ini dibangun di atas nuşūş al-syar’ī, di antaranya ḥadīś Nabi saw, antara lain:
شُكِيَ اِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم الرَّجُلُ
يُخَيَّلُ اِلَيْهِ أَنَّهُ يَجِدُ الشَّيْءَ فِيْ الصَّلاَةِ,
قَالَ : لاَ يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا
أَوْ يَجِدَ رِيْحًا
“Diadukan
kepada Nabi saw bahwa seorang lelaki menyangka ada sesuatu yang keluar dalam
waktu şalat, Nabi saw bersabda: “Janganlah ia keluar dari şalatnya sampai ia
mendengan suara (kentut) atau mencium baunya”[7]
2.
Ḥadīś Abū
Hurairah ra. berkata: bersabda Nabi saw:
اِذَا
وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ
شَيْءٌ أَمْ لاَ ,
فَلاَ يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى
يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيْحًا
“Apabila
seseorang merasakan sesuatu dalam perutnya, kemudian ia ragu apakah sesuatu itu
telah keluar dari perutnya atau belum, maka hendaknya orang tersebut tidak
boleh keluar dari masjid hingga ia mendengar suara (kentut) atau mencium
baunya”.[8]
Kedua Ḥadīś di atas menunjukan pentingnya kedudukan al-yaqīn dalam beribadah, dan bahwasanya al-yaqīn tersebut tidak dapat berubah atau
digantikan hanya dengan adanya sebuah keraguan. Seseorang yang sementara
melakukan şalat pada dasarnya berada dalam kondisi telah berwuḍū’, kemudian
muncul was-was dari syaiţan dengan sebuah keragu-raguan apakah telah keluar
sesuatu dari dirinya atau tidak agar ia membatalkan şalatnya, maka Nabi saw
memberikan petunjuk yang jelas bagi siapa yang dihinggapi perasaan tersebut,
bahwa keraguan itu tidak dapat dijadikan landasan hukum, dengan demikian ia
tetap berada dalam kondisi suci, kecuali adanya keyakinan yaitu dengan
mendengan bunyi suara (kentut) atau mencium baunya.
3.
Ḥadīś ‘Adī ibn
Ḥātim al-Ṭā’ī ra.[9]
ketika beliau bertanya kepada Rasūlullāh saw tentang
hukum-hukum yang berkaitan
dengan berburu, maka di
antara yang dikatakan Nabi saw kepadanya adalah: وَ اِنْ رَمَيْتَ الصَّيْدَ فَوَجَدْتَهُ بَعْدَ
يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ لَيْسَ بِهِ اِلاَّ أَثَرُ سَهْمِكَ فَكُلْ“... Dan jika engkau memanah hewan buruan, kemudian engkau
mendapatinya setelah satu atau dua hari, tidak terdapat sesuatu pada tubuh
hewan itu kecuali bekas panahmu, maka makanlah ...”.[10]
4.
Dan pada Ḥadīś
yang diriwayatkan oleh Imām Muslim dalam kitab şaḥīḥ-nya,
Nabi saw bersabda:
وَ اِنْ رَمَيْتَ سَهْمَكَ فَاذْكُرِ اسْمَ اللهِ , فَاِنْ غَابَ عَنْكَ
يَوْمًا فَلَمْ تَجِدْ فِيْهِ إِلاَّ أَثَرُ سَهْمِكَ فَكُلْ اِنْ شِئْتَ
“... Dan jika
engkau melempar panahmu maka ucapkanlah nama Allah, jika hewan buruanmu hilang
selama sehari kemudian kamu mendapatkannya, dan engkau tidak mendapatkan
sesuatu pada tubuhnya kecuali bekas panahmu, maka makanlah jika engkau
menghendakinya ...”[11]
Kedua Ḥadīś di atas merupakan petunjuk Nabi saw dalam berburu, yaitu
dengan menyuruh melakukan sebab yang jelas dalam perburuan atau untuk membunuh
hewan buruan, di antara sebab kematian hewan buruan tersebut yaitu dengan anak
panah, sehingga jika terdapat bekas anak panah pada tubuh hewan buruan yang
telah mati dan tidak terdapat bekas lain selain tanda anak panah, maka kita
berkeyakinan bahwa hewan tersebut mati disebabkan anak panah. Namun, jika
sekiranya ada tanda lain selain bekas anak panah si pemburu, misalnya: gigitan
binatang buas, atau tertindih pohon tumbang, dan lain sebagainya, yang
menyebabkan adanya kemungkinan lain yang menjadi penyebab kematian hewan buruan
tersebut, maka tidak diperbolehkan untuk memakannya.
5.
Ḥadīś ‘Abdullāh
ibn Mas’ūd ra. bahwasanya pada suatu ketika Rasūlullāh saw lupa dalam şalat
beliau bersama mereka (para Sahabat), dan sepertinya beliau saw menambah rakaat
şalatnya, maka dalam penggalan Ḥadīś tersebut Nabi saw bersabda:
... اِذَا
شَكَّ أَحَدُكُمْ فِيْ صَلاَتِهِ فَلْيَتَحَرَّ الصَّوَابَ فَلْيُتِمَّ عَلَيْهِ
ثُمَّ لِيُسَلِّمَ ثُمَّ يَسْجُدَ سَجْدَتَيْنِ
“...
Apabila salah seorang di antara kalian ragu dalam şalatnya, hendaknya ia
memilih yang jumlah benar dan menyempurnahkannya, kemudian ia salam, dan
bersujud dua kali”.[12]
6.
Dan dalam Ḥadīś
lain yang diriwayatkan oleh Abū Sa’īd al-Khudrī ra.[13]
beliau berkata, Nabi saw
bersabda:
اِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِيْ صَلاَتِهِ فَلَمْ يَدْرِ
كَمْ صَلَى , ثَلاَثًا أَمْ أَرْبَعًا , فَلْيَطْرَحْ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى
مَا اسْتَيْقَنَ ...
“Apabila
salah seorang di antara kalian ragu dalam şalatnya, hingga ia tidak mengetahui
berapa jumlah rakaatnya, tiga atau empat, maka hendaknya ia meninggalkan yang
meragukan dan melaksanakan apa yang ia yakini ...”.[14]
7.
Dan dalam Ḥadīś
yang lain Nabi saw bersabda: دَعْ مَا يَرِيْبُكَ اِلَى مَالاَ يَرِيْبُكَ “Tinggalkanlah apa yang meragukanmu, kepada yang tidak
meragukanmu”.[15]
Kedua Ḥadīś sebelumnya merupakan
anjuran dari Nabi saw bagi ummatnya untuk meninggalkan keragu-raguan dalam
şalat dan melakukan apa yang ia yakini, sehingga apabila ia yakin telah
melakukan tiga rakaat dalam şalatnya kemudian ia ragu apakah telah melakukan
rakaat yang keempat atau belum, maka hendaknya ia berpegangan pada apa yang ia
yakini yaitu telah melakukan tiga rakaat kemudian menambah lagi rakaat yang
keempat (yang diragukannya tersebut). Adapun Ḥadīś yang terakhir bersifat umum,
yaitu berupa anjuran dari Nabi saw untuk meninggalkan semua bentuk
keragu-raguan dalam bentuk apapun dan melandasi setiap amal perbuatan kita
dengan suatu keyakinan.
Di antara kaidah-kaidah cabang dalam
kaidah ini
Kaidah ini (al-yaqīnu lā yuzālu bi al-syak)
merupakan salah satu dari lima kaidah pokok yang utama, darinya terpancar
banyak kaidah-kaidah cabang (furū’) yang meliputi berbagai dasar
aplikasi wacana fiqh dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama. Di antara
kaidah-kaidah furū’ tersebut antara lain sebagai berikut:
1.
Kaidah
yang berbunyi: الأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ ”Hukum asal pada
dasarnya berada pada kondisi semula”
Kaidah ini menjelaskan tentang
keadaan dan hukum sesuatu yang dihukumi sama pada kondisi semula jika sekiranya
tidak terdapat sesuatu apapun yang mengalihkannya dari hukum asalnya tersebut.
Kaidah ini juga pada dasarnya semakna dengan apa yang dikatakan oleh para
ulama’ uşūl al-fiqh dengan istilah al-istişḥāb atau istisḥāb
al-ḥāl, yang sekaligus bagaikan ringkasan atau kesimpulan dari kaidah ini.
Maksudnya adalah bahwa hukum asal tetap berlaku dan menjadi landasan hukum,
tetap sebagaimana keadaan sebelumnya, hingga adanya dalil yang datang untuk
mengubah status hukum tersebut. Dalil yang dimaksud tersebut harus merupakan
dalil yang bersumber dari hukum asal sebelumnya. Dengan demikian, hukum asal
dapat berubah jika adanya dalil baru yang śābit dan dibangun di atas
sebuah keyakinan, apabila sekedar dengan adanya sebuah keraguan, maka hukum
asal tetap berlaku, karena keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan sebuah
keraguan.
2.
Kaidah
yang berbunyi: الأَصْلُ فِيْ الأَشْيَاءِ الاِبَاحَةُ “Hukum asal segala sesuatu adalah dibolehkan”
Maksud dari kaidah ini, bahwa
hukum asal yang berlaku atas segala sesuatu (selain perkara ibadah) adalah
”dibolehkan” sebelum adanya nuşūş al-syara’. Atau dengan kata lain,
sesuatu tersebut baik yang berupa benda-benda atau perbuatan tertentu, boleh
untuk dikerjakan atau dimanfaatkan, dan tidak ada sanksi apapun bagi siapa saja
yang mengerjakan atau meninggalkannya, hal ini selama tidak terdapat dalil syar’ī
yang menunjukkan adanya perintah atau pelarangan dalam mengerjakan atau
meninggalkan sesuatu tersebut.
Dan
dari sekian banyak dalil-dalil syar’ī, dapat disimpulkan bahwa hukum
asal mengenai semua yang telah diciptakan Allah SWT bagi para hambaNya adalah mubāḥ,
boleh bagi hambanya untuk mengerjakan dan memanfaatkannya dalam bentuk
apapun selama hal itu baik dan merupakan suatu kebaikan. Olehnya itu, Allah SWT
telah mencela siapa yang mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah SWT
baginya dari hal-hal yang baik (seperti hasil-hasil bumi dan hewan) selama
tidak ada dalil yang mengharamkannya.
Beberapa
contoh aplikasinya
Barangsiapa yang merasa yakin bahwa ia berada dalam kondisi suci, kemudian
muncul keragu-raguan bahwa ia telah ber-ḥadaś, maka ia tetap berada
dalam kondisi suci (ţahārah). Atau sebaliknya, ia yakin berada dalam
kondisi ber-ḥadaś, kemudian muncul keraguan apakah ia berada dalam
kondisi suci atau tidak, maka ia tetap dihukumi berada dalam kondisi ḥadaś.[1]
Barangsiapa yang berihram dengan
niat ’umrah, kemudian haji, lalu terbetik keraguan apakah ia telah berihram dengan
niat haji sebelum melakukan ţawāf sehingga menjadi sah, atau setelah ţawāf sehingga
menjadi batal, maka hajinya tetap dianggap benar.[2] al-Mawardī berkata: ”sebab pada dasarnya
boleh berihram pada saat haji hingga ia yakin bahwa ihramnya itu setelah ţawāf”.
Hal tersebut mirip dengan kasus orang yang menikah dan berihram namun ia
tidak mengetahui, apakah ia berihram sebelum atau sesudah menikah ?. Imām
al-Syāfi’ī berpendapat bahwa nikahnya sah, sebab pada dasarnya ia tidak berihram.
Beliau juga berpendapat ketika seseorang mewakilkan pernikahannya, dan ia tidak
mengetahui apakah akad nikah itu terjadi setelah ia berihram atau
sebelumnya. al-Syāfi’ī menganggapnya
sah pula.[3]
Seseorang membeli air, berselang beberapa lama, ia mengatakan bahwa air
tersebut bernajis, sehingga ia ingin mengembalikannya, maka dalam masalah ini,
yang menjadi dasar hukum adalah perkataan si penjual, sebab pada asalnya air
tersebut dijual dalam kondisi suci.[4]
Imām al-Syāfi’ī berkata: أَنَّ مَا ثَبَتَ بِيَقِيْنٍ لاَ يُرْتَفَعُ إِلاَّ
بِيَقِيْنٍ “Sesungguhnya apa yang ditetapkan
dengan keyakinan tidak dapat terangkat kecuali dengan keyakinan”. Misalnya,
seseorang yang ragu dalam meninggalkan perkara yang diperintahkan dalam şalat
sehingga ia melakukan sujud sahwi, atau ia ragu telah melakukan perkara yang dilarang dalam şalat
sehingga ia tidak perlu lagi untuk melakukan sujud sahwi, hal demikian
disebabkan pada dasarnya ia tidak mengerjakan kedua perkara tersebut.[5]
Seseorang yang ragu, apakah ia telah meninggalkan salah satu rukun ketika
wuḍū’ atau şalat, atau ketika sedang mengerjakan ibadah lainnya, maka wajib
baginya untuk mengulanginya. Seandainya ia mengetahuinya dan ragu mengenai
kejelasan bagian mana yang terlupakan, maka hendaknya ia berpatokan pada
kondisi terburuk, jika kemungkinan yang terlupakan itu adalah niat, maka wajib
baginya mengulangi dari awal, dan jika ia meninggalkan sujud namun ragu apakah
itu sujud pada rakaat terakhir atau selainnya, maka wajib baginya untuk
mengulangi satu rakaat, sebab ada kemungkinan hal itu terjadi pada rakaat yang
lain, dengan demikian ia dapat menyempurnakan rakaat setelahnya dan
meninggalkan yang lainnya. [6]
Jika terjadi perselisihan tentang adanya kerusakan pada barang dagangan
dari si pembeli, dan hal itu diingkari oleh si penjual, maka yang menjadi dasar
patokan adalah perkataan si penjual, sebab pada dasarnya barang tersebut tidak
mengalami kerusakan selama di tangan si penjual, dan telah terjadi transaksi
sebelumnya yang menegaskannya., sebagaimana menurut pendapat al-Rāfi’ī dan
al-Nawawī.[7]
Demikian pula aplikasi
yang didasari kaidah cabang
الأّصْلُ فِيْ كُلِّ حَادِثٍ تَقْدِيْرُهُ بِأَقْرَبِ
زَمَنٍ “Asal dari segala kejadian adalah
didasarkan pada waktu kejadian yang terdekat”. Misalnya,
seseorang melihat ada bekas mani pada celananya, sementara ia tidak ingat kalau
ia bermimpi basah ketika tidur, waka wajib baginya untuk mandi janabah, dan
menurut Imām al-Syāfi’ī, wajib baginya untuk mengulangi semua şalatnya yang
dikerjakaannya sejak bangun dari tidur tersebut. Contoh lain, seseorang yang berwuḍū’ di sumur untuk
melakukan şalat, beberapa hari kemudian, ia mendapati bangkai tikus di dalam
sumur tersebut, maka ia tidak wajib untuk mengulangi şalatnya kecuali kalau
yakin bahwasanya ia melakukan şalat dalam kondisi bernajis karena air tersebut.
Contoh lainnya, sesorang memukul perut ibu hamil dan menyebabkan janinnya lahir
dalam kondisi selamat, setelah beberapa waktu bayi itu bertahan tanpa ada
masalah, tetapi kemudian si bayi meninggal, maka si pemukul tidak dihukumi
dengan ḍamān (denda), sebab yang nampak, bahwasanya bayi itu meninggal
karena adanya sebab yang lain.[8]
[1]Ibid.,
h. 115.
[2]Ibid.,
h. 117.
[3]Ibid.,
h. 118.
[4]Ibid.,
h. 119.
[5]Ibid.,
h. 123.
[6]Ibid.,
h. 124.
[7]Ibid.,
h. 128.
[8]Ibid.,
h. 130.
[1]Abū al-Faḍl Jamāluddīn Muḥammad ibn Mukram
ibn Manẓūr al-Afrīqī al-Mişrī, Juz. XIII., op.
cit., h. 457.; Lihat juga: Muḥammad
ibn Abī Bakar ibn ‘Abdil Qādir al-Rāzī, Mukhtār
al-Şiḥāḥ, (t. Cet; Beirūt: Maktabah Lubnān, 1986 H.), h. 310.; Majduddīn
Muḥammad ibn Ya’qūb al-Fairūz Ābādī, al-Qāmūs
al-Muḥīd, (Cet. III; Beirūt: Mu’assah al-Risālah, 1407 H.), h. 1601.
[2]‘Ali ibn Muḥammad ibn ‘Ali, yang lebih
dikenal dengan nama al-Syarīf al-Jurjānī, seorang filosof handal, dan salah
seorang ulama di Jazīrah Arab, lahir pada tahun 740 H. di kota Tākū, kemudian
beliau mengajar di Syīrāz dan akhirnya wafat di kota tersebut pada tahun 816 H.
Lihat:Muşţafā ibn ‘Abdillah
al-Qasţanţīnī, Kafsu al-Ẓunūn ‘An Asāmī
al-Kutub wa al-Funūn, Juz. I., (t. Cet; Makkah al-Mukarramah:
al-Maktabah al-Faişaliyyah, t. th.), h. 422.
[3]Al-Jurjānī,
op. cit., h. 259.
[5] al-Jurjānī, op.
cit., h. 128.
[6]‘Abdullah
ibn Zaid ibn ‘āşim ibn Ka’ab ibn ‘Amr ibn ‘Auf ibn Mabżūl ibn ‘Umar ibn Ganam
ibn al-Najjār al-Anşārī al-Madanī, salah seorang Sahabat Nabi saw yang juga
ikut serta dalam peperangan uhud dan peperangan lainnya, beliaulah yang telah
membunuh sang nabi palsu Musailamah al-Każżāb dengan pedangnya dan tombaknya,
beliau terbunuh pada tahun 63 H. Lihat: Syamsuddīn ibn Muḥammad ibn Aḥmad ibn ‘Uśmān al-Żahabī, Juz. II., op. cit.,
h. 377.
[7]HR.
Muttafaqun ‘alaihi, dengan lafaz Imām Muslim yang diriwayatkannya dalam kitab al-Ḥaiḍ
(1/276). Dan diriwayatkan oleh al-Bukhārī dalam kitab al-Wuḍū’ (1/237).
[8]Diriwayatkan
oleh Imām Muslim (1/276).
[9]‘Adī
ibn Ḥātim ibn ‘Abdillāh ibn Sa’ad ibn al-Ḥasyraj ibn Imri’ al-Qīs ibn ‘Adī
al-Ṭā’ī, salah seorang Sahabat Nabi saw, Ayahnya bernama Ḥātim al-Ṭā’ī salah
seorang contoh teladan dalam kedermawanan adan kemuliaan, bertemu dengan Nabi
saw tahun 7 H. kemudian beliau masuk Islam, sempat ikut perang şiffīn bersama
‘Ali ibn Abī Ṭālib ra. beliau wafat di Qirqīsīyā’ tahun 68 H. Lihat: Syamsuddīn ibn Muḥammad ibn Aḥmad ibn ‘Uśmān al-Żahabī, Juz. III., op. cit.,
h. 557.
[12]Ḥadīś Muttafaqun ‘Alaihi, dengan lafaz
al-Bukhārī. diriwayatkan oleh al-Bukharī dalam kitab al-şalāh (1/503),
dan Muslim dalam kitab al-Masājid wa Mawā’ḍi’u al-şalāh (1/400).
[13]Sa’īd
ibn Mālik ibn Sinān ibn Ṡa’labah ibn ‘Ubaid ibn al-Abjar in ‘Auf ibn al-Ḥāriś
ibn al-Khazraj al-Anşārī al-Khazrajī, salah seorang Sahabat Nai saw, dianggap
masih kecil oleh Nabi saw pada peperangan Uhud sehingga beliau tidak
diikutsertakan dan ternyata ayahanda beliau wafat di Uhud, kemudian aktif dalam
berbagai peperangan setelah uhud, beliau di antara sahabat yang banyak
meriwayatkan Ḥadīś dari Nabi saw, terdapat perpedaan pendapan tentang tahun
kematian beliau, di antaranya pada tahun 64 H. atau tahun 73 H. Lihat: Syamsuddīn ibn Muḥammad ibn Aḥmad ibn
‘Uśmān al-Żahabī, op. cit., h. 168.
[14]Diriwayatkan
oleh Imām Muslim dalam kitab al-Masājid wa Mawā’ḍi’u al-Ṣalāh (1/400).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar