Kaidah
Pokok Pertama:
الأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا
“Hukum setiap perkara tergantung kepada maksudnya”
Makna Kaidah
Makna yang terkandung dalam kaidah ini,
bahwasanya penetapan hukum terhadap suatu perkara tergantung pada maksud yang
menjadi tujuan perkara tersebut.
Dalam penjelasan lain, bahwasanya setiap
perbuatan dan tingkah laku mukallaf (hamba) baik berupa perkataan maupun
perbuatannya, disikapi dengan berbeda-beda sesuai dengan maksud seseorang dalam
melakukan perbuatan tersebut, jika hal itu merupakan cerminan ketaatannya
kepada Allah SWT dan Rasūlullāh saw maka ia akan mendapat ganjaran pahala atas
perbuatan tersebut, namun jika sebaliknya dengan tujuan bermaksiat kepada Allah
SWT dan Rasūlullāh saw maka ia akan mendapat hukuman yang setimpal.[1]
Kata ”al-umūr”
merupakan bentuk jamak dari kata ”al-amr” yang artinya ”al-fi’il”
(perbuatan) yang meliputi perkataan dengan lisan maupun perbuatan anggota
tubuh. Implementasi kaidah di atas sebagai contohnya, apabila seorang hamba
meninggalkan perkara yang diharamkan dengan maksud mengikuti adanya pelarangan
yang terdapat dalam syara’, maka ia akan mendapatkan ganjaran pahala
akan perbuatannya itu, namun jika sekiranya perbuatannya tersebut hanya sekedar
kebiasaan pribadinya, meninggalkan perbuatan itu karena dirinya tidak
menyukainya, tanpa adanya landasan syar’ī bahwasanya perkara tersebut
dilarang dalam syari’at, maka perbuatan hamba tersebut dihukumi sebagai suatu
kebiasaan saja, sehingga ia tidak mendapatkan ganjaran pahala terhadap apa yang
dilakukannya.[2]
Sebagai contoh, dalam al-Qur’ān, Allah SWT telah
mengharamkan memakan bangkai kecuali dalam kondisi darurat, hal itu disebutkan
dalam firman-Nya yang berbunyi: ”Diharamkan bagimu (memakan) bangkai ...”. (QS. al-Mā’idah (5):3).[3]
Ayat di atas
merupakan dalil adanya pelarangan untuk memakan bangkai kecuali dalam kondisi
darurat, jika seorang hamba tidak memakan bangkai dengan maksud mentaati dalil
di atas, maka ia mendapat pahala atas perbuatan tersebut, namun jika ia tidak
memakan bangkai karena sekedar tidak menyukainya, maka tidak ada pahala
baginya.
Dasar Pengambilan (Dalil) Kaidah
Kaidah ini diambil dari nuşūş al-syara’ (al-Qur’ān
dan Sunnah al-Nabawiyah), di
antaranya firman Allah SWT yang berbunyi: ”Barangsiapa
yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah),
kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman
(dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk
kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar”. (QS. al-Naḥl (16):106).[4]
Berkata al-Ţabarī: ”Para ulama bersepakat
bahwasanya, siapa yang dipaksa untuk kafir sehingga ia takut akan dibunuh
karena hal tersebut, maka tidak ada dosa baginya jika ia kafir namun hatinya
tetap tenang dalam keimanan, dan ia tidak boleh dipisahkan dengan istrinya, dan
ia tidak dihukumi sebagaimana orang kafir...”[5]
Allah SWT berfirman pada beberapa ayat lain,
yang berbunyi: ”dan tidak ada
dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilāf padanya, tetapi (yang ada dosanya)
apa yang disengaja oleh hatimu”. (QS. al-Aḥzab (33):5).[6]
"Ya Tuhan
kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah”. (QS. al-Baqarah (2):286).[7]
”Allah tidak
menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah),
tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk
bersumpah) oleh hatimu ...”. (QS. al-Baqarah
(2):225).[8]
Ayat-ayat di atas memberikan penjelasan tentang
Maha Penyayang dan Maha Adil Allah SWT yang tidak menghukumi umat manusia
kecuali terhadap apa yang ia niatkan dalam hatinya, terhadap apa yang dilakukan
hamba baik berupa perkataan maupun perbuatan yang nampak. Dan juga tidak
menghukumi atas perkataan atau perbuatan yang dilakukan tanpa sadar, seperti
dalam keadaan lupa, dan kesalahan yang tidak disengaja, dan juga tidak
menghukumi hambanya dengan apa yang terbetik dalam hatinya, kecuali jika
terealisasi dalam perkataan dan perbuatannya.
Adapun dalil dari Sunnah, maka sumber utama pengambilan
kaidah ini adalah Sabda Nabi saw yang diriwayatkan oleh ’Umar ibn al-Khaţţāb ra. Yang berbunyi:
إِنَّمَا
الأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ, وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَانَوَى, فَمَنْ كَانَتْ
هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ,
وَمَنْ كَانَتْ
هِجْرَتُهُ إِلَى الدُّنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا
فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَاهَاجَرَ إِلَيْهِ
”Sesungguhnya semua amal perbuatan
tergantung kepada niatnya, dan setiap orang tergantung pada apa yang ia
niatkan, siapa yang (niat) hijrahnya kepada (ridha) Allah dan RasulNya, maka hijrahnya
itu kepada Allah dan RasulNya, dan siapa yang (niat) hijrahnya kepada kemewahan
dunia atau kepada wanita yang ingin dikawini, maka hijrahnya akan kembali
kepada apa yang ia niatkan (ketika berhijrah)”.[9]
Ḥadīś di atas menjelaskan urgensi niat dalam
setiap amalan dan perbuatan, baik yang bersifat fi’liyah maupun qauliyah.
Bahwa sesungguhnya setiap amalan yang dikerjakan oleh seseorang, apakah
termasuk perbuatan yang baik maupun yang buruk tergantung kepada apa yang ia
niatkan, apabila ia niatkan dengan sesuatu yang baik maka ia akan mendapatkan
apa yang ia niatkan tersebut, dan sebaliknya. Dengan demikian, Ḥadīś tersebut
merupakan dasar hukum yang jelas tentang pentingnya kedudukan niat dalam setiap
perbuatan.
Pada Ḥadīś di atas pula dapat ditarik kesimpulan
bahwasanya niat terbagi atas dua bagian, niat yang bersifat maḥmūdah (terpuji)
dan niat yang bersifat mażmūmah (tercela), demikian pula ada amalan atau
perbuatan yang bersifat maḥmūdah dan ada yang bersifat mażmūmah, olehnya
itu, pada bagian akhir Ḥadīś tersebut, Nabi saw memberikan contoh niat yang maḥmūdah
(terpuji) dengan berhijrah yang bertujuan sebagai suatu bentuk ketaatan
kepada Allah SWT dan Nabi saw, dan contoh niat yang mażmūmah (tercela)
dengan berhijrah yang bertujuan untuk mendapatkan kemewahan duniawi berupa
harta atau wanita yang ingin dinikahi.
Lafaz niat yang berkembang di kalangan ulamā’,
dapat dirincikan dalam dua pengertian. Pertama, pengertian niat adalah
untuk membedakan antara amalan yang satu dengan yang lainnya, ibadah yang satu
dengan yang lainnya. Kedua, sebagai pembeda antara keikhlasan dalam
beramal dan amalan yang dilandasi riyā’ dan sum’ah (untuk diliat
dan dipuji orang lain). Dengan demikian, kaidah tersebut (al-umūru bi
maqāşidihā) berindikasi bahwa setiap amalan dihukumi sesuai niat pelakunya,
sebagai pembeda antara amalan yang ditujukan hanya kepada Allah dan amalan yang
dikerjakan karena riyā’ dan sum’ah, dan juga untuk menjelaskan
kedudukan hukum tiap ibadah yang dikerjakan, apakah ibadah tersebut termasuk
hukumnya mubāḥ, ḥarām, wājib, atau mandūb, serta sebagai pembeda
antara amalan yang merupakan suatu ibadah atau hanya sekedar adat kebiasaan
belaka.[10]
Adapun mengenai letak atau tempat berniat, maka
sebagian besar ulama’ berpendapat, tempat berniat adalah di dalam hati, sebab
hakikat dari semua maksud hamba tertanam dalam hatinya, dan niat adalah
perbuatan hati. Berkata al-Baiḍāwī:
”niat adalah sesuatu yang terpancar dan terbetik dalam hati atas sesuatu yang
dilihatnya sesuai untuk mendapatkan manfaat atau mencegah mudarat, saat ini
atau masa yang akan datang, dan syari’at mengkhususkannya dengan suatu
keinginan untuk melakukan amalan dengan tujuan mendapatkan keridaan Allah SWT
dan mengamalkan hukum-hukum-Nya.[11]
Pada hasilnya, niat tidak cukup dengan mengucapkannya dengan lisan tanpa adanya
penetapan dalam hati, dan di sisi lain, tidak disyaratkan menguatkan niat yang
telah ada dalam hati dengan pengucapan secara lisan.
Dengan demikian, apabila terdapat perbedaan
antara lisan dan hati, maka yang menjadi patokan adalah apa yang terbetik di
dalam hati. Jika sekiranya seseorang berniat dalam hati untuk berwuḍū’ namun
yang terucap di lisannya adalah untuk mendinginkan badan, maka wuḍū’nya tetap
sah, dan tidak untuk sebaliknya. Permisalan yang lain, jika seseorang berniat
untuk melaksanakan şalat ẓuhur namun di lisannya şalat ’aşar, atau di hatinya
amalan haji dan di lisannya ’umrah, atau sebaliknya, maka yang sah adalah apa yang
diniatkan dalam hatinya tersebut. Demikian pula, jika seseorang tanpa sengaja
mengucapkan sumpah tanpa bermaksud dengan hal itu, maka ia tidak diberikan
hukuman atas perihal tersebut dan tidak diwajibkan untuk membayar denda (kaffārah).
Demikian pula pendapat Imām Syāfi’ī mengenai orang yang mengucapkan kata ţalāq,
ẓihār, atau ’itāq (pembebasan budak), yang tidak disertai dengan
niat di dalam hatinya, maka di hadapan Allah SWT permasalahan di atas tidak
diberlaku (tidak terjadi ţalāq, ẓihār, dan ’itāq)[12].
Dalam Ḥadīś lain yang diriwayatkan oleh Abū Mūsā
al-Asy’arī ra. Beliau berkata:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ
صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: الرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِلْمَغْنَمِ, وَالرَّجُلُ
يُفَاتِلُ لِلذِّكْرِ, وَالرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِيُرَى مَكَانَهُ, فَمَنْ فِيْ
سَبِيْلِ اللهِ ؟ قَالَ: مَنْ قَاتَلَ لِتَكُوْنَ كَلِمَةُ اللهِ هِيَ الْعُلْيَا
فَهُوَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ
”Datang seorang lelaki
bertemu Nabi saw dan berkata: ”seseorang yang berperang dengan tujuan
mendapatkan ganīmah, seseorang yang berperang dengan tujuan dikenang sebagai
pahlawan, dan seseorang yang berperang agar dia mendapatkan kedudukan, maka
siapakah di antara mereka yang berada di jalan Allah ? Nabi saw bersabda :
”siapa yang berperang dengan maksud untuk meninggikan kalimat Allah SWT maka ia
lah yang berada di jalan Allah”.[13]
Semua
perbuatan dalam Ḥadīśt di atas, disebut dengan istilah peperangan (al-qitāl),
tetapi hal itu berbeda sesuai dengan niat sang pelaku, di antara mereka ada
yang berperang dengan niat untuk mendapatkan ganīmah yang merupakan
salah satu kenikmatan yang bersifat duniawi, dan ada yang berperang dengan
maksud riyā’ agar dikenang sebagai pahlawan dan diingat terus
perjuangannya, dan ada yang mempunyai maksud untuk mendapatkan kedudukan dan
tempat yang mulia di sisi kaumnya, atau ada yang berperang sekedar untuk
membela kaumnya, keluarganya, organisasinya, partainya, dan lain sebagainya,
maka hal-hal yang seperti itu bukanlah masuk dalam kategori jihād fī sabīlillāh.
Adapun jika berperang dengan niat untuk meninggikan kalimat Allah, menegakkan
kebenaran, menghilangkan kemungkaran, maka hal semacam itu lah yang disebut jihād
fī sabīlillāh, si pelaku akan mendapatkan pahala di sisi Allah SWT dan
hanya Allah lah yang mengetahui pahalanya.
Di antara kaidah-kaidah cabang dalam
kaidah ini
Dari kaidah pokok ini, terpancar beberapa kaidah
cabang yang juga merupakan kaidah yang melandasi penetapan hukum terhadap
berbagai wacana fiqh, namun tetap berada dalam cakupan kaidah pokok ”al-umūru
bi maqāşidihā”, yaitu:
1.
لاَ ثَوَابَ اِلاَّ بِنِيَّةٍِ ”Tidak ada ganjaran pahala tanpa adanya niat”
Kaidah ini merupakan sebuah penjelasan yang
cukup jelas mengenai perbedaan antara amal perbuatan yang mengharapkan wajah
Allah SWT dan pahala dariNya, dan amal perbuatan yang tidak bermaksud demikian,
walau nampaknya perbuatan itu adalah ketaatan dan ibadah. Sehingga posisi niat
merupakan suatu yang bersifat ḍarūrī (penting) dalam setiap amalan,
walau amalan wajib sekalipun. Misalnya, seorang suami yang memberi nafkah
kepada anak dan istrinya yang wājib hukumnya dalam syari’at, apabila hal
itu diniatkan sebagai ibadah untuk mendapatkan ganjaran dan keridaan Allah SWT
maka ia akan mendapatkannya, namun jika hanya sekedar untuk memenuhi kewajiban
sebagai seorang suami tanpa adanya niat taqarrub kepada Allah SWT maka
ia tidak mendapatkan pahala dari Allah SWT.
2. الْعِبْرَةُ
فِيْ الْعُقُوْدِ بِالْمَقَاصِدِ و الْمَعَانِي لاَ بِالأَلْفَاظِ وَ الْمَبَانِيْ
”Yang menjadi ’ibrah (dasar hukum) dalam perjanjian
adalah dengan maksud dan makna yang terkandung, bukan berdasarkan lafaz-lafaz
dan cara penyampaian (ekspresi)”.
Makna kaidah ini, bahwasanya dalam perjanjian (al-uqūd)
tidak terikat pada sīgah atau lafaz tertentu selama tidak ada ketetapan syar’ī
mengenai hal itu, namun yang menjadi dasar perjanjian adalah maksud yang
diinginkan oleh kedua orang yang mengadakan perjanjian tersebut[14],
dan bukan pada apa yang mereka lafazkan, sehingga tidak disyaratkan adanya
lafaz-lafaz yang khusus dalam proses transaksi (ijāb dan qabūl)
tersebut, bahkan akad perjanjiannya tetap sah dengan menggunakan lafaz atau
perbuatan apapun yang dilakukan oleh dua orang yang bertransaksi yang dapat
menunjukkan maksud yang diinginkan oleh kedua belah pihak selama hal tersebut
merupakan sesuatu yang menjadi kebiasaan (al-’urf) yang sudah biasa
terjadi di kalangan masyarakat pada negeri di mana mereka berada.
3. مَقَاصِدُ اللَّفْظِ عَلَى نِيَّةِ اللاَّفِظِ ”Maksud-maksud
dari suatu lafaz tergantung pada niat orang yang melafazkannya”
Kaidah ini
menjelaskan, bahwasanya lafaz di dasarkan pada maksud orang yang melafazkannya.
Adapun beberapa lafaz yang telah jelas, tidak membutuhkan konfirmasi lagi tentang
maksud yang diinginkan dari orang yang melafazkannya, sebab lafaz tersebut
telah jelas.[15]
Hal itu berbeda dengan lafaz-lafaz yang memiliki multi-interpretasi, maka kita
tidak dapat mengetahui maksud lafaz yang sebenarnya kecuali dengan
mengkonfirmasikannya pada orang yang melafazkannya.
Beberapa contoh aplikasinya
Menurut mażhab Syāfi’ī,
sumpah atau janji didasarkan pada lafaz-lafaz jika sekiranya memungkinkan
penggunaannya, jika tidak, maka sumpah tersebut didasarkan atas maksud yang diinginkan. Misalnya: jika
seseorang marah kepada orang lain, kemudian ia bersumpah bahwasanya ia tidak
akan membeli sesuatu pun dari orang yang dimarahinya tersebut dengan harga satu
dolar, namun ternyata ia membeli sesuatu dari orang tersebut dengan mata uang
Mesir, maka ia tidak berdosa. Dan jika ia bersumpah tidak menjual kepadanya
dengan harga sepuluh dolar, namun ia menjualnya dengan harga sebelas atau
sembilan dolar, maka ia juga tidak berdosa, walaupun maksudnya sebagai
penambahan atas apa yang telah disumpahnya, akan tetapi tidak ada dosa terhadap
apa yang belum sempat dilafazkan.[1] Sebab menurut mażhab Syāfi’ī, الأَيْمَانُ
مَبْنِيَّةُ عَلَى الأَلْفَاظِ “Sumpah didasarkan atas lafaz-lafaz”.[2]
Contoh aplikasi yang lain, pada kaidah dalam mażhab Syāfi’ī yang
berbunyi: النِّيَّةُ
فِيْ الْيَمِيْنِ تُخَصِّصُ اللَّفْظَ الْعَامَّ, وَلاَ تُعَمِّمُ الْخَاصَّ “Niat dalam permasalahan sumpah
mengkhususkan lafaz yang bersifat umum, dan tidak menjadikan umum lafaz yang
khusus”. Jika seseorang
berkata: ”Demi Allah, saya tidak akan berbicara dengan seorang pun”, dan yang
ia maksud adalah Zaid. Atau seseorang yang mendapat pemberian dari orang lain,
lalu ia berkata: ”Demi Allah, saya tidak akan meminum air darinya ketika haus”,
maka sumpah tersebut hanya berlaku pada pemberian air ketika haus saja, dan
tidak berlaku pada pemberian lainnya seperti makanan atau pakaian, walau ia
berniat untuk tidak mengambil manfaat sedikit pun darinya, dan walaupun
perselisihan dalam masalah ini juga mengarah ke persoalan tersebut. Hal itu
disebabkan karena niat hanya dapat berpengaruh jika lafaz mengindikasikan apa
yang ia niatkan.[3] Demikian
pula, apabila seseorang bersumpah untuk tidak berbicara dengan si fulan, namun
ternyata ia berbicara dengannya dalam kondisi tertidur (sambil tidur), atau
dalam kondisi tidak sadar, maka ia tidak berdosa atas perbuatan tersebut,
sebagaimana menurut al-Rāfi’ī.[4]
[1]‘Abdullah
ibn Aḥmad ibn Muḥammad ibn Qudāmah, al-Mugnī, Juz. VIII., (Cet. III; Mesir: Nasyru Hajar, 1413 H.),
h. 763.
[2]‘Abdul Azīz Muḥammad Azzām, Qawā’idu
al-Fiqhi al-Islāmī: Dirāsah ‘Ilmiyyah Taḥlīliyyah Muqāranah, (t. Cet; ‘Ain
Syams: Maktab al-Risālah al-Dauliyyah, 1998-1999), h. 106.
[3]Jalaluddīn 'Abdurrahmān bin Abī Bakar
al-Suyūţī, al-Asybāh wa al-Naẓā’ir fī Qawā'id wa Furū' Fiqhi al-Syāfi'iyyah,
Juz. I., (Cet. I; Beirūt: Dār al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1419H/1998M), h. 98.
[4]Ibid.,
h. 113.
[2]Ibid.
[3]Kementrian
Urusan Agama Islam, Wakaf, Da’wah dan Irsyād Kerajaan Saudi Arabia,
op. cit., h. 157.
[4]Ibid.,
h. 418.
[5]Abū
‘Abdillāh Muḥammad ibn Aḥmad al-Anşārī al-Qurţubī, Juz. X., op. cit., h.
182. Lihat juga: Abū Ja’far Muḥammad ibn Jarīr al-Ţabarī, op. cit., h.
181.
[7]Ibid.,
h. 72.
[8]Ibid.,
h. 54.
[9]Dikeluarkan oleh Imām
al-Bukhārī dalam Bad’u al-Wahyi (1/15)
Ḥadīś 1., dan Imām Muslim dalam al-Imārah
(3/1515), dan Ḥadīś di atas adalah lafaz Imām Bukhary.; Ḥadīś di atas juga
merupakan Ḥadīś yang saḥīḥ masyhūr dikeluarkan
oleh para Imām Ḥadīś yang enam dan selainnya Dār i Ḥadīś ‘Umar ibn al-Khaţţāb
ra. Namun yang mengherankan karena Imām Mālik tidak mengeluarkannya dalam al-Muwaţţa’. Dikeluarkan juga oleh
al-Asy’aś dalam Sunan dari Ḥadīś ‘Ali
ibn Abī Ţalib ra. dan al-Dāraquţnī mengeluarkannya dalam Garā’ib Mālik. Abū Nu’aim dalam al-Ḥulyah
dari Ḥadīś Abū Sa’īd al-Khudrī dan Ibnu ‘Asākīr dalam Amāliyah dari Ḥadīśt Anas ra. Semuanya dengan lafaz yang sama.
[10]Ismail ibn Ḥasan ibn Muḥammad ‘Ulwān, op.
cit., h. 116.
[11]'Abdurrahmān bin Abī Bakar al-Suyūţī, al-Asybāh
wa al-Naẓā'ir, op. cit., h. 71.
[12]Ibid., h. 72
[13]HR.
Muttafaqun ‘alaihi. Dan lafaz milik
al-Bukhārī dikeluarkan dalam kitab al-Jihād
dan Siyar (6/27-28), dan oleh
Imām Muslim dalam kitab al-Imārah (3/1512-1513).
[14]Dikecualikan pada beberapa akad yang dalam
ketentuan syari’at terdapat beberapa lafaz yang menyebabkan sahnya akad
tersebut, seperti: ţalāq, ‘itāq, dan nikāḥ.
[15]Banyak terdapat dalil-dalil syara’ yang menunjukkan sebagian lafaz
yang şarīḥ (jelas) yang tidak
membutuhkan maksud orang yang mengucapkannya sebagai bentuk konfirmasi,
seperti: kata-kata ţalāq, nikāḥ, dan raj’ah (rujuk), sehingga apabila
lafaz-lafaz tersebut diucapkan oleh seseorang, maka lafaz tersebut telah
menunjukkan maksud orang yang mengucapkannya sehingga diberlakukan sebagaimana
hukum yang telah ditetapkan dalam masalah tersebut. Hal ini didukung oleh Ḥadīś
Nabi saw yang diriwayatkan oleh Abū Hurairah ra. bahwasanya Nabi telah
bersabda: ….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar