PENDAHULUAN
Di kalangan umat islam sampai sekarang terdapat tiga aliran tentang
hubungan antara islam dan ketatanegaraan. Aliran pertama berpendirian
bahwa islam bukanlah semata-mata agama dalam pengertian barat, yakni
hanya menyangkut hubungan antara manusia dan Tuhan, sebaliknya islam
adalah satu agama yang sempurna dan yang lengkap dengan pengaturan bagi
segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara.
Aliran kedua berpendirian bahwa islam adalah agama dalam pengertian
barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut
aliran ini Nabi Muhammad SAW hanyalah seorang rasul biasa seperti halnya
rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali
kepada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur,
dan Nabi tidak pernah dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai satu
negara. Aliran ketiga menolak pendapat bahwa islam adalah suatu agama
yang serba lengkap dan bahwa dalam islam terdapat sistem ketatanegaraan.
Dengan makalah ini pembaca diajak untuk melakukan kajian ulang tentang
hubungan antara islam dan tata negara atau politik.
II. PEMBAHASAN
Pemikiran Politik Islam Pada Zaman Klasik, Pertengahan dan Kontemporer
A. 1. Mawardi
Nama lengkap ilmuwan islam ini adalah Abu Hasan Ali Bin Habib al-Mawardi
al-Bashri, yang hidup antara tahun 364 H atau 975 M dan 450 H atau 1059
M. Dia seorang pemikir islam yang terkenal, tokoh terkemuka mazhab
Syafi’i, dan pejabat tinggi yang besar pengaruhya dalam pemerintahan
Abbasyiah. Setelah berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain sebagai
hakim, akhirnya dia kembali dan menetap di Baghdad, dan mendapat
kedudukan yang terhormat pada pemerintahan Khalifah Qadir.
Situasi politik di dunia islam pada masa Mawardi, yakni sejak menjelang
akhir abad X sampai pertengahan abad XI M, tidak lebih baik dari pada
masa Farabi, dan bahkan lebih parah. Semula Baghdad merupakan pusat
peradaban islam dan poros negara islam. Tetapi kemudian lambat laun
kedudukan khalifah mulai melemah. Pada waktu itu khalifah di Baghdad
hanya merupakan kepala negara yang resmi dengan kekuasaan formal saja,
sedangkan yang mempunyai kekuasaan sebenarnya dan pelaksana pemerintahan
adalah pejabat-pejabat tinggi dan panglima-panglima yang berkebangsaan
Turki atau Persia serta penguasa-penguasa wilayah.
2. Asal Mula Tumbuhnya Negara
Sebagaimana Plato, Aristoteles, dan Ibnu Abi Rabi’, Mawardi juga
berpendapat bahwa manusia itu adalah makhluk sosial, tetapi Mawardi
memasukkan unsur agama dalam teorinya. Menurut Mawardi adalah Allah yang
menciptakan kita supaya tidak sanggup memenuhi kebutuhan kita
orang-seorang. Mawardi juga berpendapat bahwa perbedaan bakat, pembawaan
dan kemampuan antara manusialah yang merupakan pendorong bagi mereka
untuk saling membantu. Kelemahan manusia, yang tidak memiliki kemampuan
untuk memenuhi semua kebutuhannya sendiri, semua itu mendorong manusia
untuk bersatu dan saling membantu, dan mendirikan negara. Dengan
perkataan lain sebab lahirnya negara adalah hajat umat manusia untuk
mencukupi kebutuhan mereka bersama. Menurut Mawardi, dari segi politik
negara itu memerlukan enam sendi utama :
(1) Agama yang dihayati
(2) Penguasa yang berwibawa
(3) Keadilan yang menyeluruh
(4) Keamanan yang merata
(5) Kesuburan tanah yang berkesinambungan
(6) Harapan kelangsungan hidup
3. Sistem Pemerintahan
Situasi politik pada zamannya Mawardi mendasarkan teori politiknya atas
kenyataan yang ada dan kemudian secara realistik menawarkan saran-saran
perbaikan atau reformasi, misalnya dengan mempertahankan status quo. Dia
menekankan bahwa khalifah harus tetap berbangsa Arab dari suku Quraisy,
bahwa wazir tafwidh atau pembantu utama khalifah dalam penyusunan
kebijaksanaan harus berbangsa Arab, dan perlu ditegaskan persyaratan
bagi pengisian jabatan kepala negara serta jabatan pembantu-pembantunya
yang penting.
4. Imamah (Kepemimpinan)
Yang dimaksud Mawardi dengan imam adalah khalifah, raja, sultan atau
kepala negara. Menurutnya, Allah mengangkat untuk umatnya seorang
pemimpin sebagai pengganti (khalifah) nabi, untuk mengamankan agama,
dengan disertai mandat politik. Dengan demikian seorang imam di satu
pihak adalah pemimpin agama, dan di lain pihak pemimpin politik.
5. Cara Pemilihan atau Seleksi Imam
Menurut Mawardi, untuk pemilihan atau seleksi diperlukan dua hal.
Pertama, Ahl al-Ikhtiar atau mereka yang berwenang untuk memilih imam
bagi umat.Pertama, Ahl al-Ikhtiar atau mereka yang berwenang untuk
memilih imam bagi umat. Mereka harus memenuhi tiga syarat : (1) Memiliki
sikap adil; (2) Memiliki ilmu pengetahuan; (3) Memiliki wawasan yang
luas dan kearifan. Kedua, Ahl al-Imamah, atau mereka yang berhak mengisi
jabatan imam. Mereka harus memiliki tujuh syarat : (1) Sikap adil
dengan segala persyaratannya; (2) Ilmu pengetahuan yang memadai untuk
ijtihad; (3) Sehat pendengaran, penglihatan dan lisannya; (4) Utuh
anggota-anggota tubuhnya; (5) Wawasan yang memadai; (6) Keberanian yang
memadai; dan (7) Keturunan Quraisy.
Kemudian terdapat dua cara pengangkatan imam. Pertama, dengan cara
pemilihan oleh Ahl al-‘Aqdi wa al-Halli. Kedua, penunjukan atau wasiat
oleh imam sebelumnya. Terdapat perbedaan pendapat antara para ulam
tentang jumlah peserta dalam pemilihan yaitu :
- Sekelompok ulama berpendirian bahwa pemilihan hanya sah kalau dilakukan oleh “Ahl al-‘Aqdi wa al-Halli”..
- Kelompok ulama kedua berpendirian bahwa pemilihan hanya sah kalau paling kurang dilakukan oleh lima orang, dan seorang diantara mereka diangkat sebagai imam dengan persetujuan empat orang yang lain.
- Kelompok ulama ketiga (ulama kufah) berpendirian bahwa pemilihan itu sah kalau dilakukan oleh tiga orang, apabila seorang diantara mereka diangkat sebagai imam dengan persetujuan orang lain.
- Kelompok ulama keempat berpendirian bahwa pemilihan imam sah dilakukan oleh seorang.
6. Kehati-hatian Mawardi
Dari uraian tentang banyaknya cara pengangkatan imam, baik yang melalui
pemilihan maupun penunjukan Mawardi hanya mengemukakan berbagai pendapat
tanpa memberikan preferensi atau pilihannya. Sikap hati-hati Mawardi
itu dapat juga diartikan bahwa baik dari sumber-sumber awal islam maupun
fakta-fakta sejarah dia memang tidak menemukan suatu sistem yang baku
tentang pengangkatan kepala negara.
7. Pembebasan Imam dari Jabatannya
Dari enam pemikir politik islam yang ditampilkan untuk mewakili Zaman
Klasik dan Pertengahan kiranya hanya Mawardi yang dengan jelas
mengemukakan sebagai khalifah atau kepala negara kalau ternyata sudah
menyimpang dari keadilan, kehilangan panca indera atau organ-organ tubuh
yang lain, atau kehilangan kebebasan bertindak karena telah dikuasai
oleh orang-orang dekatnya atau tertawan.
8. Macam Wazir
Menurut Mawardi terdapat dua macam wazir : wazir tafwidh dan wazir
tanfidz. Wazir tafwidh adalah pembantu utama kepala negara dengan
kewenangan atau kuasa. Persyaratan untuk jabatan wazir tafwidh sama
dengan persyaratan untuk jabatan imam dikurangi syarat keturunan
Quraisy, dan cukup berkebangsaan arab saja, ditambah kemampuan untuk
mewakili imam dalam mengelola urusan-urusan perang dan perpajakan.
Perbedaan antara imam atau kepala negara dan wazir tafwidh adalah :
(1) Wazir harus selalu melaporkan kepada imam tentang kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah diambilnya dan pelaksanaannya
(2) Imam berhak meneliti kebijaksanaan dan pekerjaan wazir
Dalam pada itu terdapat tiga hal yang berhak dilakukan oleh imam, dan
yang tidak dapat dilaksanakan oleh wazir tafwidh : (1) Hanya imam yang
berhak menunjuk putra mahkota atau calon pengganti; (2) Hanya imam yang
berhak meminta kepada rakyatnya untuk dibebaskan dari imamah; (3) Imam
berhak memecat pejabat yang diangkat oleh wazir tafwidh.
9. Teori Kontrak Sosial
Suatu hal yang sangat menarik dari gagasan ketatanegaraan Mawardi ialah
hubungan antara Ahl al-‘Aqdi wa al-Halli atau Ahl al-Ikhtiar dan imam
atau kepala negara itu merupakan hubungan antara dua pihak peserta
kontrak sosial atau perjanjian atas dasar sukarela. Terdapat empat
pemikir politik barat yang mengemukakan teori kontrak sosial. Yang
pertama adalah Hubert Languet, Ilmuwan perancis, yang hidup antara tahun
1519 dan tahun 1581 M; yang kedua Thomas Hobbes, Ilmuwan Inggris yang
hidup antara tahun 1588 dan tahun 1679 M; yang ketiga John Locke, juga
Ilmuwan Inggris yang hidup antara tahun 1632 dan tahun 1704 M; dan yang
keempat adalah Jean Jaques Rousseu, ilmuwan Perancis yang hidup antara
tahun 1712 dan tahun 1778 M.1
B. 1. Ghazali
Abu Hamid al-Ghazali atau Imam Ghazali, seorang teolog terkemuka, ahli
hukum, pemikir yang orijinal, ahli tasawuf terkenal dan yang mendapat
julukan Hujjah al-Islam. Karya tulisnya yang terbesar Ihya Ulum al-Din
(Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama) yang terdiri dari enam jilid.
Ghazali dilahirkan di kota Thus, yang termasuk wilayah Khurasan, pada
tahun 450 H atau 1058 M, dan wafat juga di Thus pada tahun 505 H atau
1111 M.
Pada zaman Ghazali kekuasaan khalifah hampir semata-mata terbatas pada
bidang spiritual, sedang kekuasaan politik yang sebenarnya berada pada
penguasa-penguasa lokal apakah mereka itu bergelar sultan, raja atau
amir. Pada waktu yang sama berkembang berbagai mazhab atau aliran, baik
dalam bidang akidah seperti Asy’ariyah dan Mu’tazilah serta Syi’ah,
maupun dalam bidang hukum seperti Maliki, Hanafi, Syar’i, Hambali dan
sebagainya. Pada zaman Ghazali di Afrika Utara sebelah barat telah
berdiri dua kerajaan : Murabithin yang dibangun oleh Abdullah bin Yasin
dan Yusuf bin Tasyfin, dan yang wilayahnya meliputi Aljazair, Marakisy,
Afrika Barat dan Andalusia; dan Muwahidin yang dibangun oleh Muhammad
bin Tumarat, yang wilayahnya meliputi seluruh daerah Maghrib Arab,
Afrika Barat dan Andalusia.
2. Asal Mula Timbulnya Negara
Tentang asal timbulnya negara, sebagaimana ilmuwan-ilmuwan politik
sebelumnya, Ghazali juga berpendapat bahwa manusia itu makhluk sosial.
Ia tidak dapat hidup sendirian, yang disebabkan oleh dua faktor :
pertama, kebutuhan akan keturunan demi kelangsungan hidup umat manusia;
dan kedua, saling membantu dalam penyediaan bahan makanan, pakaian dan
pendidikan anak.
3. Kebutuhan Akan Sejumlah Industri atau Profesi
Menurut Ghazali, untuk pengadaan kebutuhan hidup manusia tersebut
diperlukan pembagian tugas (division of labour) antara para anggota
masyarakat, dan sejumlah industri atau profesi inti bagi tegaknya negara
: pertanian untuk pengadaan makanan; pemintalan untuk pengadaan
pakaian; pembangunan untuk pengadaan tempat tinggal; dan politik untuk
penyusunan dan pengelolaan negara. Profesi politik, menurut Ghazali,
meliputi empat subprofesi :
(a) Subprofesi pengukuran tanah
(b) Subprofesi ketentaraan
(c) Subprofesi kehakiman
(d) Subprofesi ilmu hukum
4. Teori tentang Pimpinan Negara
Menurut Ghazali, tujuan manusia dalam bermasyarakat dan bernegara tidak
semata-mata untuk memenuhi kebutuhan material dan duniawi. Bagi Ghazali
dunia adalah ladang untuk menentukan perbekalan bagi kehidupan di
akhirat nanti. Menurut Ghazali kewajiban mengangkat seorang kepala
negara atau pemimpin negara tidak berdasarkan rasio, tetapi berdasarkan
keharusan agama. Oleh karenanya Ghazali meminjam suatu ungkapan bahwa
agama dan raja ibarat dua anak kembar; agama adalah suatu fondasi
sedangkan sultan adalah penjaganya.
5.Sumber Kekuasaan dan Kewenangan Kepala Negara
Menurut Ghazali, Allah telah memilih dari antara cucu-cucu Adam dua
kelompok pilihan : pertama, para nabi yang bertugas menjelaskan kepada
hamba-hamba Allah tentang jalan yang benar dan yang akan membawa
kebahagiaan dunia serta akhirat; dan kedua, para raja dengan tugas
menjaga agar hamba-hamba Tuhan tidak saling bermusuhan dan saling
melanggar hak yang lain. Menurut Ghazali terdapat sepuluh syarat yang
harus dipenuhi oleh seseorang untuk dapat diangkat sebagai kepala
negara, sultan atau raja : (1) dewasa atau aqil baligh; (2) otak yang
sehat; (3) merdeka dan bukan budak; (4) laki-laki; (5) keturunan
Quraisy; (6) pendengaran dan penglihatan yang sehat; (7) kekuasaan yang
nyata; (8) hidayah; (9) ilmu pengetahuan; (10) wara’ (tidak berbuat
hal-hal yang terlarang dan tercela).2
C. 1. Ibnu Taimiyah
Nama lengkap Ibnu Taimiyah adalah Abu Abbas Ahmad bin Abd al-Halim bin
Abd al-Salam Abdullah bin Mohammad bin Taimiyah. Dialahir di Haran dekat
Damaskus, Suria, pada tahun 661 H atau 1263 M. Ibnu Taimiyah hidup pada
masa dunia islam mengalami puncak disintegrasi politik, dislokasi
sosial dan dekadensi akhlak serta moral.
2. Pemikiran Politik yang Bersendikan Agama
Karya tulis Ibnu Taimiyah dalam bidang politik adalah buku yang berjudul
Al-Siyasah al-Syar’iyah fi islah al-Ra’i wa al-Ra’iyah (Politik yang
Berdasarkan Syari’ah bagi Perbai¬kan Penggembala dan Gembala). Buku
Al-Siyasah al-Syar’iyah terdiri dari dua bagian utama. Bagian pertama
menguraikan tentang penyampaian amanat kepada yang berhak, khususnya
tentang penunjukan dan pengangkatan para pejabat negara. Bagian kedua
membahas tentang pelaksanaan hukum-hukum pidana hak Tuhan & hak
sesama manusia.
3. Penyampaian Amanat Kepada yang Berhak
Suatu hal yang cukup menarik perhatian bahwa dalam bukunya itu Ibnu
Taimiyah sedikit sekali berbicara tentang kepala negara, dan sama sekali
tidak menyinggung tentang cara dan mekanisme pengangkatan kepala
negara. Dalam hal pemerintahan bagi Ibnu Taimiyah, perkataan amanat
dalam surat Al-Nisaa itu mempunyai dua arti : Pertama, yang diartikan
amanat adalah kepentingan-kepentingan rakyat yang merupakan tanggung
jawab kepala negara untuk mengelolanya. Kedua, perkataan amanat pada
ayat tersebut berarti pula kewenangan memerintah yang dimiliki oleh
kepala negara.
4. Pelaksanaan Hukum
Tampaknya yang dimaksudkan pelaksanaan hukum oleh Ibnu Taimiyah itu
terutama pelaksanaan hukum pidana, yang terdiri dari dua macam. Yang
pertama hukum pidana yang merupakan hak Allah, dan yang kedua hukum
pidana yang merupakan hak manusia. Hukum yang merupakan hak Allah adalah
hukuman bagi penyamun, pencuri, pelaku zina, dan sebagainya. Sedangkan
hukum pidana yang merupakan hak manusia, seperti pembunuhan dan
penganiayaan.
5. Musyawarah dan Pemerintahan
Ibnu Taimiyah mengakhiri bukunya dengan uraian tentang pentingnya
peranan musyawarah dan tentang perlunya ada pemerintahan. Menurutnya,
sebagaimana yang diperintahkan Allah dalam Al-Quran : 159 surat
Ali-Imran, seorang kepala negara tidak boleh meninggalkan musyawarah.
Ibnu Taimiyah juga berpendapat bahwa keberadaan kepala negara itu
diperlukan tidak hanya sekedar menjamin keselamatan jiwa dan hak milik
rakyat, tetapi juga untuk menjamin berlakunya segala perintah dan hukum
Allah.3
D. 1. Sayid Jamal Al-Din Al-Afghani
Afghani dilahirkan dalam tahun 1838. Dia dilahirkan di As’adabad, dekat
Kanar, wilayah Kabul, Afghanistan, dari satu keluarga penganut Mazhab
Hanafi dan keturunan Husein bin Ali bin Abi Thalib. Tetapi ada yang
mengatakan bahwa dia lahir di As’adabad dekat Hamadan, Persia; dengan
maksud untuk menyelamatkan diri dari kesewenangan penguasa Persia dia
mengaku sebagai rakyat Afghanistan. Di Kabul dia mempelajari segala
cabang ilmu keislaman, di samping filsafat dan ilmu eksakta. Kemudian
dia pergi ke India dan tinggal disana selama satu tahun sebelum
menunaikan ibadah haji pada tahun 1857. Sekembalinya di Afghanistan dia
memasuki dinas pemerintahan Amir Dost Muhammad Khan, Afghani diangkat
sebagai menteri. Dan kiranya waktu itulah awal keterlibatan langsung
Afghani dalam gerakan internasional anti kolonialisme / imperialisme
Barat dan despotisme Timur.
Pada tahun 1871 dia tiba di Istambul. Di Istambul dia diangkat menjadi
anggota Majelis Pendidikan, dan mulai diundang berceramah di Aya Sofia
serta masjid Ahmadiyah. Popularitas Afghani mengundang kecemburuan Hasan
Fahmi, Syaikh al-Islam, dan mufti itu berhasil memfitnah Afghani dengan
materi ceramahnya di muka sejumlah mahasiswa dan cendekiawan di Dar
al-Funun tentang nilai seni, yang menurut Hasan Fahmi merupakan
pandangan yang revolusioner dan berbahaya. Selain itu Hasan Fahmi juga
menuduh Afghani dalam ceramahnya dia mengatakan bahwa nubuwah (kenabian)
termasuk kategori seni. Pada tahun 1883 Afghani menerbitkan majalah
berkala dalam bahasa Arab Al-Urwah al-Wustqa bersama Muhammad Abduh.
Pada tahun 1886, atas undngan Syah Nasirudin dia pergi ke Teheran, dan
di percaya menduduki satu jabatan penting dalam pemerintahan. Kehadiran
Afghani di London kali terakhir tidak lama. Di London dia menerima
undangan tertulis dari Sultan Abdul Hamid untuk datang dan tinggal
menetap di Istambul sebagai tamu sultan. Dia wafat di Istambul pada
bulan Maret tahun 1897, karena kanker yang berawal dari dagunya.4
E. 1. Muhammad Abduh
Abduh dilahirkan dari keluarga petani pada tahun 1849 di Mesir Hilir.
Setelah belajar membaca dan menghafal Al-Quran di kampungnya, pada tahun
1826 dia di masukkan ke sekolah agama di Thantha, tetapi tampaknya
kurang menarik. Karena itu ia keluar dari sekolah dan baru mau kembali
belajar atas bujukan adik kakeknya. Pada tahun 1865 dia kembali ke
Thantha, tetapi tahun berikutnya dia meninggalkan Thantha dan belajar di
Al-Azhar, Kairo. Dalam tahun 1872, pada usia 23 tahun Abduh berkenalan
dengan Afghani. Kemudian Abduh menjadi pengikut Afghani yang setia.
Pengaruh Afghanilah yang mendorong Abduh untuk belajar ilmu jurnalistik,
yang terus dipraktekannya. Pada tahun 1880, setelah terjadi pergantian
pemerintahan di Mesir, Abduh diangkat untuk memimpin majalah resmi
Al-Waqa’i al-Misriyah, yang dibawah pimpinannya berubah menjadi corong
Partai Liberal. Dari Mesir semula dia pergi ke Beirut, Libanon, kemudian
pada tahun 1884 menggabungkan diri dengan Afghani di paris. Bersama
Afghani dia membentuk organisasi Al-Urwah al-Wutsqa, dan menerbitkan
majalah yang senama dengan organisasi itu. Buku tulis Afghani berisi
sanggahan terhadap paham atheisme, dari bahasa persia ke bahasa arab.
Pada tahun 1889 Abduh diangkat menjadi hakim pada Pengadilan untuk
Pribumi, dan dua tahun kemudian diangkat sebagai penasihat pada Mahkamah
Banding. Pada tahun1899 Abduh diangkat sebagai mufti negara, dan
jabatan ini didudukinya sampai dia wafat pada tahun 1905.5
DAFTAR PUSTAKA
- H.Munawir Sjadzali, M.A.1993.Islam dan Tata Negara.Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).
1. H. Munawir Sjadzali, M.A, Islam dan Tata Negara edisi kelima (Jakarta : penerbit Universitas Indonesia, (UI-Press) 1993)
2. Ibid Halaman, 70-78
3.Ibid Halaman, 79-8
4. Ibid Halaman,117-120
5. Ibid, halaman ,120-121
Download dalam Bentuk DOC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar